10/13/2013

Berdzikirlah Sebelum Hubungan Intim

Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِىَ أَهْلَهُ قَالَ: “بِاسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا“، فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِى ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا “Jika salah seorang dari kalian (suami) ketika ingin mengumpuli istrinya, dia membaca doa: [Bismillah Allahumma jannibnaasy syaithoona wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa], “Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki[1] yang Engkau anugerahkan kepada kami”, kemudian jika Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan intim tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya”[2]. Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan membaca zikir/doa ini sebelum berhubungan suami istri, karena disamping mendapat pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, ini merupakan sebab selamatnya seorang bayi dari bahaya dan keburukan setan[3]. Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan membaca zikir/doa ini sebelum berhubungan suami istri, karena disamping mendapat pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, ini merupakan sebab selamatnya seorang bayi dari bahaya dan keburukan setan[3]. Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini: Iblis dan bala tentaranya selalu berusaha menanamkan benih-benih keburukan kepada manusia sejak baru dilahirkan ke dunia ini dan sebelum mengenal nafsu, indahnya dunia dan godaan-godaan duniawi lainnya, apalagi setelah dia mengenal semua godaan tersebut[4]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) dari setan”[5]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (suci dan cenderung kepada kebenaran), kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka (Islam)”[6]. Agungnya petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mensyariatkan zikir dan doa untuk kebaikan agama manusia dan perlindungan dari keburukan tipu daya setan. Arti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “…setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya”: setan tidak akan bisa menyesatkan dan mencelakakan anak tersebut dalam diri dan agamanya, tapi bukan berarti ini menunjukkan bahwa anak tersebut terlindungi dan terjaga dari perbuatan dosa[7]. Termasuk keburukan yang terjadi akibat tidak menyebut nama Allah ‘Azza wa Jalla sebelum berhubungan intim adalah ikutsertanya setan dalam hubungan intim tersebut, sebagaimana yang diterangkan oleh imam Ibnu hajar, asy-Syaukani dan as-Sa’di[8], na’uudzu billahi min dzaalik. Imam Ibnu Hajar dan al-Munawi menjelaskan bahwa zikir/doa ini diucapkan ketika hendak berhubungan suami-istri dan bukan ketika sudah dimulai hubungan intim[9]. Anjuran membaca zikir/doa ini juga berlaku bagi pasangan suami-istri yang diperkirakan secara medis tidak punya keturunan, karena permohonan dalam doa/zikir ini bersifat umum dan tidak terbatas pada keturunan/anak saja[10]. وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

baca selengkapnya......

Menggerakkan Telunjuk Ketika Tasyahud

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Permasalahan satu ini sering jadi perdebatan di kalangan para ikhwah. Apakah dalam tasyahud mesti menggerakkan jari telunjuk, atau jarinya dalam keadaan diam saja. Untuk masalah yang satu ini, kami cuma menukil penjelasan dari salah seorang ulama saja tentang status hadits menggerak-gerakkan jari. Kami tidak sampai berpanjang lebar dalam membahas hal ini karena ternyata di dunia maya juga sudah dibahas oleh ustadz lainnya. Sehingga kami cukupkan dengan penjelasan singkat dari ulama Mesir, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah dalam kitab beliau Syarh ‘Ilalil Hadits. Semoga bermanfaat. Syaikh Musthafa Al ‘Adawi berkata, Mengenai ziyadah (tambahan) lafazh “yuharrikuhaa” (يحركها) yaitu pada hadits yang membicarakan isyarat dengan telunjuk ketika tasyahud, hadits tersebut diriwayatkan dalam beberapa kitab. Sumbernya adalah dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ayahnya. Dari Wail bin Hujr, ia berkata, “Aku katakan, “Sungguh, aku memperhatikan shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana beliau melakukan shalat.” Ia berkata, “Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menghadap kiblat, lalu bertakbir, lalu ia mengangkat kedua tangannya hingga sejajar kedua telinga, dan meletakkan tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kirinya.” Kemudian saat akan ruku’ beliau mengangkat kedua tangannya seperti itu juga. Ketika sujud, beliau meletakkan kepalanya dengan posisi berada di depannya. Kemudian setelah itu beliau duduk iftirosy (menduduki kakinya yang kiri). Lantas ketika itu beliau letakkan tangan kirinya di atas paha kirinya, sedangkan siku kanannya diletakkan di atas paha kanannya. Beliau menggenggam dua jarinya dan membuat lingkaran. Aku melihatnya berkata seperti itu. Yaitu beliau membentuk lingkaran dengan jari jempol dan jari tengah (menurut salah satu riwayat). Lalu beliau berisyarat dengan jari telunjuk. Perkataan kita sekarang adalah pada lafazh “asyaro bis-sabaabah”, artinya beliau berisyarat dengan jari telunjuk. Mayoritas perowi meriwayatkan hadits seperti itu, yaitu dikatakan “beliau berisyarat dengan jari telunjuk”. Sebagian perowi berkata lagi, “Beliau berisyarat dengan jari telunjuk dan berdoa dengannya.” Adapun Zaidah bin Qudamah, beliau meriwayatkan hadits dengan lafazh, “Kemudian beliau mengangkat jarinya, maka aku melihat beliau menggerak-gerakkan jarinya lantas beliau berdoa dengannya.” Zaidah rahimahullah bersendirian dalam meriwayatkan hal ini berbeda dengan perowi yang lain. Bedanya beliau adalah karena adanya tambahan lafazh “yuharrikuhaa”, artinya beliau menggerak-gerakkan jarinya. Zaidah bin Qudamah itu tsiqoh (kredibel) dan orang yang mulia, semoga Allah merahmati beliau. Beliau juga dipandang sebagai orang yang tsiqah (kredibel) dan muthqin (kokoh hafalannya). Akan tetapi, mayoritas perowi tidak menyebutkan sebagaimana yang disebutkan oleh Zaidah. Sehingga dari sini kita diamkan tambahan yang dibuat oleh Zaidah yaitu tambahan “yuharrikuhaa”, artinya beliau menggerak-gerakkan jarinya. Berikut adalah tabel sebagai penjelas yang kami maksudkan. Wabillahit taufiq. Sebagaimana yang Anda lihat, Zaidah hanya bersendirian dalam meriwayatkan lafazh “yuharrikuha” (beliau menggerak-gerakkan jarinya). Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata, “Tidak ada dalam satu riwayat yang menyebutkan “yuharrikuha” kecuali dari riwayat Zaidah di mana beliau (bersendirian) menyebutkannya.” Al Baihaqi rahimahullah berkata, “Boleh jadi yang dimaksud dengan yuharrikuha (menggerak-gerakkan jari) adalah hanya berisyarat dengannya, bukan yang dimaksud adalah menggerak-gerakkan jari. Sehingga jika dimaknai seperti ini maka jadi sinkronlah dengan riwayat Ibnu Az Zubair. Wallahu a’lam.” Aku (Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi) berkata, “Riwayat Ibnu Az Zubair yang dikeluarkan oleh Muslim hanya menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya berisyarat saja dan tidak disebutkan menggerak-gerakkan jari (Syarh ‘Ilalil Hadits, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, Maktabah Makkah, 168-170) *** Pembahasan secara lengkap tentang hal ini telah dibahas oleh Al Ustadz Abu Muawiyah hafizhohullah, yang dinukil dari Majalah An Nashihah. Silakan lihat di sini. Sekali lagi ini adalah masalah khilafiyah, jadi kami pun menghargai pendapat lainnya. Namun demikianlah pendapat yang kami pegang berdasarkan penelitian dari hadits-hadits yang ada sesuai dengan keterbatasan ilmu yang ada pada kami. Catatan yang perlu diperhatikan, tidaklah usah merasa aneh jika ada yang tidak menggerak-gerakkan jari ketika tasyahud. Sebagaimana tidak perlu merasa aneh jika ada yang menggerak-gerakkan jari karena sebagian ulama berpendapat seperti ini. Namun sebaik-baik pendapat yang diikuti adalah yang berpegang pada pendapat yang kuat. Jika yakin bahwa hadits menggerak-gerakkan jari itu lemah karena menyelisihi banyak perowi yang lebih tsiqoh, maka sudah sepatutnya yang diikuti adalah yang yakin yaitu tidak menggerak-gerakkan jari. Namun ingat, tetaplah tolerir dengan pendapat lainnya karena masalah ini masih dalam tataran khilafiyah (silang pendapat antara para ulama). Wallahu a’lam bish showab. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat

