Muqaddimah
إن الحمد لله، نحمده ونستعينه، ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا، وسيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.
(يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون)،
(يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تساء لون به والارحام
إن الله كان عليكم رقيبا)،
(يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما).
أما بعد، فان أصدق الحديث كتاب الله، وأحسن الهدي هدي محمد، وشر الامور محدثاتها، وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار.
Berbicara tentang hati dan ujiannya merupakan pilihan topik yang paling tepat ketika hati manusia mengeras, ketika iman di dalamnya melemah, ketika ia lebih disibukkan dengan urusan dunia dan ketika manusia berpaling dari urusan akhirat.
Kami melihat adanya perkembangan yang sangat pesat tentang upaya menyembuhkan hati manusia. Perkembangan terakhir yang sempat kami dengar, ialah usaha mencangkok hati dan memindahkannya dengan teknologi medis yang tinggi, bagaimana usaha mereka membatasi penyakit-penyakit mental yang menimpa hati, identifikasi dan cara penyembuhannya.
Namun disana kami tidak akan berbicara tentang penyakit-penyakit mental dan apa obat serta penyembuhannya, tapi kami ingin berbicara tentang apa yang dihadapi hati dalam perjalanan menuju Allah, berupa ujian dan cobaan, apa pula tanda-tanda kesehatan dan penyakitnya dan dimana posisi cobaan hati itu.
Kami akan memusatkan pembicaraan tentang hati ini dengan mengacu kepada Kalam Allah dan perkataan Rasul-Nya. Hal ini tidak terlalu mengherankan. Sebab yang memang harus dilakukansecara mendasar ialah menciduk dari sumber Al-Kitab dan As-Sunnah.
Kami membuat ketetapan seperti ini, agar sama-sama diketahui bahwa pembicaran tentang hati bukanlah perkara enteng dan mudah, tak seorangpun yang lebih mengetahui keadaan hati dan apa yang dirasakannya kecuali Penciptanya, Allah berfirman,
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ (14)
“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui [yang kalian lahirkan dan rahasiakan]?” [Al-Mulk: 14]
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ (19)
“Dia mengetahui [pandangan] mata yang khianat dan apa yang disembunyikan dalam hati” [Al-Mukmin: 19]
Allah-lah yang menurunkan wahyu kepada Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana firman-Nya,
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)
“dan tiadalah yang diucapkan itu [Al-Qur’an] menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan [kepadanya]” [An-Najm: 3-4]
Ada baiknya disini jika kami ingatkan tentang adanya bualan dari banyak orang yang katanya bisa mengetahui tujuan dari gerak hati. Padahal tak seorangpun yang mengetahuinya kecuali Allah, akhirnya mereka menyibukkan diri dalam hal-hal yang dilarang dan juga mengeluarkan perkataan yang ngelantur.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا (36)
“dan janganlah kalian mengikuti apa yang kalian tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggung jawabannya” [Al-Isra’: 36]
Mana mungkin kita bisa mengetahui rahasia hati dan bisikan-bisikannya ?
Dalam sebuah sya’ir dikatakan,
ومكلف الأشياء فوق طباعها
متطلـب في الماء جذوة نار
Orang yang memaksakan sesuatu diluar tabiatnya sama dengan menuntut nyala api di dalam air.
Ada apa di balik pembicaraan tentang Hati ?
Pembicaraan tentang hati memiliki urgensi yang spesifik, karena beberapa pertimbangan, diantaranya yang penting:
Pertama:
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba supaya membersihkan hati dan mensucikannya, bahkan Allah menjadikan sebagian dari tugas risalah Al-Muhammadiyah ialah mensucikan hati dan memprioritaskan untuk mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepada mereka, mengingat pentingnya pensucuian hati ini.
Allah berfirman:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ (2)
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah)” [Al-Jumu’ah:2]
Ibnul Qoyyim Rahimahullah menyatakan tentang firman Allah, وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ “dan pakaianmu bersihkanlah” [Al-Muddatstsir: 4], jumhur mufassir salah dan para ulama sesudah mereka menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ثِيَابَ “pakaian” di sini adalah hati[1]
Allah berfirman tentang orang-orang Yahudi dan orang-orang munafik,
أُولَئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (41)
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka, mereka memperoleh kehinaan di dunia dan di akhirat, mereka memperoleh siksa yang besar” [Al-Maidah: 41]
Hal ini sudah cukup dijadikan alasan yang kuat untuk membicarakan masalah hati.
Kedua:
Adanya pengaruh hati yang kuat dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai pengarah dan konseptor, sementara anggota tubuh sebagai pelaksananya.
Abu Hurairah berkata,
القلب ملك وله جنود، فإذا صلح الملك صلحت جنوده، وإذا فسد الملك فسدت جنوده
“Hati itu raja, sedangkan anggota tubuh adalah pasukannya, jika raja baik maka pasukannya ikut baik, jika rajanya jahat maka jahat pula pasukannya”[2]
Ketiga:
Di antara sebab substansial untuk mengangkat pembicaraan tentang tema ini, karena kelalaian mayoritas manusia dari memperhatikan hati mereka sendiri. Sebagai misal, banyak pelajar yang meluaskan kajian dalam sebagian amal-amal yang mendetail dan bagaimana mereka memahami permasalahan dengan pemahaman yang mengagumkan, apakah menggerakkan jari [ketika tahiyat dalam sholat] termasuk As-Sunnah ? bagaimana caranya ? dan kapan waktunya ? dan masih banyak masalah lain. Tidak dapat diragukan, pembahasan mengenai masalah ini bermanfaat dan penting. Tapi pada saat yang sama mereka melalaikan amal-amal hati dan keadaan-keadaannya, apa penyakit dan titik kelemahannya. Padahal masalah ini tidak kalah pentingnya.
Keempat:
Banyak problem yang menimpa manusia, khususnya kalangan pelajar, yang disebabkan berbagai penyakit yang menyerang hati, yang tidak didasarkan pada hakikat-hakikat syar’iyyah, sehingga berbagai problem ini memvisualisasikan keadaan hati orangnya dan terendapnya berbagai macam penyakit di dalamnya, seperti dengki, iri, dusta, takabbur, penghinaan, buruk sangka, dan lain sebagainya.
Cara untuk menuntaskan problem-problem tersebut ialah dengan menyembuhkan hati. Jika tidak, maka sewaktu-waktu penyakit tersebut akan muncul jika ada pemicu dan penyebabnya.
Kelima:
Kesehatan dan kesucian hati menjadi sebab kebahagiaan dunia dan akhirat. Keselamatan hati dari dusta, dengki, kebencian, dan berbagai macam penyakit menjadi sebab kebahagiaan dunia dan akhirat.
Firman Allah,
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89)
“di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak bermanfaat, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat” [Asy-Syu’ara: 88-89].
Perhatikan keadaan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu dan orang-orang yang diberi hati yang sehat dan selamat, yang terbebas dari penyakit hati dan cela.
Keenam:
Al-Imam Abdullah bin Abu Jumrah berkata, “Aku ingin sekiranya di antara para fuqaha tidak memiliki kesibukan kecuali mengetahui tujuan yang diinginkan manusia dari amalnya. Tidak banyak yang diberi dari mereka yang diberi, kecuali pengabaian tentang tujuan amal itu”[3]
Ketujuh:
Karena kedudukan yang diberika Allah kepada hati ini di dunia dan di akhirat. Sebagai contoh perthatikan dalil-dalil tentang hal ini di dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah-Nya,
Firman Allah,
وَلَا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ (87) يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89)
“dan jangan Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, [yaitu] di hari harta dan anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-oang yang datang menghadap Allah dengan membawa hati yang selamat” [Asy-Syu’ara: 87-89].
Tidak ada orang yang selamat pada hari kiamat kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang bersih,
Firman Allah yang lain,
وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِينَ غَيْرَ بَعِيدٍ (31) هَذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ (32) مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ وَجَاءَ بِقَلْبٍ مُنِيبٍ (33)
“dan didekatkan surga itu kepada orang-orang yang bertaqwa pada tempat yang tiada jauh [dari mereka], inilah yang dijanjikan kepada kalian [yaitu] kepada setiap hamba yang selalu kembali [kepada Allah] lagi memelihara [semua peraturan-peraturan-Nya], [yaitu] orang-orang yang takut kepada Yang Maha Pemurahsedang Dia tidak kelihatan [olehnya] dan dia datang dengan hati yang bertaubat” [Qaf: 31-33].
Disebutkan dalam Shohih Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"إن الله لا ينظر إلى صوركم وأموالكم، وإنما ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم"
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa-rupa kalian dan tidak pula badan-badan kalian, tapi Dia melihat hati dan amal kalian”
Di dalam Ash-Shohihain disebutkan dari hadits An-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu, secara marfu’
"ألا إن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله ، وإذا فسدت فسد الجسد كله ، ألا وهي القلب"
“Sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal darah, jika ia baik maka akan baik pula seluruh jasadnya, dan jika ia ruak maka akan rusak pula seluruhjsadnya, ketahuilah ia adalah hati” [diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim].
Hadits ini sudah cukup dijadikan nasehat dan pelajaran bagi orang-orang yang berfkir.
Kedelapan:
Perkataan-perkatan hati, yaitu pembenaran dan pengakuannya, amal dan gerakan-gerakannya seperti takut, berharap, cinta, tawakal, dan lain-lainnya, merupakan bagian dari rukun iman yang paling agung menurut Ahlus-sunnah wal-Jama’ah, yang semua itu tidak akan ada jika iman tidak ada. Coba lihat orang-orang munafiq yang menyatakan syahadah dengan lisannya, bergabung bersama orang-orang Muslim dalam amal-amal dhohir mereka, tapi mereka tidak memiliki pembenaran dan pengakuan, akibat yang mereka alami seperti firman Allah,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا (145)
“sesungguhnya orang-orang munafiq itu [ditempatkan] pada tingkatan yang paling bawah di neraka. Dan kamu tidak akan mendapat penolongpun bagi mereka” [An-Nisa’: 145].
