2/06/2013

Memiliki Kepekaan Dan Kepedulian

Termasuk perkara yang wajib untuk senantiasa dijaga oleh setiap individu adalah menjaga ketaqwaan kepada Alloh Ta’aala dan menjauhi perilaku untuk tidak menyakiti sesama kaum muslimin, karena ancaman adzab Allah dalam masalah tersebut sangat berat dan akibat dalam masalah tersebut sangat membahayakan, Firman Allah Ta’aala : وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا Artinya : Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (Al Ahzaab : 58). Para ulama ahli tafsir berkata berkaitan tentang tafsir ayat ini : وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ Artinya : Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat (Al Ahzaab : 58). Yaitu : dengan bentuk apapun dari menyakiti apakah dengan perkataan atau perbuatan. وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ Yaitu : bukan karena sebab dari tindakan yang mereka lakukan yang mengharuskan untuk disakiti dan ia tidak berhak untuk disakiti. Adapun menyakiti kaum mukminin atau mukminah karena sebab apa yang mereka lakukan dan mengharuskan untuk disakiti, misalnya hukuman had (pidana) atau hukuman ta’ziir , maka yang demikian itu adalah benar, sebagaimana yang ditetapkan oleh syari’at. Kemudian Allah Ta’aala mengkhabarkan bahwa siapa yang menyakiti kaum mukminin dan mukminat tanpa hak maka sungguh ia telah memikul kebohongan dan dosa yang besar, yang berhak atasnya untuk diadzab dengan adzab yang pedih, sebagaimana di dalam hadits : Setiap muslim atas muslim yang lain terjaga darah,harta dan kehormatannya. Dan dari abu Hurairah –rodziallohu ‘anhu- ia mengatakan : Dikatakan, ya Rasulalloh sesungguhnya si fulanah menegakkan sholat malam dan berpuasa di siang harinya, dan ia menyakiti tetangganya dengan lisannya,maka nabi shallallohu’alaihi wa sallam mengatakan : Tidak ada kebaikan pada wanita tersebut, ia akan masuk ke neraka. Hadits ini dishohihkan oleh Al Hakim dan Ibnu Hibban dan selain keduanya. Sesungguhnya menyakiti kaum muslimin bisa terjadi dengan perkataan dan perbuatan, dengan perkataan semisal ghibah, namimah, mencerca dan mengumpat, Firman Allah Ta’aala : إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ Artinya : (ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal Dia pada sisi Allah adalah besar. (An Nuur : 15). Dan FirmanNya : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Al Hujuroot : 12). Menyakiti wanita yang lain diluar usaha yang mereka lakukan diantaranya dengan perbuatan ghibah adalah suatu yang diharamkan sedikit atau banyak, sebagaimana disebutkan dalam sunan Abi Dawud dari ‘Aisyah – radhiallahu’anha bahwa beliau pernah mengatakan : Wahai Rasulullah, cukuplah bagi engkau bahwa Shafiyah itu adalah demikian dan demikian. Salah seorang perawi mengatakan : Dimaksudkan bahwa ia seorang yang pendek. Maka Nabi shallallahu’alaihi Wa sallam mengatakan : Sungguh engkau telah berucap dengan suatu perkataan yang apabila dicampurkan dengan air laut maka sungguh akan merusak air laut tersebut. Demikian begitu besarnya gambaran yang diberikan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa saallam berkaitan dengan ghibah sekalipun sesuatu yang dianggap sedikit, bagaimana dengan hal-hal yang lebih besar dari pada itu yang menyangkut kewibawaan dan kehormatan seorang wanita shalihah. Termasuk menyakiti wanita yang lain diluar usaha mereka adalah ketika seorang berbuat namimah, yaitu menukil suatu perkataan untuk disampaikan kepada yang lain dalam rangka membuat kerusakan di antara mereka. Allah Ta’ala telah mengecam sifat yang demikian ini sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya : وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَّهِينٍ هَمَّازٍ مَّشَّاءٍ بِنَمِيمٍ مَّنَّاعٍ لِّلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, Yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa (Al-Qolam ; 10-12) Diterangkan oleh Ibnu Katsir –rahimahullah – berkaitan dengan ayat ini : Seseorang mengadu domba di antara manusia, melakukan hasutan dan menebar fitnah di antara manusia. Satu hadits yang disebutkan oleh Imam Al-Bukhari Bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan : Tidak akan masuk ke dalam surga yaitu qattat. Qattat adalah seorang pengadu domba sebagaimana diterangkan dalam hadits riwayat Muslim. Dan termasuk menyakiti manusia dengan perbuatan adalah memiliki banyak sekali jenisnya, di antaranya yang berbahaya adalah : Menyakiti tetangga dengan menggunakan perkara-perkara yang bisa menyakiti mereka dan membikin kacau mereka dengan suara-suara yang gaduh atau yang diharomkan seperti suara-suara musik, nyanyian dan alat-alat musik yang didapati sangat banyak di masa kita ini dengan sarana peralatan tekhnologi sekarang di rumah-rumah dan pertokoan-pertokoan. Orang-orang yang memilikinya tidak mempedulikan lagi bisingnya tetangga mereka dan mereka tersakiti dengannya. Demikian beberapa jenis perkataan atau perbuatan dan tindakan yang mengakibatkan orang lain terganggu dan bukan dari sebab usaha yang mereka lakukan, dan hal tersebut adalah perkara dosa yang wajib untuk dijauhi. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa agama ini melarang umatnya untuk memiliki sikap egoistis dan demikian pula sikap hanya mementingkan urusannya sendiri tanpa memperhatikan orang lain. Sehingga seseorang tidak tergolong dalam ancaman di dalam firman Allah : وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا Artinya : Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (Al Ahzaab : 58). Setiap wanita muslimah hendaklah peka dan peduli… Wallahu Ta’aala a’lam bishawwab.