baca selengkapnya......

Tidak Perlu Bertanya

Dikeluarkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak-nya (7161), حَدَّثَنَاهُ أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ، أنبأ بِشْرُ بْنُ مُوسَى ثنا الْحُمَيْدِيُّ، ثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ ابْنِ عَجْلَانَ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ رِوَايَةً قَالَ: «إِذَا دَخَلْتَ عَلَى أَخِيكَ الْمُسْلِمِ فَأَطْعَمَكَ طَعَامًا فَكُلْ وَلَا تَسْأَلْهُ وَإِذَا سَقَاكَ شَرَابًا فَاشْرَبْهُ وَلَا تَسْأَلْهُ» “Abu Bakr bin Ishaq menuturkan kepadaku, Bisyr bin Musa mengabarkan kepadaku, Al Humaidi menuturkan kepadaku, Sufyan menuturkan kepadaku, dari Ibnu ‘Ajlan, dari Sa’id, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, sebuah riwayat yang berbunyi, Jika kalian datang ke rumah saudara kalian sesama muslim, lalu ia memberimu makanan, maka makanlah dan jangan bertanya. Jika ia memberimu minuman, maka minumlah dan jangan bertanya” Derajat Hadits Seluruh perawinya tsiqah kecuali Ibnu ‘Ajlan. Ia adalah Muhammad bin ‘Ajlan Al Qurasyi. Imam Ahmad berkata: “Ibnu ‘Ajlan tsiqah“. Demikian juga Ibnu Ma’in, Abu Hatim dan Ibnu ‘Uyainah men-tsiqah-kannya. Namun Adz Dzahabi mengatakan: “para imam muta’akhirin telah menyatakan bahwa ia buruk hafalannya”. Adz Dzahabi juga menyatakan: “Ibnu ‘Ajlan terkadang meriwayatkan dari Sa’id (Al Maqbari), dari ayahnya (Kaisan Al Laitsi), dari Abu Hurairah, atau dari seseorang dari Abu Hurairah, namun terjadi ikhtilath pada hafalannya sehingga ia menyatakan dari Abu Hurairah” (Mizan Al I’tidal, 3/645). Adz Dzahabi menyatakan bahwa Ibnu ‘Ajlan statusnya shaduq dan ini yang tepat insya Allah. Perawi shaduq haditsnya hasan jika ada mutaba’ahnya. Ibnu ‘Ajlan memiliki mutaba’ah dalam jalan yang lain. Dicatat oleh Abu Yahya Al Mushili dalam Musnad-nya (6323), حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْقَوَارِيرِيُّ ، حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ خَالِدٍ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إِذَا دَخَلْتَ عَلَى أَخِيكَ الْمُسْلِمِ ، فَكُلْ مِنْ طَعَامِهِ وَلا تَسْأَلْهُ ، وَاشْرَبْ مِنْ شَرَابِهِ وَلا تَسْأَلْهُ Abu Yahya bin Umar Al Qawariri menuturkan kepadaku, Muslim bin Khalid menuturkan kepadaku, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Atha bin Yasar, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Jika kalian datang ke rumah saudara kalian sesama muslim, lalu ia memberimu makanan, maka makanlah dan jangan bertanya. Jika ia memberimu minuman, maka minumlah dan jangan bertanya” Semua perawinya tsiqah kecuali Muslim bin Khalid Al Qurasyi. Ibnu Hajar berkata: “shaduq, tapi sering ragu dalam hafalannya”. Namun ia memiliki mutaba’ah pada sanad yang pertama. Sehingga dengan memperhatikan dua jalan ini, hadits di atas statusnya shahih lighairihi. Adapun maksud perkataan riwayatan (رِوَايَةً) dalam sanad pertama maknanya adalah marfu’an (مرفوعا), sebagaimana sering dijelaskan dalam ilmu musthalah hadits. Sehingga tidak layak mencacati riwayat tersebut karena sebab ini (Silsilah Ash Shahihah, 2/204). Faidah Hadits Kaidah ahlussunnah wal jama’ah, الاصل في جميع المسلمين سلامة القصد و المعتقد حتى يظهر خلاف ذلك “hukum asal bagi seluruh kaum muslimin adalah memiliki keyakinan yang lurus dan aqidah yang selamat hingga nampak hal-hal yang bertentangan dengan aqidah yang lurus pada dirinya” Maka, pada dasarnya kita mesti beranggapan semua kaum muslimin itu memiliki keyakinan yang benar dalam mencari penghidupan, bahwa mereka senantiasa mencari yang halal. Prinsip ini mesti kita terapkan pada setiap kaum muslimin, kecuali kita melihat adanya indikasi pada seseorang bahwa tidak mencari rizki dari yang halal. Demikian, seorang muslim yang kita kunjungi rumahnya, kita mesti memiliki keyakinan asal bahwa ia rizkinya halal, makanannya halal, sehingga tidak perlu ditanyakan ‘makanan ini darimana?’, ‘belinya dengan cara halal atau tidak?’, ‘disembelihnya dengan cara syar’i atau tidak?’, ‘mengandung zat haram atau tidak’ atau pertanyaan-pertanyaan serupa. Kecuali, kita melihat atau mencium adanya indikasi bahwa harta atau makanannya tidak halal, barulah ketika itu kita boleh bertanya. Syaikh Al Albani menjelaskan: “orang yang dimaksudkan oleh zhahir hadits ini maksudnya adalah orang yang menilai dengan sangkaan kuat bahwa harta orang yang dikunjunginya itu halal dan terhindar dari keharaman. Adapun jika ia tidak menilai demikian, wajib bertanya. Semisal yang terjadi pada sebagian kaum muslimin yang menjadi warga negara di negara kafir. Orang-orang yang semisal mereka, wajib kita tanyakan apakah daging yang mereka hidangkan itu dibunuh biasa ataukah disembelih secara syar’i?” (Silsilah Ash Shahihah, 2/204). Dilarang membangun kecurigaan terhadap orang lain tanpa dasar. Hadits ini juga menunjukkan bahwa kita hendaknya tidak mengucapkan perkataan yang mengarah pada kecurigaan dan tuduhan. Karena dengan mempertanyakan makanan yang dihidangkan, teman kita yang menyediakan makanan akan merasa dicurigai atau dituduh menyediakan makanan yang haram. Hadits di atas juga dalil bahwa jika kita bertamu lalu dihidangkan makanan, hendaknya kita makan makanan yang dihidangkan, jangan diabaikan. Makanan yang berasal dari orang-orang yang halal sembelihannya, yang tidak nampak keharaman secara zhahirnya, maka hukum asalnya halal dan tidak perlu dipertanyakan atau dicurigai. Sebagaimana kasus tersebut pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, أَنَّ قَوْمًا قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ نَاسًا حَدِيثِي عَهْدٍ بِالْإِسْلَامِ يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ وَلَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ أَمْ لَمْ يَذْكُرُوا؟ فَقَالَ: سَمُّوا اللهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ Beberapa orang mengadukan sesuatu kepada Rasulullah: “wahai Rasulullah, ada orang yang baru masuk Islam memberi kami daging. kami tidak tahu ia menyebut nama Allah atau tidak ketika menyembelih”. Rasulullah bersabda: “kalau begitu, sebutlah nama Allah lalu kalian makanlah“. (HR. Bukhari 5507) Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan hadits ini: ‘Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika bersabda kalau begitu, sebutlah nama Allah lalu kalian makanlah seolah-olah merupakan kritikan pedas terhadap mereka. Seolah-olah beliau mengatakan, ‘kalian tidak mendapat taklif (beban syariat) dari amalan orang lain. soal menyembelih (daging hadiah tersebut), itu amalan si pemberi. Dan kalian kelak (di akhirat) tidak akan ditanya mengenai amalan itu. Yang ditanya dari kalian adalah yang kalian amalkan. jadi, kalian sebutlah nama Allah dan makanlah‘. Ini jelas sekali bagi yang mau merenungkan” (Asy Syarhul Mumthi 15/84) Jika demikian pada daging sembelihan, maka makanan yang non-daging sembelihan lebih layak lagi untuk tidak dicurigai kehalalannya. Islam melindungi umatnya dari was-was, karena was-was adalah penyakit jiwa yang dihembuskan setan. Sering curiga dan khawatir terhadap kehalalan makanan padahal zhahirnya tidak ada keharaman, adalah bentuk was-was. Allah Ta’ala berfirman: قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ إِلَهِ النَّاسِ مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ مِنْ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejelekan was-was setan yang biasa bersembunyi, yang menimbulkan was-was dalam dada manusia. Dari (golongan) jin dan manusia” (QS. An Naas) Namun jika kekhawatiran tersebut dilandasi indikasi-indikasi yang kuat, namun tidak sampai tingkat yakin, maka itu disebut asy syakk atau ragu. Para ulama mengatakan, الشك اي ادراك الشيئ مع احتمال مساو “Asy Syakk (ragu) adalah mengetahui sesuatu namun terdapat kemungkinan lain yang tingkat keyakinannya 50:50″ Jika itu syakk (ragu), maka wajib bertanya dalam rangka tabayyun (klarifikasi). Jika tidak bisa tabayyun maka berlaku hadits: دع ما يريبك إلى ما لا يريبك “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu” (HR. Tirmidzi 2518, ia berkata: “hasan shahih”) Makanan yang beredar di negeri kaum muslimin dan tidak nampak keharaman secara zhahir, hukum asalnya halal walaupun tidak ada cap halal. Kecuali ada keraguan yang didasari indikasi atau kabar yang bisa dipertanggung-jawabkan bahwa makanan tersebut mengandung keharaman. Lebih lagi jika buktinya otentik sampai tingkatan yakin itu mengandung keharaman, maka wajib ditinggalkan

baca selengkapnya......