Kesembilan:
Banyak orang yang sangat antusias hendak mengetahui tujuan dan keinginan yang terpendam di dalam hati manusia. Mereka membebani diri dengan hal-hal yang sebenarnya di luar kesanggupan dan pengabaian hal-hal yang dhohir. Mereka membuat aturan-aturan hukum untuk dapat mengungkap amal hati, yang tidak diketahui kecuali Allah Yang Maha Mengetahui yang ghoib, Anehnya di sana ada orang yang menyatakan bahwa perbuatan semacam itu justru mencerminkan kecerdasan yang tinggi, kekuatan firasat dan kepandaian, padahal itu semua bukan firasat yang syar’iyah sedikitpun, kita diperintahkan untuk menghukumi manusia berdasarkan dhohir mereka, sedangkan perkara hati kita serahkan kepada Allah.
Alhasil jika seperti ini kedudukan dan urgensi hati, maka mengapa kita tidak tegak berdiri untuk memperhatikan amal kita yang didasari hati, atau apa yang dilakukan hati terhadap diri kita ?, berapa banyak kita menyibukkan diri dengan urusan dunia, penghidupan dan pekerjaan, kalaupun tersisa sedikit perhatian, maka perhatian ini pun kita tujukan ke amal-amal yang dhohir.
Tidak banyak di antara kita yang memperhatikan masalah hati ini, tidak pula memberikan perhatian yang memadai, dan semoga dengan menyebutkan urgensi hati dan pengaruhnya dalam kehidupan manusia ini dapat mendorong kita untuk menaruh perhatian terhadap hati dan memberikan kedudukan yang sepadan baginya.
Insya’Allah bersambung ke tulisan tentang “Ma’na Ujian Hati”
2/19/2012
Ujian Hati
Ujian Hati 2
Ma'na Ujian Hati
Setelah pada pembahasan sebelumnya kita sudah membicarakan mengenai urgensi atau pentingnya pembahasan tentang hati, artikelnya bisa dilihat disini,
maka pada kesempatan kali ini kita akan membahas mengenai Makna Ujian Hati insya'Allah..
Wahai ikhwah...!
Hati kita diuji pagi dan sore, setiap saat dari detik-detik kehidupan kita. Lalu apakah kita menyadari hal ini ? satu kesalahan bisa berpengaruh besar terhadap kehidupan hati dan mampu menggugurkan amal. Allah berfirman,
وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (154)
“dan Allah [berbuat demikian] untuk menguji apa yang ada dalam dada kalian dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hati kalian. Allah Maha Mengetahui isi hati” [Ali Imran: 154]
أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ (3)
“mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertaqwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar” [Al-Hujurat: 3]
Lalu siapakah orang-orang yang diuji oleh Allah untuk bertaqwa itu ?
Ayat ini turun berkenaan dengan dua orang shahabat yang mulia, Abu Bakar dan Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhuma, ketika keduanya mengeraskan suara di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Az-Zubair Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada serombongan utusan dari Tamim yang ingin menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Bakar berkata “tunjukkan Al-Qa’qa’ bin Ma’bad bin Zararah agar menjadi pemimpin rombongan”
Sementara Umar bin Al-Khaththab mengusulkan agar yang menjadi pemimpin rombongan adalah Al-Aqra’ bin Habis.
Abu Bakar berkata, “rupanya engkau tidak menginginkan kecuali berbeda pendapat denganku”
Umar tidak mau kalah, dengan berkata, “aku tidak bermaksud untuk berbeda pendapat denganmu”
Keduanya saling berdebat hingga suara mereka semakin meninggi dan keras. Karena itu turun ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ (1)
“hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya....” [Al-Hujurat: 1]
Benar. Dalam Agama ini tidak ada tutur kata yang dibuat-buat. Maka firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ (2)
“hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kalian lebih dari suara Nabi, dan janganlah kalian berkata kepadanya dengan suara keras sebagaiman kerasnya [suara] sebagian kalian terhadap sebagian yang lain” [Al-Hujurat: 2]
Mengapa demikian ? karena,
أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ (2)
“supaya tidak hapus [pahala] amalan-amalan kalian sedangkan kalian tidak menyadari” [Al-Hujurat: 2]
Maha Suci Allah, ini merupakan masalah yang tidak mendapatkan perhatian yang memada dari banyak orang,
Lalu siapa yang diancam dalam ayat ini ?. apakah yang dimaksud adalah Abu Bakar dan Umar bin Al-Khaththab ? padahal Rasulullah shallallahuu ‘alaihi wasallam pernah bersabda tentang Abu Bakar,
"لو كنت متخذا خليلا لاتخذت أبا بكر خليلا"
”sekiranya aku boleh mengambil kesayangan dari ummatku, tentu akan aku ambil Abu Bakar [sebagai kesayanganku]” [diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim].
Sementara tentang Umar bin Al-Khaththab beliau juga pernah bersabda,
"والذى نفسى بيده ما لقيك الشيطان قط يالكا فجا إلا سلك فجا غير فجك"
“demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, sekali-kali Staithan tidak bertemu denganmu sedang melewati suatu jalan, melainkan syaithan tersebut akan melewati jalan yang lain selain jalanmu” [diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim]
Namun keduanya bertaubat, kembali kepada Allah, memohon ampun, dan bahkan salah seorang diantara keduanya bersumpah untuk tidak berbicara dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melainkan seperti secara berbisik-bisik.
Dari sinilah turun ayat berikutnya,
أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى (3)
“mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertaqwa” [Al-Hujurat: 3]
Artinya Allah memurnikan hati mereka untuk taqwa, sehingga hati itu tidak layak diisi kecuali taqwa.[1]
Satu sikap sederhana menurut pandangan kita, yang terjadi pada diri dua orang yang paling baik di tengah ummat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan juga merupakan ujian yang ringan untuk sebuah kelalaian yang muncul dari keduanya.
Tapi apa yang kita katakan tentang keadaan kita ? berapa banyak ujian yang mendatangi kita, namun kita tidak menyadarinya ?
Di sini terkandung rahasia yang mengagumkan yang terkandung dalam firman Allah,
وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ (2)
“sedangkan kalian tidak menyadari” [Al-Hujurat: 2]
Sebab berapa banyak amalan manusia yang gugur, sedangkan ia tidak menyadarinya, dia tidak pernah membayangkan bahwa amalnya gugur karena perbuatan itu atau bahkan dia tidak peduli dengan amalnya.
Berapa banyak perbuatan atau perkataan yang berpengaruh terhadap pelakunya, sementara dia tidak menyadarinya ?
Jika mengeraskan suara di dekat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam saja, hampir saja menggugurkan amal Abu Bakar dan Umar, lalu apa yang terjadi dengan keadaan orang yang mengeraskan suaranya di atas suara kebenaran ?
Mereka itulah orang-orang yang mendahulukan syari’at thoghut dari pada Syari’at Allah. Mereka itulah orang-orang yang memusuhi Islam dan tolong menolong di atas jalan syethan.
Agar kita lebih dapat memahami ma’na ujian hati, maka ada baiknya kita memperhatikan hadits yang agung ini, yang diriwayatkan Shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, Beliau bersabda,
تعرض الفتن على القلوب كالحصير عودًا عودًا، فأي قلب أشربها؛ نكت فيه نكتة سوداء، وأي قلب أنكرها؛ نكت فيه نكتة بيضاء، حتى تصير على قلبين: على أبيض مثل الصفا فلا تضره فتنة ما دامت السماوات والأرض، والآخر أسود مربادًا كالكوز مجخيا لا يعرف معروفًا ولا ينكر منكرًا؛ إلا ما أشرب من هواه
“Cobaan ditampakkan kepada hati sebagaimana tikar yang dianyam sehelai demi sehelai. Manapun hati yang disusupi cobaan itu, maka ditorehkan satu titik hitam di dalamnya, dan manapun hati yang mengingkarinya, maka ditorehkan satu titik putih di dalamnya, hingga cobaan itu ada di atas dua hati: di atas hati yang putih seperti batu yang putih, yang tidak dapat dimasuki mudharat oleh satu cobaan pun selagi masih ada langit dan bumi, dan yang lain hitam pekat seperti cangkil jubung yang terbalik, tidak menenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang munkar, kecuali apa yang menyusup kedalamnya dari hawa nafsu” [diriwayatkan oleh Muslim]
Semoga Allah menjadikan hati kita putih, membersihkannya dari berbagai kedurhakaan, kehinaan dan syubhat.