baca selengkapnya......

Saatnya Diam

da saatnya seorang harus diam, sebagai bentuk aplikasi terhadap sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam seperti termaktub di dalam shahih al-Bukhori dan shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah –radhiallahu’anhu- ia menuturkan : Bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : من كان يؤمن بالله و اليوم الأخر فليقل خيرا أو ليصمت Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka bertuturlah yang baik atau hendaknya diam Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga menuturkan sebagaimana dalam hadits hasan riwayat Ahmad dalam musnad 3/158, 177 : من صمت نجا Barangsiapa yang diam ia selamat Sedikit bicara adalah termasuk adab mulia saat tindakan banyak berbicara menjerumuskan kepada suatu yang tidak memberikan kemanfaatan. Diam, itulah bahkan pilihan yang terbaik Apakah tidak boleh bicara ?. bukan mutlak demikian itu juga yang dimaksudkan. Ada saatnya untuk berbicara, bahkan harus berbicara. Kapan? Rasulullah telah membimbing kita dalam sabdanya : Maka bertuturlah yang baik. Ini adalah perintah Rasul yang tidaklah keluar dari lisannya kecuali Al-haq. Kontek perintah dalam sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memberikan pengertian wajib, ketika tidak terdapat perkara yang memalingkan kepada perkara bukan keharusan. Saat berdakwah, saat memberikan nasehat, adalah saat-saat seseorang harus berbicara, lebih umum dari pada itu bertutur-kata yang baik dan ketika tutur-kata tersebut jelas kemaslahatannya. Sebagaimana perintah Allah Ta’aala di dalam firmanNya : وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنسَانِ عَدُوًّا مُّبِينًا Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. ( Al-Israa’ 53 ) Demikian juga di dalam firman Allah Ta’aala : وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۚ وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ ۖ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah Telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. (Fushshilat : 34-35) Kembali kepada judul bab : Saatnya Diam. Memang terkadang saatnya diam lebih utama, saatnya diam lebih layak, saatnya diam lebih memberikan kemashlahatan. Kapan? al-Qur’an telah menggambarkan hal tersebut berkaitan dengan kisah Maryam –‘alaihas salam- ketika mengandung nabi Isa. Allah Ta’aala memerintahkan kepada Maryam, sebagaimana FirmanNya : فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: “Sesungguhnya Aku Telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka Aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”. (Maryam : 26) Kenapa Allah memerintahkan saat tersebut kepada Maryam untuk tidak berbicara kepada seorangpun? Karena keadaan manusia ketika itu akan mengingkari Maryam berkaitan dengan kehamilan, melahirkan dan datangnya bayi nabi Isa –‘alaihis sallam-. Sebesar apapun alasan yang dikemukakan oleh Maryam maka di saat tersebut manusia tidak akan menerima alasannya. Sehingga mengharuskan untuk diam karena tidak ada kemanfaatan di saat itu untuk mengemukakan udzur atau alasan sekalipun. Dan Allah Ta’aala menetapkan dan memiliki hikmah yang lain atas perintah tersebut. Di antaranya adalah suatu mu’jizat yaitu Nabi Isa –‘alaihis sallam- diberikan kemampuan Allah Ta’aala untuk berbicara di saat masih bayi. Demikian pula terdapat kisah yang dialami oleh ibunda kaum mukminin Ummu ‘Abdillah ‘Aisyah –radhiallahu’nha- sebagaimana disebutkan dalam hadits al-Bukhori pada nomor 4750 Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan kepada ‘Aisyah : Amma ba’du, wahai Aisyah , sesungguhnya telah sampai kepadaku berita demikian dan demikian, sungguh jika engkau terlepas dari hal itu karena tidak melakukannya, semoga Allah ‘Azza wa jalla menjauhkanmu. Adapun jika kamu melakukan dosa tersebut, mnta ampunlah kepada Allah dan bertubatlah kepadaNya, karena seorang yang mengakui dosanya kemudian bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya. Aisyah berkata : Ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam selesai berkata, air mataku semakin deras mengalir hingga tidak terasa lagi tetesan air mata tersebut. Maka saya berkata kepada ayahku : “ Jawablah apa yang dikatakan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengenai diriku. Ayahkupun berkata : “Saya tidak tahu, demi Allah saya tidak akan berbicara kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Lalu saya berkata kepada ibuku : “ Jawablah kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengenai diriku “. Ibuku berkata ; “Demi Allah, saya tidak tahu apa yang harus saya katakan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. ‘Aisyah berkata : “Saya adalah seorang gadis kecil usianya, saya tidak banyak membaca Al-Qur’an. Demi Allah, sungguh aku mengetahui engkau telah mendengar hal ini hingga kamu merasa mantap dan percaya terhadap hal tersebut. Bilapun aku katakan kepada kalian bahwa aku jauh dari perbuatan tersebut dan Allah ‘Azza wa jalla Maha Mengetahui bahwa aku jauh dari perbuatan tersebut, kalian juga tidak akan percaya terhadap hal itu. Jika saya mengaku kepada kalian dengan suatu perkara sedang Allah ‘Azza Wa jalla Maha Mengetahui bahwa aku jauh dari perbuatan tersebut, sungguh kalian akan mempercayaiku. Demi Allah, sungguh tidak ada perkataan antara diriku dengan kalian kecuali sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Yusuf sebagaimana dalam Firman Allah : فَصَبْرٌ جَمِيلٌ ۖ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ Maka kesabaran yang baik Itulah kesabaranku dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (Yusuf : 18). Dalam hadits di atas, keadaan tersebut menjadikan Aisyah menahan diri untuk berbicara, kecuali ucapan yang mengandung faedah. Demikian juga di saat suatu perkataan itu adalah tanpa ilmu, maka keadaan tersebut menahan seseorang untuk berbicara. Diam di saat tersebut lebih baik, atau saatnya untuk diam. Allah Ta’aala berfirman : وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (al-Israa’ : 36 ) Dan firman Allah Ta’aala : إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ Dan ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (An-Nuur : 15) Dan Firman Allah Ta’aala : يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِندَ رَبِّي ۖ لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ۚ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً ۗ يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِندَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba”. mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui”. (Al-A’raaf : 187). Saatnya untuk diam. Selain dari pada itu masih banyak keadaan-keadaan yang menuntut untuk kita menahan lisan, secara umum adalah di saat kita dituntut untuk berbicara dan jelas kemashlahatannya maka di saat tersebut, saatnya berbicara. Akan tetapi ketika kita tidak bisa berbicara yang baik, maka ‘saatnya untuk diam’. Wallahu Ta’aala A’lam bish-shawab.

baca selengkapnya......