Orang Yang Pantas Dicemburui

Hukum asalnya, sifat iri dan cemburu terhadap kelebihan orang lain dalam Islam tidak diperbolehkan. Karena sifat ini mengandung prasangka buruk kepada Allah dan tidak ridha dengan pembagian yang Allah berikan kepada makhluk-Nya. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengecualikan beberapa orang yang boleh dan pantas untuk dicemburui karena kelebihan besar yang mereka miliki. Siapakah mereka? Temukan jawabannya dalam hadits berikut ini, Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: لاَ حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ القُرْآنَ، فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ، وَآنَاءَ النَّهَارِ، فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ، فَقَالَ: لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلاَنٌ، فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الحَقِّ، فَقَالَ رَجُلٌ: لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلاَنٌ، فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ “Tidak ada (sifat) iri (yang terpuji) kecuali pada dua orang: seorang yang dipahamkan oleh Allah tentang al-Qur-an kemudian dia membacanya di waktu malam dan siang hari, lalu salah seorang tetangganya mendengarkan (bacaan al-Qur-an)nya dan berkata: “Duhai kiranya aku diberi (pemahaman al-Qur-an) seperti yang diberikan kepada si Fulan, sehingga aku bisa mengamalkan seperti (membaca al-Qur-an) seperti yang diamalkannya. Dan seorang yang dilimpahkan oleh Allah baginya harta (yang berlimpah) kemudian dia membelanjakannya di (jalan) yang benar, lalu ada orang lain yang berkata: “Duhai kiranya aku diberi (kelebihan harta) seperti yang diberikan kepada si Fulan, sehingga aku bisa mengamalkan (bersedekah di jalan Allah) seperti yang diamalkannya” (HR. Al-Bukhari). Maksud “iri/cemburu” dalam hadits ini adalah iri yang benar dan tidak tercela, yaitu al-gibthah, yang artinya menginginkan nikmat yang Allah berikan kepada orang lain tanpa mengharapkan hilangnya nikmat itu dari orang tersebut1. Coba perhatikan dan renungkan hadits ini dengan seksama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallammenyebutkan dua golongan manusia yang pantas untuk dicemburui, yaitu orang yang memahami al-Qur’an dan mengamalkannya serta orang yang memiliki harta dan menginfakkannya di jalan Allah. Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan sebab yang menjadikan mereka pantas untuk dicemburui, bukan karena kelebihan dunia semata yang mereka miliki, tapi karena mereka mampu untuk menundukkan hawa nafsu yang mencintai dunia secara berlebihan, sehingga harta yang mereka miliki tidak menghalangi mereka untuk meraih keutamaan tinggi di sisi Allah. Inilah kelebihan sejati yang pantas dicemburui, adapun kelebihan harta atau kedudukan duniawi semata maka ini sangat tidak pantas untuk dicemburui, karena ini hakikatnya bukan merupakan kelebihan tapi celaan dan fitnah bagi manusia, sebagaimana sabda Rasulullah s shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta”2. Oleh karena itu, cemburu dan iri hanya karena kelebihan harta yang dimiliki seseorang tanpa melihat bagaimana penggunaan harta tersebut, ini adalah sifat yang sangat tercela. Allah berfirman tentang orang-orang yang iri melihat harta kekayaan Qarun: {فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ. وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُونَ. فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِينَ. وَأَصْبَحَ الَّذِينَ تَمَنَّوْا مَكَانَهُ بِالْأَمْسِ يَقُولُونَ وَيْكَأَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَوْلَا أَنْ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا وَيْكَأَنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ} “Maka keluarlah dia (Qarun) kepada kaumnya dengan perhiasannya (harta bendanya). Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia berkata: “Duhai kiranya kami mempunyai harta kekayaan seperti yang diberikan kepada Qarun, sesungguhnya dia benar-benar memiliki keberuntungan yang besar. Tetapi orang-orang yang dianugerahi ilmu berkata: “Celakalah kalian! Ketahuilah, pahala Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan (pahala yang besar) itu hanya diperoleh oleh orang-orang yang sabar. Maka kami benamkan dia (Qarun) bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya satu golongan pun yang (mampu) menolongnya selain Allah, dan dia tidak termasuk orang-orang yang dapat membela diri. Dan jadilah orang-orang yang kemarin mengangan-angankan kedudkan (harta benda) Qarun itu berkata: “Aduhai, benarlah kiranya Allah yang melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia dikehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan membatasi (bagi siapa yang Dia dikehendaki di antara hamba-hamba-Nya). Sekiranya Allah tidak melimpahkan karunia-Nya kepada kita, tentu Dia telah membenamkan kita pula. Aduhai, benarlah kiranya tidak akan beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah)” (QS. Al Qashash: 79-92) Adapun contoh sikap cemburu yang benar adalah sikap cemburu dalam kebaikan yang ditunjukkan oleh orang-orang yang sempurna iman mereka, para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits berikut: Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dia berkata: Orang-orang miskin (dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) pernah datang menemui beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu mereka berkata: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, orang-orang (kaya) yang memiliki harta yang berlimpah bisa mendapatkan pahala (dari harta mereka), kedudukan yang tinggi (di sisi Allah Ta’ala) dan kenikmatan yang abadi (di surga), karena mereka melaksanakan shalat seperti kami melaksanakan shalat dan mereka juga berpuasa seperti kami berpuasa, tapi mereka memiliki kelebihan harta yang mereka gunakan untuk menunaikan ibadah haji, umrah, jihad dan sedekah, sedangkan kami tidak memiliki harta…”. Dalam riwayat Imam Muslim, di akhir hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Itu adalah kerunia (dari) Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya“3. Imam Ibnu Hajar berkata: “Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) lebih utamanya orang kaya yang menunaikan hak-hak (Allah Ta’ala) pada (harta) kekayaannya dibandingkan orang miskin, karena berinfak di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits di atas) hanya bisa dilakukan oleh orang kaya”4. Kesimpulannya, termasuk orang yang pantas dicemburui, bahkan kecemburuan tersebut dipuji dalam Islam adalah orang yang memiliki kelebihan dalam harta tapi dia selalu menginfakkan hartanya di jalan Allah. Karena kecemburuan ini dapat menjadi motivasi untuk berlomba-lomba dalam kebaikan yang diperintahkan dalam agama. Allah berfirman: وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ “Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan” (QS al-Baqarah: 148). Jadi cemburu dan iri kepada kelebihan harta yang dimiliki seseorang bukan karena kelebihan harta yang dimilikinya semata-mata, akan tetapi karena motivasi kebaikan besar yang dimilikinya dengan banyak membelanjakan hartanya di jalan Allah. Inilah sebaik-baik harta yang dimiliki oleh orang yang beriman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Sebaik-baik harta yang shaleh (penuh berkah) adalah untuk hamba yang shaleh”. Adapun sifat rakus dan ambisi berlebihan terhadap harta tanpa mempertimbangkan keberkahan dan manfaatnya dalam meraih keridhaan Allah maka ini perbuatan tercela dan sebab yang akan merusak keimanan seorang hamba, serta menjadikannya jauh dari segala kebaikan dunia dan akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)”5. Semoga Allah meudahkan kita untuk selalu berlomba-lomba dalam kebaikan dan ketaatan kepada-Nya. وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين Kota Jakarta, 17 Jumadal ula 1434 H 1 Lihat kitab “Siyaru alaamin nubalaa’” (8/437). 2 HR at-Tirmidzi (no. 2336) dan Ahmad (4/160), dinyatakan shahih oleh imam at-Tirmidzi dan al-Albani. 3 HSR al-Bukhari (no. 807 dan 5970) dan Muslim (no. 595). 4 Kitab “Fathul Baari” (3/298). 5 HR Ibnu Majah (no. 4105), Ahmad (5/183), ad-Daarimi (no. 229), Ibnu Hibban (no. 680) dan lain-lain dengan sanad yang shahih, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan syaikh al-Albani.

baca selengkapnya......