Di dalam hadits ini digunakan fi’il mudhari’ yaitu تعرض tu’ridhu, yang menunjukkan kelangsungan cobaan dan ujian, sebagaimana cobaan ini tidak datang sekaligus dalam satu waktu, tapi sedikit demi sedikit, sehingga hati benar-benar menjadi hitam. Atau boleh jadi Allah akan menyelamatkannya, sehingga ia lulus dalam ujian, tidak ada cobaan yang membahayakannya selagi ada langit dan bumi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata,
فالنفس تدعو إلى الطغيان، وإيثار الحياة الدنيا. والرب -جل وعلا- يدعو عبده إلى خوفه، ونهي النفس عن الهوى، والقلب بين الداعيين وهذا هو موضع الفتنة والابتلاء
“nafsu itu mengajak kepada pelanggaran dan lebih mementingkan kehidupan dunia, sementara Allah mengajak hamba-Nya supaya takut kepada-Nya, mencegah drihawa nafsu. Jadi hati berada di antara dua penyeru. Di sinilah letak ujian dan cobaan terhadap hati”[2]
Di sini ada satu catatan penting yang harus diperhatikan, bahwa sebagian orang yang sibuk dalam kegiatan dakwah dan mencari ilmu mengira bawa puncak dari ujian dan cobaan hati ini ialah siksaan fisik, seperti penyiksaan, penahanan, pembunuhan, dan lain sebagainya yang merka alami, atau boleh jadi berupasiksaan spiritual, seperti orang-orang yang menghindarinya, mengolok-olok dan mengejek. Ini merupakan pembatasan tehadap pemahaman cobaan atas jenis-jenisnya yang lain. Sebab jika tidak, maka jenis cobaan yang paling keras ialah cobaan dan ujian hati. Berapa banyakkita melihat orang-orang yang berhasil dalam ujian penyiksaan [fisik], namun mereka justru gagal dalam ujian hati. Karena itulah di antara do’a orang-orang yang mempunyai kedalaman ilmu ialah,
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ (8)
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau, karena Engkaulah Maha Pemberi [karunia]” [Ali Imran: 8]
Kami sudahi pembuka tentang ma’na ujian dan cobaan hati dengan seruan Rabbani terhadap orang-orang Mukmin, yang di dalamnya terkandung peringatan yang menakutkan,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ (24)
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kpada kalian, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nya lah kalian akan dikumpulkan” [Al-Anfal: 24]
Kami memohon kepada Allah supaya Dia melimpahkan taufiq kepada kita, menolong kita untuk memenuhi seruan-Nya dan seruan Rasul-Nya, supaya menghidupkan hati kita, tidak membatasi antara diri kita degan hati kita dengan kedurhakaan-kedurhakan, sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas semua itu.
Macam-macam Penyakit yang Menjangkiti Hati
Urusan segumpal darah yang tidak terlalu besar ini sangat mengagumkan, tidak ada perumpamaan yang lebih tepat baginya kecuali layaknya lautan yang membentang luas, yang secara sepintas kita lihat permukaannya datar, padahal hakikatnya ia merupakan alam tersendiri yang di dalamnya terdapat berbagai jenis hewan dan tetumbuhan yag mengagumkan, sampai-sampai para pakar pun dibuat terlongong karenanya.
Begitu pula hati. Siapa yang memperhatikannya secara seksama, tentu akan mendapatkan bahwa urusannya benar-benar sangat mengagumkan, karena ia memiliki kondisi dan emosi yang beragam, yang karenanya manusia berbeda-beda, kondisi, sikap dan sifat-sifatnya. Ini hanya sekilas dari hamparan yang trdapat di alam hati yang kecil namun besar.
Inilah beberapa isyarat A-Qur’an, tentang berbagai penyakit yang bisa menjangkiti hatim seperti kelalaian, kebutaan, kepalsuan, labilitas, olok-olok, kekeraan, tutupan, riya’, main-main, kemunafikan, iri, dan lain sebangainya.
Subhanallah, semua ini dapat menyerang dan menjangkiti hati, justru begitulah yang lebih banyak dialami manusia.
Alhasil, hati akan mengalami apa yang sudah ditetapkan, yang pada akhirnya ia mati setelah ditimpa penyakit-penyakit ini, manusia tidak mampu melawannya dan akhirnya hatinya menjadi hitam kelam.
Sebagaimana hatu yang dapat dijangkiti berbagai macam penyakit, maka hati ini pun bisa memiliki nuansa keimanan dan kedudukan-kedudukan ubudiyah, berupa sifat-sifat yang terpuji, seperti lemah lembut, merendahkan diri, khusyu’, ikhlash, cinta kepada Allah, taqwa, keteguhan, takut, berharap, kembali kepada Allah, dan lain sebagainya.
Alhasil tidak ada keselamatan kecuali yang datang kepada Allah denga hati yang bersih, hidup dan beriman, yang warna hati pelakunya ialah putih bersih lagi suci
Insya’Allah akan bersambung ke pembahasan “Area-area Ujian Hati”
Bolehkah Kencing Sambil Berdiri...?
Ada lima hadits yang membicarakan mengenai masalah ini. Tiga hadits adalah hadits yang shahih. Sedangkan dua hadits lainnya adalah dho'if (lemah).
Hadits Pertama
Hadits pertama ini menceritakan bahwa istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu 'Aisyah radhiyallahu 'anha mengingkari kalau ada yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi pernah kencing sambil berdiri.
'Aisyah –radhiyallahu 'anha- mengatakan,
مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبُوْلُ قَائِمًا فَلاَ تُصَدِّقُوْهُ مَا كَانَ يَبُوْلُ إِلاَّ قَاعِدًا
"Barangsiapa yang mengatakan pada kalian bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri, maka janganlah kalian membenarkannya. (Yang benar) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa kencing sambil duduk." (HR. At Tirmidzi dan An Nasa'i. Syaikh Al Albani mengatakan dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 201 bahwa hadits ini shahih). Abu Isa At Tirmidzi mengatakan, "Hadits ini adalah hadits yang lebih bagus dan lebih shahih dari hadits lainnya tatkala membicarakan masalah ini."
Hadits Kedua
Hadits ini menceritakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri. Bukhari membawakan hadits ini dalam kitab shahihnya pada Bab "Kencing dalam Keadaan Berdiri dan Duduk."
Hudzaifah –radhiyallahu 'anhu- mengatakan,
أَتَى النَّبِىُّ ، ( صلى الله عليه وسلم ) ، سُبَاطَةَ قَوْمٍ ، فَبَالَ قَائِمًا ، فَدَعَا بِمَاءٍ ، فَجِئْتُهُ بِمَاءٍ ، فَتَوَضَّأَ
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mendatangi tempat pembuangan sampah milik suatu kaum. Lalu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam kencing sambil berdiri. Kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam meminta diambilkan air. Aku pun mengambilkan beliau air, lalu beliau berwudhu dengannya." (HR. Bukhari no. 224 dan Muslim no. 273).
Hadits ini tentu saja adalah hadits yang shahih karena disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Ibnu Baththol tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan, "Hadits ini merupakan dalil bolehnya kencing sambil berdiri."[1]
Hadits Ketiga
Hadits berikut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah kencing sambil duduk.
'Abdurrahman bin Hasanah mengatakan,
خَرَجَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ فِي يَدِهِ كَهَيْئَةِ الدَّرَقَةِ قَالَ : فَوَضَعَهَا ، ثُمَّ جَلَسَ فَبَالَ إِلَيْهَا
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar bersama kami dan di tangannya terdapat sesuatu yang berbentuk perisai, lalu beliau meletakkannya kemudian beliau duduk lalu kencing menghadapnya." (HR. Abu Daud, An Nasa'i, Ibnu Majah, dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Hadits Keempat
Hadits berikut ini membicarakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melarang Umar kencing sambil berdiri, namun hadits ini adalah hadits yang dho'if (lemah).
'Umar –radhiyallahu 'anhu- berkata,
رَآنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَبُولُ قَائِمًا فَقَالَ :« يَا عُمَرُ لاَ تَبُلْ قَائِمًا ». قَالَ فَمَا بُلْتُ قَائِمًا بَعْدُ.
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihatku kencing sambil berdiri, kemudian beliau mengatakan, "Wahai 'Umar janganlah engkau kencing sambil berdiri." Umar pun setelah itu tidak pernah kencing lagi sambil berdiri." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Syaikh Al Huwainiy –ulama hadits saat ini- mengatakan, "Ibnul Mundzir berkata bahwa hadits ini tidak shahih. Adapun Asy Syaukani sebagaimana dalam As Sail Al Jaror mengatakan bahwa As Suyuthi telah menshohihkan hadits ini!! Boleh jadi As Suyuthi melihat pada riwayat Ibnu Hibban. Lalu beliau tidak menoleh sama sekali pada tadlis yang biasa dilakukan oleh Ibnu Juraij. Sebagaimana kita ketahui pula bahwa As Suyuthi bergampang-gampangan dalam menshohihkan hadits. Kemudian hadits ini dalam riwayat Ibnu Hibban dikatakan dari Ibnu 'Umar. Namun sudah diketahui bahwa hadits ini berasal dari 'Umar (ayah Ibnu 'Umar). Saya tidak mengetahui apakah di sini ada perbedaan sanad ataukah hal ini tidak disebutkan dalam riwayat Ibnu Hibban?!"[2]
Syaikh Al Albani –rahimahullah- mengatakan, "Hadits ini dho'if (lemah). Yang tepat, tidaklah mengapa seseorang kencing sambil berdiri asalkan aman dari percikan kencing. Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Al Fath mengatakan, "Tidak terdapat dalil yang shahih yang menunjukkan larangan kencing sambil berdiri." Dari Nafi', dari Ibnu 'Umar, dari 'Umar, beliau berkata, "Aku tidak pernah kencing sambil berdiri sejak aku masuk Islam". Sanad hadits ini shahih. Namun dari jalur lain, dari Zaid, beliau berkata, "Aku pernah melihat 'Umar kencing sambil berdiri". Sanad hadits ini juga shahih. Oleh karena itu, hal inilah yang dilakukan oleh 'Umar dan ini menunjukkan telah jelas bagi 'Umar bahwa tidak mengapa kencing sambil berdiri"."[3]
Hadits Kelima
Hadits berikut menunjukkan bahwa kencing sambil berdiri adalah termasuk perangai yang buruk, namun hadits ini juga adalah hadits yang dho'if (lemah).