Hukum Pemakaian Obat-obat Pencegah atau Penyebab Haid, Pencegah Kehamilan

Pemakaian obat pencegah haid tidak boleh bagi seorang wanita dengan dua syarat sebagai berikut : 1. Tidak Dikhawatirkan membahayakan wanita tersebut Jika dikhawatirkan membahayakan maka tidak boleh , berdasarkan firman Allah Ta’ala وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ “ .. dan janganlah kalian menjatuhkan diri-diri kalian ke dalam kebinasaan dan berbuat baiklah , karena sesungguhnya Allah Menyukai orang – orang yang bebuat baik” ( Al Baqarah : 195) dan juga firman Allah Ta’ala ; وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا ” .. dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian ” (An Nisa’ : 29 ) 2. Harus seijin suami, jika ada keterkaitan dengan hak suami Misalnya ; seorang wanita masih dalam status masa iddah yang mewajibkan bagi suami untuk menafkahinya. Kemudian dia menggunakan alat pencegah haid agar bertambah masa ‘iddahnya sehingga bertambah pula nafkah yang harus diberikan suaminya. Maka tidak boleh bagi wanita tadi untuk menggunakan alat pencegah haid kecuali dengan seijin suaminya. Dan kalaupun perkara ini boleh, yang lebih utama adalah meninggalkanya, kecuali karena ada hajat ( kebutuhan ). Karena membiarkan suatu perkara berjalan alami ( sesuai dengan tabiat manusia ) lebih dekat kepada keseimbangan kesehatan dan keselamatan. Adapun pengunggunaan alat yang bisa menyebabkan haid, maka boleh berdasarkan dua persyaratan juga,yaitu : 1. Bukan dalam rekayasa untuk mengugurkan suatu kewajiban Misalnya : seorang wanita menggunakannya mendekati bulan ramadhan, agar jika terjadi haid dia bisa berbuka serta tidak terkena kewajiban shalat. 2. Harus dengan seijin suami Karena terjadinya haid akan bisa menghalangi suami untuk bisa berlezat – lezat dengan istri secara sempurna. Maka seorang istri tidak boleh melakukan sesuatu yang menghalangi hak suami kecuali berdasarkan keridhoan suaminya. Jika posisi sebagai wanita yang di talaq, maka dengan menggunakannya berarti menyegerakan mengugurkan hak suami untuk bisa ruju’ ( kembali ), jika dia bisa masih punya kesempatan untuk ruju’. Adapun penggunaan alat yang bisa mencegah kehamilan, maka ada dua macam : 1. Mencegah kehamilan secara terus menerus Hal yang demikian tidak boleh, karena akan memutuskan kelahiran sehingga akan memperkecil jumlah keturunan. Hal ini menyelesihi tujuan Penentu syari’at, agar memperbanyak jumlah umat islam. Juga tidak aman dari kemungkinan anak – anak yang jumlahnya sedikit tersebut meninggal. 2. Mencegah kehamilan untuk jangka waktu tertentu Misalnya : seorang wanita sering mengalami hamil, sedangkan kehamilannya tersebut sangat menyusahkannya, maka di anjurkan agar dia mengatur kehamilannya tiap dua tahun sekali. Maka yang demikian boleh, dengan syarat suaminya mengijinkan dan penggunaan alat tersebut tidak memudharatkannya. Dalilnya : bahwa para sahabat melakukan azl ( senggama terputus ) terhadap istrinya di jaman nabi, agar istri tidak hamil. Perbuatan tersebut tidak di larang. ‘azl adalah seorang suami menggauli istrinya kemudian mencabut kemaluanya dari kemaluan istrinya ketiak maninya akan keluar, sehingga air mani