Bid’ah Bukan Dalam Urusan Dunia

“Dikit-dikit dibilang bid’ah, dikit-dikit bid’ah? mau baca surat Yasin tiap malam Jumat dibilang bid’ah, mau dzikir 7777 kali tiap malam Rabu Pahing dibilang bid’ah, ini bid’ah, itu bid’ah. Kalo begitu pergi haji pake unta aja kayak zaman Nabi, pesawat kan ga ada di zaman Nabi, itu bid’ah pakai pesawat…” Komentar di atas adalah komentar orang yang belum mengerti hakikat bid’ah. Padahal memahami bid’ah sama pentingnya dengan memahami sunnah, sebagaimana pentingnya memahami syirik lawan dari tauhid. Pengertian bid’ah secara ringkas Sebelumnya ada baiknya kita mengetahui apa itu bid’ah. Sebenarnya untuk lebih memahami bid’ah maka butuh pemahasan yang agak panjang dengan berbagai jenis dan macam serta kaidah-kaidahnya. Akan tetapi kami bawakan pejelasan ringkasnya agar lebih memahami judul dari tulisan ini. Bid’ah secara ringkas adalah: Pakar Bahasa Al-Fairuz Abadi rahimahullah berkata mengenai pengertian bid’ah, الحدث في الدين بعد الإكمال “Suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna “1 atau ما أحدث في الدين من غير دليل “Sesuatu yang baru (dibuat-buat) dalam masalah agama tanpa adanya dalil.”2 Dan pengertian yang cukup lengkap sebagaimana dijelaskan Ast-Syathibi dalam kitab Al-I’tisham (kitab yang membahas seluk-beluk bid’ah). Beliau menjelaskan bid’ah adalah: طريقة في الدين مخترعة، تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه “Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah .” Definisi di atas adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya adat (tradisi). Adapun yang memasukkan adat (tradisi) dalam makna bid’ah, mereka mendefinisikan bahwa bid’ah adalah طريقة في الدين مخترعة، تضاهي الشرعية، يقصد بالسلوك عليها ما يقصد بالطريقة الشرعية Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil) dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan (adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah).3 Bid’ah adalah dalam urusan agama saja Dari berbagai penjelasan ulama mengenai pengertian bid’ah, sudah jelas bahwa bid’ah adalah dalam urusan agama bukan urusan dunia. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْأَحْدَثَفِىأَمْرِنَاهَذَامَالَيْسَمِنْهُفَهُوَرَدٌّ “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”4 Demikian juga penjelasan ulama yang lain. Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata mengenai bid’ah, مَنْاِخْتَرَعَفِيالدِّينمَالَايَشْهَدلَهُأَصْلمِنْأُصُولهفَلَايُلْتَفَتإِلَيْهِ “Siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama lalu tidak didukung oleh dalil, maka ia tidak perlu ditoleh.”5 Beliau juga berkata, أصلهاماأحدثعلىغيرمثالسابق،وتطلقفيالشرعفيمقابلالسنّةفتكونمذمومة “ (Bid’ah) Asalnya adalah apa-apa yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya dan dimutlakkan dalam syariat (agama) yang menyelisihi sunnah sehingga menjadi tercela.”6 Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata mengenai bid’ah, فكلُّمنأحدثشيئاً،ونسبهإلىالدِّين،ولميكنلهأصلٌمنالدِّينيرجعإليه،فهوضلالةٌ،والدِّينُبريءٌمنه،وسواءٌفيذلكمسائلُالاعتقادات،أوالأعمال،أوالأقوالالظاهرةوالباطنة. “Setiap yang dibuat-buat lalu disandarkan pada agama dan tidak memiliki dasar dalam Islam, itu termasuk kesesatan. Islam berlepas diri dari ajaran seperti itu termasuk dalam hal i’tiqad (keyakinan), amalan, perkataan yang lahir dan batin.”7 Bid’ah bukan dalam urusan dunia Mereka yang tidak paham mungkin rancu dengan istilah bid’ah secara bahasa. Secara bahasa bid’ah adalah segala sesuatu yang baru tanpa ada contoh sebelumnya. Jadi pesawat, HP dan laptop di zaman ini adalah bid’ah secara bahasa, bukan pengertian bid’ah dalam syariat. Pengertian bid’ah secara bahasa adalah: أنشأه على غير مِثَال سَابق Membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. 8 Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala, بَدِيعُالسَّمَاوَاتِوَالْأَرْضِ “Allah Pencipta (Badii’) langit dan bumi.” ( Al Baqarah: 117) Yaitu mencipta (membuat) tanpa ada contoh sebelumnya. Juga firman-Nya, قُلْمَاكُنْتُبِدْعًامِنَالرُّسُلِ “Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara rasul-rasul’.” (Al Ahqaf: 9) Muhammad Al-Ruwaifi’ Al-Irfiqiy menjelaskan, أي ما كنت أول من أرسل، قد أرسل قبلي رسل كثير “Maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus, sesungguhnya telah diutus sebelumku banyak rasul.”9 Jadi jelaslah bahwa pergi haji dengan naik pesawat bukanlah hal bid’ah dalam agama sebagimana pengertian bid’ah secara syariat. Akan tetapi pesawat adalah bid’ah dalam bahasa (penemuan baru yang tidak ada contoh sebelumnya). Dan macam-macam transportasi adalah masalah dunia. Begitu juga dengan perkara dunia yang lainnya. Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

baca selengkapnya......

Membela Islam Ataukah Membela Tanah Air?