Dari Buraidah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ثلاثٌ مِنَ الجَفاءِ أنْ يَبُولَ الرَّجُلُ قائِماً أوْ يَمْسَحَ جَبْهَتَهُ قَبْلَ أنْ يَفْرَغَ مِنْ صَلاتِهِ أوْ يَنْفُخَ في سُجُودِهِ
"Tiga perkara yang menunjukkan perangai yang buruk: [1] kencing sambil berdiri, [2] mengusap dahi (dari debu) sebelum selesai shalat, atau [3] meniup (debu) di (tempat) sujud." (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam At Tarikh dan juga oleh Al Bazzar)
Syaikh Al Huwaini –hafizhahullah- mengatakan, "Yang benar, hadits ini adalah mauquf (cuma perkataan sahabat) dan bukan marfu' (perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam)." Di tempat sebelumnya, Syaikh Al Huwaini mengatakan bahwa hadits ini ghoiru mahfuzh artinya periwayatnya tsiqoh (terpercaya) namun menyelisihi periwayat tsiqoh yang banyak atau yang lebih tsiqoh.[4] Jika demikian, hadits ini adalah hadits yang lemah (dho'if).
Syaikh Al Albani –rahimahullah- mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits dho'if (lemah).[5]
Terdapat perkataan yang shahih sebagaimana hadits Buraidah di atas, namun bukan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi perkataan Ibnu Mas'ud.
Ibnu Mas'ud –radhiyallahu 'anhu- mengatakan,
إِنَّ مِنَ الجَفَاءِ أَنْ تَبُوْلَ وَأَنْتَ قَائِمٌ
"Di antara perangai yang buruk adalah seseorang kencing sambil berdiri." (HR. Tirmidzi). Syaikh Al Huwaini mengatakan bahwa periwayat hadits ini adalah periwayat yang tsiqoh (terpercaya). Syaikh Al Albani –rahimahullah- mengatakan dalam Shahih wa Dha'if Sunan At Tirmidzi bahwa hadits ini shahih. Inilah pendapat Ibnu Mas'ud mengenai kencing sambil berdiri.
Menilik Perselisihan Para Ulama
Dari hadits-hadits di atas, para ulama akhirnya berselisih pendapat mengenai hukum kencing sambil berdiri menjadi tiga pendapat.
Pendapat pertama: dimakruhkan tanpa ada udzur. Inilah pendapat yang dipilih oleh 'Aisyah, Ibnu Mas'ud, 'Umar dalam salah satu riwayat (pendapat beliau terdahulu), Abu Musa, Asy Sya'bi, Ibnu 'Uyainah, Hanafiyah dan Syafi'iyah.
Pendapat kedua: diperbolehkan secara mutlak. Inilah pendapat yang dipilih oleh 'Umar dalam riwayat yang lain (pendapat beliau terakhir), Zaid bin Tsabit, Ibnu 'Umar, Sahl bin Sa'ad, Anas, Abu Hurairah, Hudzaifah, dan pendapat Hanabilah.
Pendapat ketiga: diperbolehkan jika aman dari percikan, sedangkan jika tidak aman dari percikan, maka hal ini menjadi terlarang. Inilah madzhab Imam Malik dan inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir.[6]
Pendapat Terkuat
Pendapat terkuat dari pendapat yang ada adalah kencing sambil berdiri tidaklah terlarang selama aman dari percikan kencing. Hal ini berdasarkan beberapa alasan:
Tidak ada hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kencing sambil berdiri selain dari hadits yang dho'if (lemah).
Hadits yang menyebutkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kencing sambil duduk tidaklah bertentangan dengan hadits yang menyebutkan beliau kencing sambil berdiri, bahkan kedua-duanya diperbolehkan.
Terdapat hadits yang shahih dari Hudzaifah bahkan hadits ini disepakati oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri.
Sedangkan perkataan 'Aisyah yang mengingkari berita kalau Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam itu kencing sambil berdiri hanyalah sepengetahuan 'Aisyah saja ketika beliau berada di rumahnya. Belum tentu di luar rumah, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak kencing sambil berdiri. Padahal jika seseorang tidak tahu belum tentu hal tersebut tidak ada. Mengenai masalah ini, Hudzaifah memiliki ilmu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri. Jadi, ilmu Hudzaifah ini adalah sanggahan untuk 'Aisyah yang tidak mengetahui hal ini.
Itulah sedikit ulasan mengenai kencing sambil berdiri. Semoga pembahasan ini bisa menjawab masalah dari beberapa pembaca yang belum menemukan titik terang mengenai permasalahan ini.
Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat. Allahumman fa'ana bimaa 'allamtana, wa 'alimna maa yanfa'una wa zidnaa 'ilmaa. Wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Disusun berkat karunia Allah di malam hari, 10 Jumadil Ula 1430 H di rumah mertua tercinta.
Cantik
Dalam kitab madzhab Hambali Syarah Muntaha Al-Iraadaat (2/621 ) :
ويسن أيضا تَخَيُّرُ الجميلة ، لأنه أسكن لنفسه ، وأغض لبصره ، وأكمل لمودته ؛ ولذلك شرع النظر قبل النكاح
“Adalah juga sunnah untuk memilih wanita yang cantik, karena hal tersebut dapat melahirkan rasa ketenangan yang lebih besar dan lebih membantu dia untuk menundukkan pandangan dan cinta yang lebih. Oleh karenanya disyari’atkan “nadhar” sebelum menikah”.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ta’ala ‘anhu :
قِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ! أَيُّ النِّسَاءِ خَيرٌ ؟ قال : التِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِليهَا ، وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَر ، وَلا تُخَالِفُهُ فِي نَفسِهَا وَلا فِي مَالِهِ بِمَا يَكرَهُ
“Ya Rasulullah, wanita mana yang terbaik ?”. Beliau berkata salah satunya : ”Yang tatkala engkau melihatnya engkau merasa senang,…….” [Ash-Shahiihah no. 1838].
Beberapa ulama menganggapnya sebagai mustahab, jika seorang pria tatkala hendak menikah MEMULAINYA DENGAN MEMPERTANYAKAN TENTANG KECANTIKANNYA TERLEBIH DAHULU, kemudian baru tentang komitmen agamanya.
Al-Imam Al-Bahuuti rahimahullah berkata dalam Syarh Muntaha Al-Iraadat (2/621) :
Secara bebas maksudnya demikian : Dia (seorang pria ) seharusnya tidak bertanya tentang komitmen agama seorang wanita terlebih dahulu hingga dia telah mengetahui hal tentang kecantikannya. Al-Imam Ahmad berkata : Jika seseorang pria ingin menikahi seorang wanita,dia mesti bertanya pertama kali TENTANG KECANTIKANNYA, jika kemudian dia mendapat kabar bagus mengenai kecantikan (wanita tersebut), baru dia bertanya mengenai komitmen agama (wanita tadi). Jika ternyata agamanya bagus maka dia seharusnya menikahi wanita tersebut. Jika dia tidak mendapat kabar yang baik mengenai agamanya maka dia akan menolak wanita tersebut atas dasar agamanya. (tentu ini tidak boleh). Oleh karenanya janganlah dia bertanya mengenai komitmen agamanya dahulu, yang jika dia mendengar bahwa agama wanita itu bagus, namun kemudian dia mengetahui wanita tersebut tidak cantik lantas kemudian menolak. Maka dia (pria tadi) telah menolak wanita atas dasar “kecantikan” bukan atas dasar “agama” - selesai kutipan -.
Tentu hal ini (seakan-akan) menyalahi sabda Nabi ‘alaihi shalaatu wa sallam bahwa kita dianjurkan memilih atas dasar “komitmen agama” seorang wanita.
Yang salah (sebenarnya) adalah tatkala seorang pria mencari kecantikan tetapi melupakan sisi agama seorang wanita - sebagai pondasi kebahagiaan dan kebaikan yang dia cari. Oleh karenanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan gambaran 4 hal yang umumnya dijadikan dasar dalam pemilihan pasangan. Di akhir hal tersebut berkaitan dengan “komitmen agama/akhlak seorang wanita”. Ini artinya agar kita tidak semata mencari penampilan luar tanpa memperhatikan penampilan dalam.
Al-Imam An-Nawawiy dalam Syarh Muslim (10/52) tatkala mengomentari hadist mengenai “wanita dinikahi karena empat hal…dst, berkata:
الصحيح في معنى هذا الحديث : أن النبي صلى الله عليه وسلم أخبر بما يفعله الناس في العادة ، فإنهم يقصدون هذه الخصال الأربع ، وآخرها عندهم ذات الدين ، فاظفر أنت أيها المسترشد بذات الدين
“Pandangan yang benar mengenai makna hadist ini adalah bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang keumuman manusia apa yang dilakukannya tatkala hendak menikah, bahwa mereka menikah berdasar empat hal ini (harta, keturunan, kecantikan, dan agama). Yang paling terakhir dalam pilihan orang adalah mengenai komitmen agama, maka yang benar adalah engkau selayaknya memilih yang punya komitmen agama”.
Pandangan yang mengatakan mustahabb untuk mencari wanita yang cantik sebagai istrinya tidak lah berarti kecantikan itu hal yang utama. Dan berati bahwa kita harus mendapatkan wanita yang sangat cantik sejagat, karena tidak akan kita dapatkan yang sangat sempurna, mungkin bisa kita dapatkan tapi dengan kelemahan agama dan prilakunya.
Arti mencari yang cantik yang dimaksud adalah jenis/tingkat kecantikan dimana kita sebagai pria bisa menjaga diri dari hal haram dan meredam untuk berpaling atau memandang wanita lain selain istri kita. Toh definisi cantik akan berbeda-beda pada setiap pria.
Nasehat saya adalah nikahilah wanita yang pada pandangan Anda punya tingkat (kecantikan) dimana Anda cukup merasa senang dan tenang dengan melihat dia. Hal ini (persoalan kecantikan) akan kau rasakan porsi bedanya bukan sebagai porsi pertama dan utama yang terus menggelayuti pikiran Anda setelah Anda memulai hidup baru…memulai serial selanjutnya dari problematika-probelamatika hidup kita.
Wassalam.