keluar dari kemaluanya istrinya. Adapun penggunaan obat – obatan yang bisa menggugurkan kandungan ada dua macam, yaitu : 1. Tujuan menggugurkannya adalah membinasakan janin Yang seperti ini jika dilakukan sesudah ruh ditiupkan ke dalam janin tersebut, maka hukumnya haram tanpa diragukan lagi. Jika dilakukan sebelum ditiupkan ruh, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama akan kebolehannya. Adapun yang lebih hati-hati adalah larangan mengugurkannya, kecuali karena suatu hajat, seperti kondisi wanita karena wanita yang hamil tersebut sakit tidak mampu bertahan hidup dengan kehamilanya tersebut, maka dibolehkan di saat itu menggugurkan kandungannya, kecuali jika berlalu waktu kehamilan tersebut dan telah jelas bahwa dalam kandungan sudah berbentuk janin, maka tidak boleh. Wallahu’alam 2. Bukan dalam membinasakan janin Di mana usaha bentuk menggugurkan dilakukan menjelang akhir masa kehamilan dan mendekati masa kelahiran. Hal demikian boleh dengan syarat tidak terjadi hal yang membahayakan sang ibu dan anaknya, dan perkara tidak membutuhkan adanya oprasi. Apabila kondisi mebutuhkan pembedahan maka dalam hal ini ada empat kondisi : 1. Sang ibu dan janinnya masih hidup Dalam kondisi ini tidak boleh dilakukan pembedahan kecuali darurat, seperti sulitnya proses kelahiran, sehingga butuh dilakukan pembedahan. Alasannya, karena jasad adalah amanah dari Allah kepada seorang hamba. 2. Sang ibu dan janinnya sudah meninggal Dalam kondisi ini tidak boleh dilakukan pembedahan untuk mengeluarkan janin karena tidak ada manfaatnya. 3. Sang ibu masih hidup sedangkan janin sudah meninggal. Dalam kondisi ini dibolehkan melakukan oprasi untuk mengeluarkan janin, kecuali jika oprasi itu dikhawatirkan akan membahayakan keselamatan sang ibu. Karena yang nampak, wallahu’alam jika janin meninggal dalam kandungan maka tidak akan keluar kecuali harus dilakukan oprasi. 4. Sang ibu sudah meninggal sedangkan janinnya masih hidup. Jika janin tersebut tidak ada harapan untuk bisa bertahan hidup, maka tidak boleh dilakukan pembedahan. Sedangkan jika ada harapan untuk hidu dan sebagian tubuhnya sudah keluar maka dilakukan pembedahan untuk mengeluarkan janin tersebut. Adapun jika belum keluar sedikitpun dari anggota tubuhnya, menurut ulama madzab hambali “ tidak boleh dilakukaan pembedahan dalam rangka mengeluarkan janin karena perbuatan seperti itu termasuk penyiksaan”. Adapun yang benar bahwa boleh dilakukan pembedahan, jika tidak mungkin mengeluarkan janin kecuali harus dengan pembedahan. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hubairah sebagaimana yang beliau katakan dalam Al Inshaf ( 2/ 556 ) Syaikh Al Utsaimin berkata : lebih lebih di zaman kita, di mana melakukan oprasi pembedahan bukanlah suatu penyiksaan, karena proses yang terjadi adalah pembedahan perut kemudian dijahit kembali. Dan yang menjadi alasan pula karena kehormatan suatu yang hidup lebih agung daripada suatu yang mati, dan menyelematkan makhluk yang dilindungi dari kebinasaan adalah wajib. Sedangkan janin termasuk manusia yang dilindungi sehingga wajib untuk diselematkan. Wallahua’lam ( diambil dari buku Problema Darah Wanita, Ash Shaf Media)