Nasionalisme, cinta tanah air, ataukah Islam yang dibela? Tentu dalam jihad yang dibela adalah Islam bukan tanah air. Inilah prinsip yang membedakan seorang muslim dan bukan. Seorang muslim sangat Islam jaya lewat jihad. Sedangkan orang kafir hanya ingin berperang supaya membela tanah airnya, atau karena nasionalisme yang diperjuangkan. عَنْ أَبِى مُوسَى قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ حَمِيَّةً وَيُقَاتِلُ شَجَاعَةً وَيُقَاتِلُ رِيَاءً ، فَأَىُّ ذَلِكَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِىَ الْعُلْيَا ، فَهْوَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ » Dari Abu Musa, ia berkata bahwa ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas ia berkata, ada seseorang yang berperang (berjihad) untuk membela sukunya (tanah airnya); ada pula yang berperang supaya disebut pemberani (pahlawan); ada pula yang berperang dalam rangka riya’ (cari pujian), lalu manakah yang disebut jihad di jalan Allah? Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Siapa yang berperang supaya kalimat Allah itu mulia (tinggi) itulah yang disebut jihad di jalan Allah.” (HR. Bukhari no. 7458 dan Muslim no. 1904). Hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menunjukkan niatan jihad yang benar apabila dilakukan ikhlas karena Allah, meraih ridho-Nya. Sedangkan jika seseorang berjihad untuk disebut pemberani atau pahlawan; untuk membela kaum, negeri atau tanah airnya; atau supaya ia tersohor di kalangan orang banyak, maka ini semua adalah niatan yang keliru. Karena setelah ditanya niatan seperti itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas beralih dengan mengatakan bahwa jihad itu untuk membela kalimat Allah, artinya untuk membela Islam. Hadits di atas bermaksud menerangkan bahwa tidak ada beda antara kita dengan orang kafir jika maksud kita berjihad atau berperang hanyalah untuk membela tanah air. Karena niatan orang kafir pun demikian. Seorang muslim haruslah punya niatan untuk berperang untuk “membela Islam” dan bukan untuk membela tanah air. Karena kalau niatannya untuk membela tanah air, matinya tidaklah disebut mati syahid. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan, “Jika niatan seseorang dalam berperang hanyalah untuk membela tanah air, maka itu adalah niatan yang keliru. Niat seperti itu sama sekali tidaklah bermanfaat. Tidak ada beda antara muslim dan kafir jika niatannya hanyalah untuk membela tanah air. Sedangkan hadits yang menyebutkan “hubbul wathon minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman)”, ini adalah hadits dusta, yang bukan berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cinta tanah air jika yang dimaksud adalah cinta negeri Islam, maka itu disukai karena yang dibela adalah Islam. Namun sebenarnya tidak ada beda antara negerimu dan negeri Islam yang jauh, semua adalah negeri Islam yang wajib dibela. Jadi patut diketahui niat yang benar ketika berperang adalah untuk membela Islam di negeri kita atau membela negeri kita yang termasuk negeri Islam, bukan sekedar membela tanah air.” (Syarh Riyadhus Sholihin, 1: 66). Beliau mengatakan pula di halaman yang lain, “Yang harus diperhatikan bahwa di berbagai media banyak yang berkoar ketika berjihad (berperang) dengan menuliskan ‘ayo bela tanah air kita, ayo bela tanah air!’ Ini bukan Islam yang dibela. Ini sungguh kekurangan yang besar. Harusnya umat Islam diarahkan ke jalan yang benar ketika ingin berjihad.” (Idem, hal. 69). Faedah lain dari hadits ini diterangkan oleh Syaikh Musthofa Al Bugho hafizhohullah, “Yang disebut keutamaan jihad di jalan Allah adalah jika Islam yang dibela. Akan tetapi hal ini tidaklah menghalangi untuk tetap memandikan orang yang mati di medan perang dan dianggap sebagai syahid sehingga ketika matinya tidak mandikan, tidak dikafani, tidak dishalati, namun langsung dikuburkan. Sedangkan niatan yang benar atau keliru dari orang yang mati tersebut, semuanya diserahkan pada Allah.” (Nuzhatul Muttaqin, hal. 16). Hadits ini pun menunjukkan hendaklah amalan mulia seperti jihad dimulai dengan ilmu terlebih dahulu. Karena sahabat yang bertanya tidaklah pergi berjihad sampai ia bertanya manakah niatan yang benar dalam jihad. Lihat Bahjatun Nazhirin karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali, hal. 36. Semoga niatan kita dalam beramal dan berjihad nantinya hanyalah untuk Allah, terkhusus jihad kita hanya untuk membela Islam. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah. Referensi: Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhish Sholihin, Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilaliy, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H. Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhish Sholihin, Dr. Musthofa Al Bugho, dll, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1432 H. Syarh Riyadhish Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, cetakan tahun 1426 H.

baca selengkapnya......