[dikutip kembali dengan sedikit perbaikan redaksional dari diskusi di milist salafyitb beberapa tahun lalu. Terutama sekali mohon ijin buat kang ustadz abu ishaq dan kang ustadz abu ‘umair untuk mempublikasikannya kembali di blog ini – Abu Al-Jauzaa’].
AL-‘AIN (اْلعَيْنُ) - Pandangan Mata
Assalamualaikum sahabatku sekalian dalam kesempatan kali ini saya mau membahas masalah "PANDANGAN MATA" sebagaimana kita ketahui mata adalah suatu anggota tubuh kita dengan fungsi melihat.sebagai mana dijelaskan dalam alQuran Dalil dari Al-Qur’an
QS. Yusuf : 67 – 68
وَقَالَ يَبَنِيّ لاَ تَدْخُلُواْ مِن بَابٍ وَاحِدٍ وَادْخُلُواْ مِنْ أَبْوَابٍ مّتَفَرّقَةٍ وَمَآ أُغْنِي عَنكُمْ مّنَ اللّهِ مِن شَيْءٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلاّ للّهِ عَلَيْهِ تَوَكّلْتُ وَعَلَيْهِ فَلْيَتَوَكّلِ الْمُتَوَكّلُونَ * وَلَمّا دَخَلُواْ مِنْ حَيْثُ أَمَرَهُمْ أَبُوهُم مّا كَانَ يُغْنِي عَنْهُمْ مّنَ اللّهِ مِن شَيْءٍ إِلاّ حَاجَةً فِي نَفْسِ يَعْقُوبَ قَضَاهَا وَإِنّهُ لَذُو عِلْمٍ لّمَا عَلّمْنَاهُ وَلَـَكِنّ أَكْثَرَ النّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
Dan Ya'qub berkata: "Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri". Dan tatkala mereka masuk menurut yang diperintahkan ayah mereka, maka (cara yang mereka lakukan itu) tiadalah melepaskan mereka sedikitpun dari takdir Allah, akan tetapi itu hanya suatu keinginan pada diri Ya'qub yang telah ditetapkannya. Dan sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. Akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.
Ibnu Katsir berkata :
يقول تعالى إخباراً عن يعقوب عليه السلام, إنه أمر بنيه لما جهزهم مع أخيهم بنيامين إلى مصر أن لا يدخلوا كلهم من باب واحد, وليدخلوا من أبواب متفرقة, فإنه كما قال ابن عباس ومحمد بن كعب ومجاهد والضحاك وقتادة والسدي وغير واحد إنه: خشي عليهم العين, وذلك أنهم كانوا ذوي جمال وهيئة حسنة, ومنظر وبهاء, فخشي عليهم أن يصيبهم الناس بعيونهم, فإن العين حق تستنزل الفارس عن فرسه
“Allah berfirman mengkhabarkan tentang Ya’qub ‘alahis-salaam bahwasannya ia memerintah anak-anaknya ketika mempersiapkan mereka bersama saudara mereka, Bun-yamin, ke Mesir agar mereka tidak masuk semuanya dari satu pintu, akan tetapi dari beberapa pintu yang berlainan. Sesungguhnya Ya’qub – sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Muhammad bin Ka’b, Mujahid, Adl-Dlahhak, Qatadah, As-Suddi, dan yang lainnya – mengkhawatirkan mereka dari Al-‘Ain (pengaruh mata). Hal itu disebabkan karena anak-anak Ya’qub tersebut tampan-tampan dan menawan. Maka Ya’qub mengkhawatirkan mereka akan pengaruh ‘Ain dari orang-orang yang memandang mereka, karena Al-‘Ain adalah haq (benar) yang dapat mengakibatkan seorang penunggang kuda jatuh dari kudanya”.
Kemudian beliau melanjutkan :
وقوله { وَمَآ أُغْنِي عَنكُمْ مّنَ اللّهِ مِن شَيْءٍ } أي إن هذا الاحتراز لا يرد قدر الله وقضاءه, فإن الله إذا أراد شيئاً لا يخالف ولا يمانع, { وَلَمّا دَخَلُواْ مِنْ حَيْثُ أَمَرَهُمْ أَبُوهُم مّا كَانَ يُغْنِي عَنْهُمْ مّنَ اللّهِ مِن شَيْءٍ إِلاّ حَاجَةً فِي نَفْسِ يَعْقُوبَ قَضَاهَا } قالوا: هي دفع إصابة العين لهم
“Dan firman-Nya : Namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah. ; yaitu kehati-hatian itu tidak akan dapat menolak takdir Allah dan ketentuan-Nya, karena sesungguhnya Allah jika telah menghendaki sesuatu maka tidak ada yang menghalangi. Firman-Nya : {Dan tatkala mereka masuk menurut yang diperintahkan ayah mereka, maka (cara yang mereka lakukan itu) tiadalah melepaskan mereka sedikitpun dari takdir Allah, akan tetapi itu hanya suatu keinginan pada diri Ya'qub yang telah ditetapkannya} ; mereka berkata : ‘Yaitu menghindari pengaruh Al’-‘Ain terhadap mereka” [Tafsir Ibnu Katsir 2/485].
QS. Al-Qalam : 51
وَإِن يَكَادُ الّذِينَ كَفَرُواْ لَيُزْلِقُونَكَ بِأَبْصَارِهِمْ لَمّا سَمِعُواْ الذّكْرَ وَيَقُولُونَ إِنّهُ لَمَجْنُونٌ
“Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar Al Quran dan mereka berkata: "Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila”.
Ibnu Katsir berkata :
قال ابن عباس ومجاهد وغيرهما { لَيُزْلِقُونَكَ } لينفذونك { بِأَبْصَارِهِمْ } أي يعينونك بأبصارهم بمعنى يحسدونك لبغضهم إياك لولا وقاية الله لك وحمايته إياك منهم, وفي هذه الاَية دليل على أن العين إصابتها وتأثيرها حق بأمر الله عز وجل, كما وردت بذلك الأحاديث المروية من طرق متعددة كثيرة.
“Telah berkata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan yang lainnya : {‘benar-benar hampir menggelincirkan kamu’} ; yaitu mempengaruhi kamu; {‘dengan pandangan mereka’} ; yaitu memandangmu dengan mata-mata mereka yaitu mendengkimu karena kebencian mereka kepadamu. Sekiranya tidak ada perlindungan Allah kepadamu dari mereka. Di dalam ayat ini terdapat dalil bahwa terkena Al-‘Ain dan pengaruhnya adalah haq (benar) dengan ijin Allah, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits yang diriwayatkan dari beberapa jalan yang berbeda” [Tafsir Ibnu Katsir 4/410].
Dalil dari As-Sunnah Ash-Shahihah
عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال العين حق
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Al-‘Ain adalah haq (benar)” [HR. Bukhari no. 5408 dan Muslim no. 2187].
عن عائشة قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم استعيذوا بالله فإن العين حق
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Meminta perlindunganlah kepada Allah dari Al-‘Ain, karena sesungguhnya Al-‘Ain itu haq (benar)” [HR. Ibnu Majah no. 3508; dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul-Jaami’ no. 938].
عن بن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال العين حق ولو كان شيء سابق القدر سبقته العين وإذا استغسلتم فاغسلوا
Dari Ibni ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma bahwa ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Al-‘Ain itu haq (benar) dan sekiranya ada sesuatu yang mendahului takdir, niscaya Al-‘Ain akan mendahuluinya. Dan apabila engkau diminta mandi, hendaklah kalian mandi [1]” [HR. Muslim no. 2188].
عن أسماء عميس قالت : يا رسول الله ان بني جعفر تصيبهم العين أفأسترقي لهم قال نعم فلو كان شيء سابق القدر لسبقته العين
Dari Asmaa’ binti ‘Umais radliyallaahu ‘anhaa ia berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Bani Ja’far terkena Al-‘Ain, maka apakah boleh aku meruqyah mereka ?”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Ya, sekiranya ada sesuatu yang mendahului takdir, niscaya Al-‘Ain akan mendahuluinya” [HR. Ahmad 6/438 no. 27510 dan Tirmidzi no. 2059; dihasankan oleh Al-Arnauth dalam Ta’liqnya terhadap Musnad Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul-Jami’ no. 5286].
عن أبي ذر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن العين لتولع بالرجل بإذن الله تعالى حتى يصعد حالقا ثم يتردى منه
Dari Abi Dzarr radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : Sesungguhnya Al-‘Ain dapat memperdaya seseorang dengan ijin Allah sehingga ia naik ke tempat yang tinggi lalu jatuh darinya [2]” [HR. Ahmad 5/146 no. 21340, 6/13 no. 5372, Al-Bazzar 9/386 no. 3972, dan Al-Haarits dalam Bughyatul-Bahits 2/603 no. 566; dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul-Jaami’ no. 1681].
عن بن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : العين حق تستنزل الحالق
Dari Ibnu 'Abbas radliyallaahu 'anhuma dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam : "Al-'Ain itu adalah haq yang dapat menggelincirkan orang yang naik ke tempat tinggi" [HR. Ahmad no. 1/274 no. 2477, Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir no. 12662, dan Al-Hakim no. 7489; dihasankan oleh Al-Arnauth dalam Ta’liqnya terhadap Musnad Ahmad dan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 1250].
عن جابر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم العين تدخل الرجل القبر و تدخل الجمل القدر
Dari Jabir radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Al-‘Ain adalah haq (benar), dapat memasukkan seseorang ke dalam kuburan dan dapat memasukkan onta ke dalam kuali [3]” [HR. Ibnu ‘Adi 6/407 biografi no. 1890 dari Mu’awiyyah bin Hisyam Al-Qashshaar, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 7/90, Al-Khathiib 9/244, Al-Qadlaa’I 2/140 no. 1059; dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahiihul-Jaami’ no. 4144].