baca selengkapnya......

Al Hilm ( Santun ) Dan Sabar Menghadapi Gangguan ( bag.3)

Maka wajib atas setiap mukmin, terutama pada da’i Ahlus Sunnah Wal Jama’ah agar bersabar di dalam kebenaran, dimana suatu tekad dan kekuatan. Sebagaimana Firman Allah Subhanahuwata’ala : يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ “ Hai anakku dirikanlah shalat dan suruhlah ( manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah ( mereka ) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal – hal yang diwajibkan ( oleh Allah ) ( Luqman : 17 ) Firman Allah Subhanahuwata’ala : لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا ۚ وَإِن تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ “ Kamu sungguh – sungguh akan di uji terhadap hartamu dan dirimu. Dan ( juga ) kamu sungguh – sungguh akan mendengar dari orang – orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyikitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut di utamakan” ( Ali Imran : 186 ) Jelaslah, bahwa sabar adalah bukti kekuatan, kestabilan dan kesinambungan. Ditegaskan pula Syaikh Al ‘Allamah Ibnu Bazz rahimahumullah dengan keterangan beliau : “ Akan tetapi Nabi tidak memperdulikan hal itu dan tidak menaruh perhatian terhadapnya. Sebaliknya, beliau senantiasa bersabar dan mengharapkan pahala serta berjalan di atas jalan yang haq. Beliau tetap menjadi seorang da’i yang mengajak manusia ke jalan Allah Subhanahuwata’ala, sabar atas gangguan yang dialaminya, terang – terangan berdakwah, menahan diri terhadap gangguan itu dan tegar menghadapinya, memaafkan kejelekan yang muncul dari lawan – lawannya kalau memang memungkinkan “ Beliau menegaskan pula bahwa sabar adalah jalan para Nabi dan Rasul. Bahkan jalan keberhasilan seorang da’i, kata beliau : “ Tidak ada jalan yang lebih baik bagi dakwah ini dibandingkan jalan para Rasul. Mereka adalah teladan dan iman. Mereka telah bersabar seperti sabarnya Nabi Nuh Alaihissalam mengahadapi kaumya selama 950 tahun. Sabar seperti Nabi Huud, Shaleh, Syu’aib, Ibrahim, dan Luth. Maka bersabarlah dan kuatkanlah serta semua hal yang menyebabkan sempitnya dakwah dan merugikannya bahkan merugikan yang meyerbarkannya.” Betapa besarnya kebutuhan seorang da’i terhadap manhaj salaf ini agar dapat bersabar dan mengharapkan pahala. Selain itu sabar dan santun senjata untuk berdakwah, terutama untuk lawan yang dengki terhadap Ahlus Sunnah Wal Jama’ah baik dari kalangan ahli bid’ah dan semisalnya. Imam Abu Isma’il Ash Shabuni rahimahumullah menerangkan : “ Ciri – ciri ahli bid’ah sangat jelas. Tanda mereka yang paling jelas adalah hebatnya permusuhan mereka terhadap para pembawa khabar ( hadist ) Nabi. Besarnya sikap pelecehan mereka terhadap para khabar itu, bahkan menjuluki hasyawiyah ( yang tidak bernilai ), bodoh, tektual, dan musyabbihah ( menyerupakan Allah dengan makhluknya , kerena Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan adanya sifat bagi Allah Subhanahuwata’ala). Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumullah merangkan pula: “ Tatkala kita tahu bahwa ahli ilmu dan iman adalah para pewaris Nabi mereka terima dari ahli kalam ( filsafat ) dan ahli bid’ah seperti yang diterima oleh Nabi dan para sahabat dari kaum musyrikin. Semua golongan sempalan yang ada ini, menjuluki Ahlus Sunnah dengan julukan yang Allah telah nyatakan bahwa mereka bersih dan selamat dari julukan itu, baik julukan yang keji maupun pelecehan yang diarahkan kepada Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Semua itu adalah karena kebodohan mereka menyangka benarnya apa yang mereka yakini dan batilnya keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah atau karena buruknya niat dan tujuan