Orang Kota Dengan Tradisi Selamatan Kematian, Orang Desa Sudah Meninggalkan

Kita tahu bahwa saat ini ada orang penting di pemerintahan kita yang baru saja meninggal dunia. Ya Allah, jika ia orang baik, maka tambahkanlah kebaikan untuknya. Jika ia orang yang berbuat dosa, maka maafkanlah kesalahannya. Sebagian partai Islam bahkan mereka yang menyuarakan mendakwahkan Islam, melakukan hajatan Yasinan dan Tahlilan untuk yang meninggal dunia tersebut. Padahal pembesar partai ini notabene adalah lulusan syari’ah yang kalau tidak berasal dari timur tengah, yah berasal dari kampus timur tengah yang bercabang di Jakarta. Bahkan di antara mereka adalah para Doctor. Sebenarnya sudah sangat jelas bahwa ritual selamatan kematian adalah ritual yang tiada tuntunan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika meninggal dunia tidak pernah diyasinkan. Para sahabat terkemuka seperti Abu Bakr dan Umar bin Khottob pun demikian adanya, tidak pernah diselamati kematiannya pada hari ke-7, 40 maupun 100. Namun demikianlah orang-orang kota yang rata-rata cerdas dan mau berpikir, ternyata menutup hatinya dari kebenaran atau mungkin karena tidak tahu. Entah tradisi tersebut masih terus dilariskan karena dekatnya waktu Pemilu 2014 sehingga perlu pencitraan dan cari suara. Ini sangkaan kami saja. Barangkali ada alasan lainnya. Sebenarnya, tidak ada yang berani menunjukkan riwayat dari salaf yang menunjukkan tuntunan selamatan kematian tersebut. Seperti yang kami tantang di awal, untuk mendatangkan dalil yang menunjukkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mengadakannya. Jika memang hal itu baik, tentu para sahabat lebih dahulu melakukannya daripada kita-kita. Dan ingat bahwasanya agama ini selalu dibangun di atas dalil, bukan hanya sekedar anggapan tradisi dan niatan baik. Ibadah yang tidak dibangun di atas dalil adalah amalan yang tertolak. Membaca yasin dan tahlil adalah ibadah. Ketika menjelaskan tafsir surat Al Ahqof ayat 11, Ibnu Katsir menyebutkan, “Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka mengatakan bahwa setiap amalan atau perbuatan yang tidak dilakukan oleh para sahabat, maka itu adalah amalan yang tiada tuntunan. Karena “law kaana khoiron lasabaquna ilaih”, yaitu seandainya amalan tersebut baik, maka tentu para sahabat sudah lebih dahulu melakukannya. Karena mereka -para sahabat- tidaklah meninggalkan suatu kebaikan pun kecuali mereka lebih terdepan melakukannya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, karya Ibnu Katsir, terbitan Ibnul Jauzi 6: 622). Padahal mengenai acara selamatan kematian sudah dilarang oleh ulama Syafi’iyah itu sendiri yang sebenarnya jadi rujukan para kyai di negeri kita. Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya Al Umm berkata, وأكره النياحة على الميت بعد موته وأن تندبه النائحة على الانفراد لكن يعزى بما أمر الله عزوجل من الصبر والاسترجاع وأكره المأتم وهى الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذلك يجدد الحزن “Aku tidak suka niyahah (peratapan) pada mayit setelah kematiannya, begitu juga aku tidak suka jika bersedih tersebut dilakukan seorang diri. Seharusnya yang dilakukan adalah seperti yang Allah Ta’ala perintahkan yaitu dengan bersabar dan mengucapkan istirja’ (innalillahi wa inna ilaihi rooji’un). Aku pun tidak suka dengan acara ma’tam yaitu berkumpul di kediaman si mayit walau di sana tidak ada tangisan. Karena berkumpul seperti ini pun hanya membuat keluarga mayit mengungkitu kesedihan yang menimpa mereka. ” (Al Umm, 1: 318). Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ menukil perkataan penulis Asy Syaamil dan ulama lainnya, وأما اصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة “Adapun yang dilakukan keluarga mayit dengan membuatkan makanan dan mengumpulkan orang-orang di kediaman mayit, maka tidak ada tuntunan dalam hal ini. Hal ini termasuk amalan yang tidak dianjurkan.” Demikian perkataan penyusun Asy Syaamil lantas Imam Nawawi pun menukilkan hadits Jarir bin ‘Abdillah di atas. (Lihat Al Majmu’, 5: 320). Begitu pula waktu batas ta’ziyah adalah 3 hari. Sebagaimana disebutkan dalam Matan Al Ghoyah wat Taqrib, ويعزى أهله إلى ثلاثة أيام من دفنه “Keluarga mayit dita’ziyah selama tiga hari setelah pemakaman si mayit.” Ini adalah fikih dalam madzhab Syafi’i. Namun sayangnya fikih ini disalahi oleh penganut madzhab Syafi’i di negeri kita. Karena acara selamatan kematian dilakukan setelah 7, 40, 100 bahkan 1000 hari. Bukankah hal ini menyalahi aturan madzhab sebagaimana disebutkan oleh Abu Syuja’ di atas? Yang dimaksud ta’ziyah adalah memotivasi agar keluarga mayit tetap sabar dan didoakan pada mereka agar mendapatkan pahala atas kesabaran mereka pada musibah. Kata Syaikh Musthofa Al Bugho, pakar fikih Syafi’i di zaman ini, berkata, “Dimakruhkan ta’ziyah setelah lebih dari tiga hari kecuali bagi seorang musafir. Karena kesedihan setelah tiga hari biasa sudah hilang, ini umumnya. Jadi, tidak perlu kesedihan itu diungkit dan diingat-ingat lagi.” Lihat At Tadzhib fii Adillati Matan Al Ghoyah wat Taqrib, hal. 96. Yang mengaku sebagai pengikut Imam Syafi’i seakan-akan terdiam jika tahu bahwa Imam Syafi’i, Imam Nawawi dan ulama Syafi’iyah lainnya menentang selamatan kematian 7, 40, 100 bahkan 1000 hari. Karena berkumpul di kediaman si mayit seperti ini termasuk niyahah (meratapi mayit) yang terlarang, bahkan dinilai sebagai amalan yang tiada tuntunan oleh ulama Syafi’iyah sendiri. Namun ulama di negeri kita seakan-akan memejamkan mata dari kebenaran ini. Padahal nyata bahwa pernyataan ini disebutkan dalam Al Umm, karya Imam Syafi’i dan kitab-kitab ulama Syafi’i lainnya. Adapun perihal Yasinan dan Tahlilan yang diadakan dengan maksud membaca surat Yasin dan dzikir tahlil (laa ilaha illallah) dari satu sisi juga menunjukkan tidak sampainya pahala pada mayit. Inilah pendapat ulama Syafi’iyah. Salah seorang ulama Syafi’i, Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata mengenai firman Allah Ta’ala, وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. Ibnu Katsir lalu berkata, “Dari ayat ini Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa bacaan Qur’an tidak sampai pahalanya pada mayit karena bacaan tersebut bukan amalan si mayit dan bukan usahanya. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menganjurkan umatnya dan tidak memotivasi mereka untuk melakukan hal tersebut. Tidak ada nash (dalil) dan tidak ada bukti otentik yang memuat anjuran tersebut. Begitu pula tidak ada seorang sahabat Nabi -radhiyallahu ‘anhum- pun yang menukilkan ajaran tersebut pada kita. Law kaana khoiron la-sabaquna ilaih (Jika amalan tersebut baik, tentu para sahabat lebih dahulu melakukannya). Dalam masalah ibadah (qurobat) hanya terbatas pada dalil, tidak bisa dipakai analogi dan qiyas. Adapun amalan do’a dan sedekah, maka para ulama sepakat akan sampainya (bermanfaatnya) amalan tersebut dan didukung pula dengan dalil.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 13: 279). Beralih ke Orang Desa Semalam kami bertandang ke jamaah di selatan desa kami di Gunungkidul. Tepatnya di Dusun Pringwulung, Krambilsawit yang masuk Kecamatan Saptosari, Gunungkidul. Mayoritas warga di sana adalah miskin atau berada di bawah garis kemiskinan. Namun masya Allah, hampir seluruh warga di 6 RT yang ada di dusun tersebut meninggalkan berbagai macam tradisi mulai dari yang dinilai syirik dan tiada tuntunan. Dahulu pohon besar (seperti pohon beringin) begitu diagungkan dengan sering digantungkannya sesajen di pohon tersebut yang dianggap keramat dan bawa berkah. Sesajen yang digantungkan biasa disebut ‘panjang ilang’. Namun berkat izin Allah, pohon tersebut ditebang oleh warga agar kesyirikan dapat diberantas. Karena jelas tradisi yang satu ini dihukumi syirik bahkan syirik besar, di mana ada sesajen pada selain Allah. Begitu pula tradisi kental di masyarakat seperti Yasinan-Tahlilan yang laris manis di negeri kita, mereka tinggalkan. Karena mereka tahu bahwa amalan selamatan kematian tersebut tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembawa risalah, begitu pula para sahabat sebagai pewaris ilmu Nabi tidak pernah melakukannya. Ilmu seperti ini sudah mereka dapati dari para da’i yang rela berdakwah hingga ke dusun mereka yang jauh di pelosok. Bandingkan dengan Orang Kota …. Lihatlah orang desa yang notabene berpendidikan rendah mau menerima kebenaran begitu saja. Karena hati mereka yang begitu halus yang hanya ingin menggapai ridho Allah, bukan ridho manusia. Bandingkan halnya dengan sebagian orang yang berada di perkotaan yang notabene cerdas dan berpendidikan tinggi, sulit menerima kebenaran ini. Orang kota terkadang berkilah dan membantah, sedikit yang mau menerima kecuali yang Allah kehendaki. Bahkan ada yang mendukung tradisi syirik tetap laris manis dan jadi budaya yang mesti terus ada, begitu pula ritual selamatan kematian yang tidak ada tuntunannya sama sekali dalam Islam. Yang ada, tradisi itu bukan dari Islam dan ajaran Nabi kita Muhamamd, namun dari ajaran Hindu. Ingat Janji Allah … Yang ada, kita yang mendakwahkan kebenaran ini dituduh ‘Wahabi’. Karena mereka memang yang menuduh tidak punya argument kuat untuk mendukung amalan mereka sehingga cap ‘Wahabi’-lah yang keluar. Padahal bukankah menuduh sesat saudaranya dapat kembali pada salah satu dari keduanya, sebagaimana orang yang menuduh pada saudaranya ‘kafir’? Boleh jadi tuduhan-tuduhan tadi ada tendensi tidak suka atau pekerjaan mereka yang mulai sirna. Karena jika selamatan kematian dibantah atau dikritik, penghasilan sebagian orang akan merosot. Entahlah, yang jelas bagaimana pun tuduhan dan rasa tidak suka yang disuarakan, kami selaku orang desa tetap berpegang teguh pada al haq (alias: kebenaran). Terserah mereka mau menuduh apa. Yang ingin kami gapai adalah ridho Allah, bukan ridho manusia, bukan untuk pencitraan dan bukan untuk cari suara. Kami akan selalu ingat janji Allah yang disabdakan oleh Nabi kami, مَنْ اِلْتَمَسَ رِضَا اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رضي الله عنه وَأَرْضَى عَنْهُ النَّاسَ ، وَمَنْ اِلْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ “Barangsiapa yang mencari ridho Allah saat manusia tidak suka, maka Allah akan meridhoinya dan Allah akan membuat manusia yang meridhoinya. Barangsiapa yang mencari ridho manusia dan membuat Allah murka, maka Allah akan murka padanya dan membuat manusia pun ikut murka.” (HR. Ibnu Hibban). Begitu pula suri tauladan kami pernah bersabda, إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ “Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik bagimu.” (HR. Ahmad 5: 363. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih). Kami yakin akan janji Allah ini. Bagi saudara kami yang lagi diuji karena berpegang teguh pada kebenaran, maka cukup kami sampaikan nasehat seorang anak kepada ibunya ketika mereka ingin dilempar di parit yang sudah disiapkan untuk membakar mereka -orang-orang beriman- yaitu dalam kisah Ashabul Ukhdud, padahal ibunya sudah berada dalam keadaan takut. Anaknya mengatakan dengan halus pada ibunya, يَا أُمَّهِ اصْبِرِى فَإِنَّكِ عَلَى الْحَقِّ “Wahai ibuku, sabarlah. Sesungguhnya engkau berada di atas kebenaran.” (HR. Muslim no. 3005). Hanya Allah yang membuka hati untuk menerima kebenaran.