عن جابر ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أكثر من يموت من أمتى بعد قضاء الله وقدره بالأنفس يعنى بالعين
Dari Jabir radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Kebanyakan orang yang meninggal dari umatku setelah qadla dan qadar Allah adalah karena Al-‘Ain” [HR. Ath-Thayalisi hal. 242 no. 1760, Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir 4/360, no. 3144, Al-Hakim 3/46 no. , Al-Bazzar dalam Kasyful-Istaar 3/403 no. 3052, Ad-Dailami 1/364 no. 1467, dan Ibnu Abi ‘Ashim 1/136 no. 311; dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahiihul-Jaami’ no. 1206].
عن عائشة قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمرني أن استرقي من العين
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah memerintahkan agar aku meruqyah seseorang karena terkena Al-‘Ain” [HR. Bukhari no. 5406 dan Muslim no. 2195].
عن أنس قال رخص رسول الله صلى الله عليه وسلم في الرقية من العين والحمة والنملة
Dari Anas radliyallaahu ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan rukhshah dalam ruqyah karena Al-‘Ain, Al-Hummah [4], dan An-Namlah [5]” [HR. Muslim no. 2196].
عن أم سلمة رضى الله تعالى عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم رأى في بيتها جارية في وجهها سفعة فقال استرقوا لها
Dari Ummi Salamah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melihat di dalam rumah seorang anak perempuan yang di wajahnya terdapat Suf’ah [6]. Maka beliau bersabda : “Padanya ada pengaruh akibat pandangan (Al-‘Ain). Ruqyah-lah ia !” [Bukhari no. 5407 dan Muslim no. 2197].
عن جابر بن عبد الله يقول رخص النبي صلى الله عليه وسلم لآل حزم في رقية الحية وقال لأسماء بنت عميس مالي أرى أجسام بني أخي ضارعة تصيبهم الحاجة قالت لا ولكن العين تسرع إليه قال أرقيهم
Dari Jabir radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan rukhshah kepada keluarga Hazm dalam meruqyah (gigitan) ular. Maka beliau bersabda kepada Asmaa’ binti ‘Umais : “Mengapa saya melihat badan anak-anak keturunan keturunan anak-anak saudara saya kurus-kurus ? Apakah karena kemiskinan ?”. Asma menjawab : “Tidak, akan tetapi Al-‘Ain cepat menimpa mereka”. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata : “Ruqyahlah mereka” [HR. Muslim no. 2198].
Pendapat Para Ulama Mengenai Al-‘Ain
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata :
قوله باب العين حق أي الإصابة بالعين شيء ثابت موجود أو هو من جملة ما تحقق كونه قال المازري أخذ الجمهور بظاهر الحديث وأنكره طوائف المبتدعة لغير معنى لأن كل شيء ليس محالا في نفسه ولا يؤدي إلى قلب حقيقة
“Perkataan Al-Bukhari : Al-‘Ain adalah haq (benar), yaitu bahwa terkena Al-‘Ain adalah sesuatu yang tetap lagi ada atau ia merupakan perkataan yang menyatakan kebenaran akan wujudnya. Telah berkata Al-Mazar : Jumhur ulama telah mengambil dhahir hadits dan mengingkari golongan-golongan ahlul-bid’ah (yang telah memalingkannya) dari makna sebenarnya. Karena segala sesuatu tidaklah mustahil pada dirinya dan tidaklah pula mengherankan bagi hati atas hakikatnya..” [Fathul-Bari 10/200 penjelasan atas Bab : Al-‘Ainu haqqun].
Ibnul-Atsir berkata :
يقال: أصَابَت فُلاناً عيْنٌ إذا نَظر إليه عَدُوّ أو حَسُود فأثَّرتْ فيه فمَرِض بِسَببها
“Dikatakan : Fulan terkena ‘Ain, yaitu apa bila musuh atau orang-orang dengki memandangnya lalu pandangan itu mempengaruhinya hingga menyebabkannya sakit” [An-Nihayah 3/332].
Ibnul-Jauzi berkata :
العين نظر باستحسان يشوبه شيء من الحسد ويكون الناظر خبيث الطبع كذوات السموم فيؤثر في المنظور إليه
“Al-‘Ain adalah pandangan yang disertai anggapan baik yang bercampur dengan kedengkian. Orang yang memandang tersebut mempunyai tabi’at yang buruk - seperti halnya angin panas (yang memberikan pengaruh pada apa yang dikenainya) - sehingga ia akan memberikan bekas/pengaruh pada orang yang dipandangnya tersebut” [Kasyful-Musykil min Hadiitsish-Shahihain no. 994].
Ibnul-Qayyim berkata :
فَأَبْطَلَتْ طَائِفَةٌ مِمّنْ قَلّ نَصِيبُهُمْ مِنْ السّمْعِ وَالْعَقْلِ أَمْرَ الْعَيْنِ وَقَالُوا : إنّمَا ذَلِكَ أَوْهَامٌ لَا حَقِيقَةَ لَهُ وَهَؤُلَاءِ مِنْ أَجْهَلِ النّاسِ بِالسّمْعِ وَالْعَقْلِ وَمِنْ أَغْلَظِهِمْ حِجَابًا وَأَكْثَفِهِمْ طِبَاعًا وَأَبْعَدِهِمْ مَعْرِفَةً عَنْ الْأَرْوَاحِ وَالنّفُوسِ . وَصِفَاتِهَا وَأَفْعَالِهَا وَتَأْثِيرَاتِهَا وَعُقَلَاءُ الْأُمَمِ عَلَى اخْتِلَافِ مِلَلِهِمْ وَنِحَلِهِمْ لَا تَدْفَعُ أَمْرَ الْعَيْنِ وَلَا تُنْكِرُهُ وَإِنْ اخْتَلَفُوا فِي سَبَبِ وَجِهَةِ تَأْثِيرِ الْعَيْنِ .
“Sekelompok orang yang tidak banyak mendengar dan berfikir menolak masalah (hakikat) Al-‘Ain mengatakan : “Itu hanyalah khayalan yang tidak mempunyai hakikat”. Mereka ini termasuk orang yang paling bodoh karena tidak banyak mendengar dan berfikir, termasuk orang-orang yang paling tebal dinding penutupnya, paling keras tabiatnya, dan paling jauh pengetahuannya tentang ruh dan jiwa. Padahal, sifat-sifat, perbuatan-perbuatan, dan pengaruh-pengaruh Al-‘Ain itu – demikian pula orang-orang yang berakal sehat di kalangan umat dari berbagai aliran dan madzhab – tidak menolak dan tidak mengingkari masalah Al-‘Ain ini, sekalipun mereka berselisih pendapat tentang sebabnya dan bagaimana pengaruh Al-‘Ain itu” [Zaadul-Ma’ad 4/152].
Selanjutnya Ibnul-Qayyim melanjutkan :
وَلَا رَيْبَ أَنّ اللّهَ سُبْحَانَهُ خَلَقَ فِي الْأَجْسَامِ وَالْأَرْوَاحِ قُوًى وَطَبَائِعَ مُخْتَلِفَةً وَجَعَلَ فِي كَثِيرٍ مِنْهَا خَوَاصّ وَكَيْفِيّاتٍ مُؤَثّرَةً وَلَا يُمْكِنُ لِعَاقِلٍ إنْكَارُ تَأْثِيرِ الْأَرْوَاحِ فِي الْأَجْسَامِ فَإِنّهُ أَمْرٌ مُشَاهَدٌ مَحْسُوسٌ وَأَنْتَ تَرَى الْوَجْهَ كَيْفَ يَحْمَرّ حُمْرَةً شَدِيدَةً إذَا نَظَرَ إلَيْهِ مِنْ يَحْتَشِمُهُ وَيَسْتَحِي مِنْهُ وَيَصْفَرّ صُفْرَةً شَدِيدَةً عِنْدَ نَظَرِ مَنْ يَخَافُهُ إلَيْهِ وَقَدْ شَاهَدَ النّاسُ مَنْ يَسْقَمُ مِنْ النّظَرِ وَتَضْعُفُ قُوَاهُ وَهَذَا كُلّهُ بِوَاسِطَةِ تَأْثِيرِ الْأَرْوَاحِ وَلِشِدّةِ ارْتِبَاطِهَا بِالْعَيْنِ يُنْسَبُ الْفِعْلُ إلَيْهَا وَلَيْسَتْ هِيَ الْفَاعِلَةَ وَإِنّمَا التّأْثِيرُ لِلرّوحِ وَالْأَرْوَاحُ مُخْتَلِفَةٌ فِي طَبَائِعِهَا وَقُوَاهَا وَكَيْفِيّاتِهَا وَخَوَاصّهَا فَرُوحُ الْحَاسِدِ مُؤْذِيَةٌ لِلْمَحْسُودِ أَذًى بَيّنًا
وَلِهَذَا أَمَرَ اللّهُ - سُبْحَانَهُ - رَسُولَهُ أَنْ يَسْتَعِيذَ بِهِ مِنْ شَرّهِ وَتَأْثِيرُ الْحَاسِدِ فِي أَذَى الْمَحْسُودِ أَمْرٌ لَا يُنْكِرُهُ إلّا مَنْ هُوَ خَارِجٌ عَنْ حَقِيقَةِ الْإِنْسَانِيّةِ وَهُوَ أَصْلُ الْإِصَابَةِ بِالْعَيْنِ فَإِنّ النّفْسَ الْخَبِيثَةَ الْحَاسِدَةَ تَتَكَيّفُ بِكَيْفِيّةٍ خَبِيثَةٍ وَتُقَابِلُ الْمَحْسُودَ فَتُؤَثّرُ فِيهِ بِتِلْكَ الْخَاصّيّةِ وَأَشْبَهُ الْأَشْيَاءِ بِهَذَا الْأَفْعَى فَإِنّ السّمّ كَامِنٌ فِيهَا بِالْقُوّةِ فَإِذَا قَابَلَتْ عَدُوّهَا انْبَعَثَتْ مِنْهَا قُوّةٌ غَضَبِيّةٌ وَتَكَيّفَتْ بِكَيْفِيّةٍ خَبِيثَةٍ مُؤْذِيَةٍ فَمِنْهَا مَا تَشْتَدّ كَيْفِيّتُهَا وَتَقْوَى حَتّى تُؤَثّرَ فِي إسْقَاطِ الْجَنِينِ وَمِنْهَا مَا تُؤَثّرُ فِي طَمْسِ الْبَصَرِ كَمَا قَالَ النّبِيّ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فِي الْأَبْتَرِ وَذِي الطّفْيَتَيْنِ مِنْ الْحَيّاتِ إنّهُمَا يَلْتَمِسَانِ الْبَصَرَ وَيُسْقِطَانِ الْحَبَل