mereka, tatkala mereka ingin membuat manusia lari meninggalkan Ahlus Sunnah dan menerima pemikiran mereka karena ilmu mereka tentang kerusakannya” Seorang da’i harus tetap berpegang teguh dengan manhaj salaf tanpa memperdulikan tuduhan yang diarahkan oleh ahli bid’ah dan ahli ahwa’ dengan keyakinan bahwa semua itu bukanlah muncul dari zaman ini saja. Ibnu Qayib rahimahumullah menegaskan : “ Tatkala ahli takwil yang mu’aththil ( menolak nama dan sifat Allah ) , ingin menuntaskan ambisi mereka terhada Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka membuat julukan – julukan baru yang burung bagi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Maka mereka menamakan Ahlus Sunnah itu hasyawiyah, nawashib ( golongan yang membenci ahli bait Rasululllah ) dan nawabit ( yang baru tumbuh –red ). Akhirnya Ahlus Sunnah harus menerima apa yang dulu pernah diterima oleh para nabi dan pengikut mereka dan musuh – musuh mereka. Hal ini akan terus menerus dan senantiasa ada di muka bumi ini sampai Allah mewarisi bumi dan seisinya ini.” Inilah sebagian kecil keterangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang wajibnya seorang da’i memiliki sifat sabar dan santu ( hilm )terutama dalam menghadapi muslihat musuh – musuh mereka ahli bid’ah dan orang yang sesat menyimpang. Oleh karena itu, mereka yang mengikuti manhaj ini wajib untuk memperhatikan dan memikirkan hal ini, karena sesungguhnya hal ini sangat penting di jaman seperti ini. Hal ini ditegaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahumullah : “ seorang yang memiliki bashirah dan jujur, tidak akan merasa kesepian ( sunyi ) karena sedikitnya teman ( yang bersamanya ). Dia tidak akan merasa kehilangan teman, apalagi kalau hatinya terpenuhi keyakinan bahwa dia selalu besama rombongan kafilah genereasi pertama yang jelas – jelas telah Allah beri nikmat kepada mereka, dari kalangan Nabi, Shiddiqin, Syuhada’ dan orang – orang shaleh. Kesendirian yang dialaminya dalam menempuh jalan yang lurus adalah ( salah satu bukti ) kejujuran dalam upaya mendapatkan ( kebenaran ). Dari sini jelaslah bagi para da’i bagaimana mulianya faedah dan buah sifat sabar ini serta janji Allah yang disediakan bagi orang yang sabar. Dan kita ketahui pula kesalahan sejumlah besar gerakan dakwah yang memahami makna sabar ini tidak dengan pemahaman yang dikehendaki syari’at. Mayoritas mereka yang memahami tidak sesuai syari’at mencoba mengarahkan dan menggulingkan kedudukan seorang penguasa dalam suatu pemerintahan serta memprovokasi masa. Ironisnya tindakan ini mereka namakan amar ma’ruf nahi mungkar yang nyata – nyata merupakan salah satu prinsip orang – orang khawarij genarasi awal walaupun mungkin tidak lebih keras. Ibnul Qayyim rahimahumullah menerangkan : “ Larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pembunuhan terhadap para penguasa, memberontak meskipun mereka berbuat zhalim dan keji, selama mereka masih menegakkan shalat, merupakan bentuk upaya beliau menutup pintu – pintu yang membawa kepada jurang kebinasaan yang hebat dan kesyirikan. Sebagaimana kenyataan yang ada maka sebetulnya semua itu terjadi karena memerangai mereka. Sementara pemberontakan terhadap mereka lebih jauh mengerikan dibandingkan dengan keberadaan mereka dengan kezaliman yang ada pada mereka. Akhirnya kaum muslimin terus – menerus berkubang di dalam berbagai kejelekan hingga saat ini “ Sepantasnya seorang da’i atau para aktifis dakwah betul betul mempunyai pemahaman dan bashirah yang tajam terhadap kaidah dan pedoman syari’at yang baku dalam kondisi – kondisi seperti ini. Agar tidak mudah tergelincir dan menyimpang. ( Dikutip dari buku Manhaj Dakwah Salafiyah, Pustaka Al HAURA)