baca selengkapnya......

Kehidupan Rasulullah Sebelum Menikah

Di masa mudanya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak memiliki pekerjaan tetap. Namun banyak riwayat menyebutkan bahwa beliau bekerja sebagai penggembala kambing di perkampungan Bani Sa’ad. Selain itu terdapat pula riwayat bahwa beliau menggembalakan kambing penduduk Mekkah dengan upah beberapa qirath (salah satu bentuk dinar). Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda: ما بعث اللهُ نبيًّا إلا رعى الغنمَ . فقال أصحابُه : وأنت ؟ فقال : نعم ، كنتُ أرعاها على قراريطَ لأهلِ مكةَ “tidaklah seorang Nabi diutus melainkan ia menggembala kambing“. para sahabat bertanya, “apakah engkau juga?”. Beliau menjawab, “iya, dahulu aku menggembala kambing penduduk Mekkah dengan upah beberapa qirath” (HR. Al Bukhari, no. 2262) Selain itu disebutkan juga bahwa ketika berusia 25 tahun, beliau pergi berdagang ke negeri Syam dengan membawa modal dari Khadijah radhiallahu’anha yang ketika itu belum menjadi istri beliau. Ibnu Ishaq berkata: “Khadijah binti Khuwailid ketika itu adalah pengusaha wanita yang memiliki banyak harta dan juga kedudukan terhormat. Ia mempekerjakan orang-orang untuk menjalankan usahanya dengan sistem mudharabah (bagi hasil) sehingga para pekerjanya pun mendapat keuntungan. Ketika itu pula, kaum Quraisy dikenal sebagai kaum pedagang. Tatkala Khadijah mendengar tentang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (yang ketika itu belum diutus menjadi Rasul, pent.) mengenai kejujuran lisannya, sifat amanahnya dan kemuliaan akhlaknya, maka ia pun mengutus orang untuk menemui Rasulullah. Khadijah menawarkan beliau untuk menjual barang-barangnya ke negeri Syam, didampingi seorang pemuda budaknya Khadijah yang bernama Maisarah. Khadijah pun memberi imbalan istimewa kepada beliau yang tidak diberikan kepada para pedagangnya yang lain. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun menerima tawaran itu dan lalu berangkat dengan barang dagangan Khadijah bersama budaknya yaitu Maisarah sampai ke negeri Syam” (Sirah Ibnu Hisyam, 187 – 188, dinukil dari Ar Rahiqul Makhtum, 1/51) Referensi: Ar Rahiqul Makhtum, 1/50-51, Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri Shahih As Sirah An Nabawiyah, hal. 38, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani

baca selengkapnya......