...........بَلْ التّأْثِيرُ يَكُونُ تَارَةً بِالِاتّصَالِ وَتَارَةً بِالْمُقَابَلَةِ وَتَارَةً بِالرّؤْيَةِ وَتَارَةً بِتَوَجّهِ الرّوحِ نَحْوَ مَنْ يُؤَثّرُ فِيهِ وَتَارَةً بِالْأَدْعِيَةِ وَالرّقَى وَالتّعَوّذَاتِ وَتَارَةً بِالْوَهْمِ وَالتّخَيّلِ وَنَفْسُ الْعَائِنِ لَا يَتَوَقّفُ تَأْثِيرُهَا عَلَى الرّؤْيَةِ بَلْ قَدْ يَكُونُ أَعْمَى فَيُوصَفُ لَهُ الشّيْءُ فَتُؤَثّرُ نَفْسُهُ فِيهِ وَإِنْ لَمْ يَرَهُ وَكَثِيرٌ مِنْ الْعَائِنِينَ يُؤَثّرُ فِي الْمَعِينِ بِالْوَصْفِ مِنْ غَيْرِ رُؤْيَةٍ وَقَدْ قَالَ تَعَالَى لِنَبِيّهِ : {وَإِنْ يَكَادُ الّذِينَ كَفَرُوا لَيُزْلِقُونَكَ بِأَبْصَارِهِمْ لَمّا سَمِعُوا الذّكْرَ } [ الْقَلَمُ 51 ] . وَقَالَ {قُلْ أَعُوذُ بِرَبّ الْفَلَقِ مِنْ شَرّ مَا خَلَقَ وَمِنْ شَرّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ وَمِنْ شَرّ النّفّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ وَمِنْ شَرّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ }. فَكُلّ عَائِنٍ حَاسِدٌ وَلَيْسَ كُلّ حَاسِدٍ عَائِنًا فَلَمّا كَانَ الْحَاسِدُ أَعَمّ مِنْ الْعَائِنِ كَانَتْ الِاسْتِعَاذَةُ مِنْهُ اسْتِعَاذَةً مِنْ الْعَائِنِ وَهِيَ سِهَامٌ تَخْرُجُ مِنْ نَفْسِ الْحَاسِدِ وَالْعَائِنِ نَحْوَ الْمَحْسُودِ وَالْمَعِينِ تُصِيبُهُ تَارَةً وَتُخْطِئُهُ تَارَةً فَإِنْ صَادَفَتْهُ مَكْشُوفًا لَا وِقَايَةَ عَلَيْهِ أَثّرَتْ فِيهِ وَلَا بُدّ وَإِنْ صَادَفَتْهُ حَذِرًا شَاكِيَ السّلَاحِ لَا مَنْفَذَ فِيهِ لِلسّهَامِ لَمْ تُؤَثّرْ فِيهِ وَرُبّمَا رُدّتْ السّهَامُ عَلَى صَاحِبِهَا.
“Tidak diragukan lagi bahwa Allah menciptakan bermacam-macam kekuatan dan tabiat pada jasad dan ruh. Banyak diantaranya yang dijadikan memiliki kekhususan dan seluk-beluk pengaruhnya. Bagi orang yang berakal tidak mungkin menolak pengaruh ruh dalam jasad, karena ia merupakan hal yang empirik. Anda melihat bagaimana wajah menjadi merah padam apabila dipandang oleh orang yang sangat disegani, atau menjadi pucat pasi bila dipandang oleh orang yang ditakuti. Orang-orang pun menyaksikan adanya orang yang sakit dan lemah kekuatannya disebabkan oleh pandangan mata. Ini semua terjadi dengan perantaraan ruh. Dan, mengingat kaitannya yang sangat erat dengan mata, maka orang yang menisbatkan perbuatannya tersebut padanya (mata) padahal sesungguhnya tidaklah demikian, tetapi hanyalah merupakan pengaruh ruh. Sedangkan ruh itu sendiri bermacam-macam tabiat, kekuatan, seluk-beluk, dan kekhususan-kekhususannya. Ruh orang yang mendengki akan menyakiti secara jelas orang yang didengki.
Oleh karena itu, Allah memerintahkan Rasul-Nya agar berlindung kepada-Nya dari kejahatannya. Pengaruh orang yang mendengki dalam menyakiti orang yang didengki merupakan perkara yang tidak dipungkiri kecuali oleh orang yang telah keluar dari hakikat kemanusiaan (gila). Ia (kedengkian) merupakan pangkal terjadinya apa yang disebut : Terkena Al-‘Ain. Karena jiwa yang buruk dan mendengki akan menyesuaikan diri dengan cara yang buruk dan melawan orang yang didengki kemudian mempengaruhinya dengan kekhususan tersebut. Sesuatu yang paling mirip dengan hal ini adalah ular, karena racun tersimpan di dalamnya dengan kuat; apabila ia menghadapi musuhnya maka akan muncul darinya satu kekuatan amarah dan akan menyesuaikan dengan cara yang buruk dan menyakitkan. Diantaranya ada yang sangat kuat cara penyesuaiannya sehingga bisa berpengaruh menggugurkan janin (yang ada dalam kandungan). Ada juga yang bisa menimbulkan kebutaan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang ular bunting dan mempunyai dua garis putih di punggungnya : “Keduanya bisa membutakan kedua mata dan menggugurkan kandungan” [7].
………..
Kadang-kadang pengaruh tersebut terjadi melalui kontak (persentuhan), perlawanan, pandangan, mengerahkan ruh kepada orang yang akan dipengaruhi, doa-doa, jampi-jampi, ta’awudz (doa meminta perlindungan), atau dengan mengkhayalkan dan membayangkan. Pengaruh jiwa orang yang melakukan Al-‘Ain itu tidak hanya tergantung pada pandangan, bahkan bisa jadi matanya buta kemudian dijelaskan padanya sesuatu lalu jiwanya bisa mempengaruhinya sekalipun tidak melihat. Banyak orang yang mempunyai Al-‘Ain dapat mempengaruhi orang yang didengki hanya melalui penjelasan yang didengarnya tanpa melihatnya. Dan sungguh Allah telah berfirman kepada Nabi-Nya : “Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar Al Quran” [QS. Al-Qalam : 51]. Dan Allah juga berfirman : Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki." [QS. Al-Falaq : 1-5]. Maka setiap pelaku ‘Ain adalah pendengki, namun tidaklah setiap pendengki itu adalah pelaku ‘Ain. Seorang pendengki lebih umum daripada seorang pelaku ‘Ain, sehingga isti’adzah terhadap orang yang dengki (dalam ayat) sudah mencakup isti’adzah dari para pelaku ‘Ain. Ia adalah “anak panah” yang keluar dari jiwa seorang pendengki dan pelaku ‘Ain kepada orang yang didengki, yang kadang-kadang menimpanya tapi juga kadang-kadang tidak mengenainya. Jika kebetulan orang yang didengki itu “telanjang” tidak ada “perlindungan” sama sekali, maka pasti akan mempengaruhinya. Jika orang yang didengki itu dalam keadaan “siap membawa senjata”, maka tidak akan mampu menembusnya. Bahkan mungkin anak panah itu akan kembali pada orang yang meluncurkannya” [idem 4/153-154].
Beliau meneruskan :
وَأَصْلُهُ مِنْ إعْجَابِ الْعَائِنِ بِالشّيْءِ ثُمّ تَتْبَعُهُ كَيْفِيّةُ نَفْسِهِ الْخَبِيثَةِ ثُمّ تَسْتَعِينُ عَلَى تَنْفِيذِ سُمّهَا بِنَظْرَةٍ إلَى الْمَعِينِ وَقَدْ يَعِينُ الرّجُلُ نَفْسَهُ وَقَدْ يَعِينُ بِغَيْرِ إرَادَتِهِ.
“Asal terjadinya Al-‘Ain ini adalah dari kekaguman orang yang melakukan ‘Ain itu terhadap sesuatu, kemudian diikuti oleh penyesuaian jiwanya yang buruk lalu melancarkan racunnya menggunakan ‘Ain kepada orang yang didengki. Seseorang bisa jadi melakukan ‘Ain terhadap dirinya dan kadang-kadang pengaruh buruk dari pandangan matanya itu mengenai (seseorang) tanpa kehendaknya” [idem, 4/154].
Perbedaan Antara Al-‘Ain (Mata Kedengkian) dan Kedengkian [8]
Orang yang dengki lebih umum daripada orang yang mempunyai ‘Ain. Orang yang mempunyai ‘Ain adalah orang dengki jenis tertentu. Setiap pelaku ‘Ain adalah pendengki, akan tetapi tidak setiap pendengki adalah pelaku ‘Ain. Oleh sebab itu disebutkan isti’adzah (memohon perlindungan) di dalam QS. Al-Falaq itu adalah dari kedengkian. Jika seorang Muslim ber-isti’adzah dari kejahatan orang yang mendengki, maka sudah termasuk di dalamnya (isti’adzah kepada) pelaku ‘Ain. Ini adalah termasuk kemukjizatan dan balaghah Al-Qur’an.
Kedengkian muncul dari rasa iri, benci, dan mengharapkan lenyapnya nikmat. Sedangkan Al-‘Ain disebabkan oleh kekaguman, kehebatan, dan keindahan.
Kedengkian dan Al-‘Ain (mata kedengkian) memiliki kesamaan dalam hal pengaruh, yaitu menimbulkan bahaya bagi orang yang didengki dan dipandang dengan ‘Ain. Keduanya berbeda dalam soal sumber penyebab. Sumber penyebab kedengkian adalah terbakarnya hati dan mengharapkan lenyapnya nikmat dari orang yang didengki, sedangkan sumber penyebab Al-‘Ain adalah panahan pandangan mata. Oleh sebab itu, kadang-kadang menimpa orang yang tidak didengki seperti benda mati, binatang, tanaman, atau harta ; bahkan bisa jadi menimpa dirinya sendiri. Jadi, pandangannya terhadap sesuatu adalah pandangan kekaguman dan pelototan disertai penyesuaian jiwanya dengan hal tersebut sehingga bisa menimbulkan pengaruh terhadap orang yang dipandang.
Orang yang mendengki bisa saja mendengki sesuatu yang diperkirakan akan terjadi (belum terjadi), sedangkan pelaku ‘Ain tidak akan melayangkan pandangan matanya kecuali pada sesuatu yang telah terjadi.
Orang tidak akan mendengki dirinya atau hartanya sendiri, tetapi bisa jadi dia menatap keduanya (yaitu kepada dirinya dan hartanya itu) dengan ‘Ain (sehingga terjadilah sesuatu pada dirinya).
Kedengkian tidak mungkin muncul kecuali dari orang yang berjiwa buruk dan iri, tetapi Al-‘Ain kadang-kadang terjadi dari orang yang shalih ketika dia mengagumi sesuatu tanpa ada maksud darinya untuk melenyapkannya, sebagaimana yang dialami oleh ‘Amir bin Rabi’ah ketika tatapannya menimpa Sahl bin Hunaif. Padahal ‘Amir radliyallaahu ‘anhu termasuk generasi awal bahkan termasuk Mujahidin Badr. Diantara ulama yang membedakan antara kedengkian dan Al-‘Ain (mata kedengkian) adalah Ibnul-Jauzi, Ibnul-Qayyim, Ibnu Hajar, An-Nawawi dan lainnya.
Oleh karena itu, setipa muslim yang melihat sesuatu yang menakjubkan dianjurkan agar mendoakan keberkahannya baik sesuatu itu miliknya ataupun milik orang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Sahl bin Hunaif : “Mengapa kamu tidak memberkahinya ?”
Yaitu mendoakan keberkahannya, karena doa ini bisa mencegah Al-‘Ain.
Pengobatan Mata Kedengkian
Memandikan Pelaku ‘Ain
Jika telah diketahui pelaku ‘Ain-nya, maka perintahkanlah ia agar mandi kemudian air yang dipakai mandi tersebut diambil dan disiramkan kepada orang yang terkena ‘Ain dari arah belakangnya.
عن أبي أمامة بن سهل بن حنيف أن أباه حدثه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج وساروا معه نحو مكة حتى إذا كانوا بشعب الخرار من الجحفة أغتسل سهل بن حنيف وكان رجلا أبيض حسن الجسم والجلد فنظر إليه عامر بن ربيعة أخو بني عدي بن كعب وهو يغتسل فقال ما رأيت كاليوم ولا جلد مخبأة فلبط فسهل فأتى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقيل له يا رسول الله هل لك في سهل والله ما يرفع رأسه وما يفيق قال هل تتهمون فيه من أحد قالوا نظر إليه عامر بن ربيعة فدعا رسول الله صلى الله عليه وسلم عامرا فتغيظ عليه وقال علام يقتل أحدكم أخاه هلا إذا رأيت ما يعجبك بركت ثم قال له أغتسل له فغسل وجهه ويديه ومرفقيه وركبتيه وأطراف رجليه وداخلة إزاره في قدح ثم صب ذلك الماء عليه يصبه رجل على رأسه وظهره من خلفه ثم يكفئ القدح وراءه ففعل به ذلك فراح سهل مع الناس ليس به بأس
Dari Umamah bin Sahl bin Hunaif, bahwasannya ayahnya telah menceritakan kepadanya : Bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pergi bersamanya menuju Makkah. Ketika sampai di satu celah bukit Kharar di daerah Juhfah, maka Sahl bin Hunaif mandi. Ia adalah seorang yang yang berkulit sangat putih dan sangat bagus. Maka ‘Amir bin Rabi’ah - kerabat Bani ‘Adi bin Ka’b – memandangnya ketika ia sedang mandi. ‘Amir berkata : ‘Aku belum pernah melihat seperti sekarang, juga tidak pernah melihat kulit wanita perawan bercadar’. Maka tiba-tiba Sahl jatuh terguling (karena sakit. Maka datag Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan dikatakan kepada beliau : “Wahai Rasulullah, apa kira-kira yang terjadi pada Sahl ? Ia (Sahl) tidak bisa mengangkat kepalanya dan sekarang ia belum juga sadar”. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bertanya : “Apakah ada seseorang yang kalian curigai ?”. Mereka berkata : “Amir bin Rabi’ah telah memandangnya”. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memanggilnya lalu memarahinya dan bersabda : ‘Mengapa salah seorang diantara kalian hendak membunuh Saudaranya ? Mengapa ketika kamu melihat sesuatu hal yang menakjubkanmu, kamu tidak memberkahi ?”. Kemudian beliau berkata kepadanya : “Mandilah untuknya !”. Kemudian ‘Amir mencuci mukanya, kedua tangannya, kedua sikunya, kedua lututnya, jari-jari kedua kakinya, dan bagian dalam kainnya di dalam bejana. Kemudian (air bekas mandi itu) disiramkan kepadanya (Sahl) oleh seseorang ke kepalanya dan punggungnya dari arah belakangnya. Kemudian bejana terebut ditumpahkan isinya di belakangnya. Maka setelah hal itu dilakukan, Sahl kembali bersama orang-orang dalam keadaan tidak kurang suatu apa (sehat kembali). ” [HR. Ahmad 3/486 no. 16023, Malik 2/938 no. 1678, dan Nasa’i dalam Al-Kubraa 4/380 no. 7616; dishahihkan oleh Al-Arnauth dalam dalam Ta’liqnya terhadap Musnad Ahmad dan Al-Albani dalam Shahihul-Jaami’ no. 4020].
Bisa juga pelaku ‘Ain cukup berwudlu saja dan kemudian air bekas wudlunya dipakai mandi oleh orang yang terkena ‘Ain.
عن عائشة رضى الله تعالى عنها قالت كان يؤمر العائن فيتوضأ ثم يغتسل منه المعين
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Orang yang melakukan ‘Ain diperintahkan agar berwudlu kemudian orang yang terkena ‘Ain mandi dari air (bekas wudlu tadi)” [HR. Abu Dawud no. 3880; dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/467].
Meletakan tangan ke atas kepala penderita ‘Ain dengan membaca :
بِسْمِ اللهِ أَرْقِيْكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيْكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عَيْنٍ حَاسِدٍ اللهُ يَشْفِيْكَ بِسْمِ اللهِ أَرْقِيْكَ
“Dengan nama Allah, aku meruqyahmu dari setiap sesuatu yang menyakitimu dab dari kejelekan setiap jiwa atau mata yang dengki. Allah-lah yang menyembuhkanmu. Dengan nama Allah aku meruqyahmu” [HR. Muslim no. 2186].
بِسْمِ اللهِ يُبْرِيْكَ وَمِنْ كُلِّ دَاءٍ يَشْفِيْكَ وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ وَمِنْ شَرِّ ذِيْ عَيْنٍ
“Dengan nama Allah, mudah-mudahan Dia membebaskanmu, dari setiap penyakit, mudah-mudahan Dia akan menyembuhkanmu, melindungimu dari kejahatan orang dengki jika dia mendengki dan dari kejahatan setiap orang yang mempunyai ‘Ain (mata dengki)” [HR. Muslim no 2185].
Meletakkan tangan di bagian atas yang sakit dan meruqyah dengan QS. Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Naas [Muttafaqun ‘alaih].
Abul-Jauzaa' Al-Bogory
Catatan kaki :
[1] Yaitu apabila salah seorang di antara kalian diminta mandi untuk Saudaranya yang muslim karena dia terkena Al-‘Ain, maka hendaklah ia memenuhi permintaannya dan mandi untuknya.
[2] Yaitu, sesungguhnya Al-’Ain dapat menimpa seseorang kemudian mempengaruhinya hingga (jika) orang itu naik ke tempat yang tinggi kemudian jatuh dari atas karena pengaruh Al-’Ain.
[3] Maksudnya : Sesungguhnya Al’Ain dapat menimpa seseorang hingga membunuhnya lalu mati dan dikuburkan ke dalam kuburan; dan bisa menimpa onta hingga nyaris mati dan disembelih pemiliknya kemudian dimasak di dalam kuali.
[4] Al-Humah adalah setiap sengatan berbisa seperti sengatan ular, kalajengking, dan yang lainnya [An-Nihayah fii Ghariibil-Hadits oleh Ibnul-Atsir 5/120]
[5] An-Namlah adalah nanah yang keluar dari perut (lambung) [idem].
[6] Saf’ah adalah tanda dari syaithan. Dikatakan pula bahwa ia adalah satu pukulan darinya, yaitu cekungan hitam atau kuning di wajahnya [An-Nihayah fii Ghariibil-Hadits oleh Ibnul-Atsir 2/375].
[7] HR. Bukhari no. 3123 dan Muslim no. 2233.
[8] Lihat Al-‘Ainu haqq hal. 28.