baca selengkapnya......

Al Hilm ( Santun ) Dan Sabar Menghadapi Gangguan ( bag.2)

Semestinya dipahami bahwa bukanlah kekuatan fisik semata yang dikatakan kekuatan yang membedakan setiap individu. Karena kekuatan fisik ini juga terdapat pada hewan ternak, bahkan lebih besar daripada manusia. Akan tetapi kekuatan yang membedakan manusia dari yang lainnya dan sepantasnya seorang da’i menghiasi dirinya dengan kekuatan menjaga atau menekan hawa nafsunya agar jauh dari berbagai pengaruh dan dorongan – dorongan emosional, jauh dari berbagai pengaruh dan dorongan – dorongan emosional, jauh dari sifat marah dan semangat yang berlebihan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ orang yang kuat itu bukanlah dengan bergulat ( fisik). Orang yang kuat itu ialah yang sanggup mengendalikan dirinya ketika marah. “ ( HR. Bukhari Kitabul Adab 12/148 no.6114 ) Mengapa demikian? Karena rasa marah sering menyebabkan rusaknya pengendalian seorang dalam urusannya. Demikian yang ditegaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seorang sahabat meminta nasehat beliau : “ jangan marah “ Dan beliau mengulang – ngulangnya. Bahkan para ulama memberlakukan satu ketetapan syari’at bagi merereka yang terjun dalam dakwah mengajak manusia kembali kepada Allah Subhanahuwata’ala, tapi tidak memiliki kesabaran dan santun, dengan menyatakan tidak ada kebaikan bagi dakwahnya. Dan dalam hal ini, tidak dia tidak disyari’atkan untuk berdakwah Imam Ibnu Taimiyah rahimahumullah menegaskan : “ Maka jika kalau hal itu mendorong kepada kejahatan yang lebih besar, maka tidak disyari’atkan ( baginya untuk berdakwah ). Misal seorang yang memerintahkan kebaikan tetapi tidak mempunyai kesabaran, kemudian disakiti dan mengeluh. Akhirnya dengan sikap yang demikian membuatnya berdosa dan mengurangi iman dan agamanya. Orang yang seperti ini, tidak mungkin mendatangkan kebaikan, tidak untuk dirinya apalagi untuk orang lain yang diajaknya. Berbeda kalau dia bersabar dan bertakwa serta berjuang dengan sungguh – sungguh ( berjihad ) dan tidak memlampaui batas yang Allah Subhanahuwata’ala tetapkan. Bahkan betul – betul memanfaatkan ketakwaan dan kesabaran itu, maka seorang da’i seperti inilah yang akan berhasil di kemudian hari dan layak dipuji. Hal hal yang menunjukan betapa pentingnya kesabaran dalam hidup seorang da’i diantaranya ialah bahwah Allah Subhanahuwata’ala menjadikan sabar itu sebagai watak bagi hamba – hamba Nya yang berilmu. Yang menyelisihi jalan orang – orang jahil, dengan firmannya : وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا “ Dan hamba – hamba Ar Rahman ( Rabb Yang Maha Penyayang ) itu ialah orang – orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang – orang yang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata – kata yang hak” (Al Furqan : 63) Bahkan Allah Subhananhuwata’ala menegaskan bahwa sabar adalah sebab keberuntungan dan kesuksesan serta keselamatan. Sebagaimana firmanNya : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “ Hai orang – orang yang beriman bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga ( di perbatasan negerimu ) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (Al Imran : 200 ) Diantara pengaruh besar kesabaran dan buahnya ialah bahwasannya Allah Subhanahuwata’ala telah menjadikan kesabaran dan keteguhan di jalan dakwah mengajak manusia kepada Allah itu sebagai sebab diperolehnya kedudukan imamah ( kepemimpinan ) dalam agama. Syaikhul Ibnu Taimiyah menerangkan : “ Allah telah menjadikan imamah dalam agama ini hanya diperoleh dengan kesabaran dan keyakinan, dengan firmanNya : وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ “ Dan kami jadikan diantara mereka itu pemimpin –pemimpin yang memberi dengan perintah Kami ketika mereka bersabar. Dan adalah meraka meyakini ayat – ayar Kami. “ ( As Sajdah : 24 ) Maka sesungguhnya di antara agama ini seluruhnya adalah ilmu tentang al haq, mengamalkannya. Dan pengamalannya tentunya membutuhkan kesabaran, demikian pula mendapatkan ilmunya, butuh kesabaran. Oleh karena itu, hal – hal yang menunjukan keutamaan kesabaran, terutama bagi para da’i yang berjalan di atas Al haq dan mendakwahanya, memperoleh derajat yang tinggi, merupakan buah dari kesabarannya dalam aagamaNya. Dimana Allah berfirmran : أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ “ Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang – orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang- orang yang sabar “ ( Al Imran : 142 ) Bahkan Allah Subhanwahuwata’ala telah membuat ukuran tertentu bagi setiap amalan, kecuali sabar. Karena nilanya jauh di atas ukuran dan batas perhitungan tertentu. Firman Allah Subhanahuwata’ala : إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ “ Sesungguhnya hanya orang – orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” ( Az Zumar : 10 ) ( Dikutip dari buku Manhaj Dakwah Salafiyah, Pustaka Al HAURA)

baca selengkapnya......

Al Hilm ( Santun ) Dan Sabar Menghadapi Gangguan ( bag.1)

Sabar merupakan sifat – sifat yang agung yang Allah Subhanahuwata’ala jadikan sebagai salah satu sifat orang yang bertakwa. Yang paling mulia dari orang – orang bertakwa ini adalah para Nabi dan Rasul Allah Subhanahuwata’ala. Bahkan Allah menjadikan sabar itu salah satu sifat para penduduk surga. Allah berfirman وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ () الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ () “ Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang – orang yang bertakwa ( yaitu ) orang – orang yang menafkahkan ( hartanya ) baik waktu lapang maupun sempit dan orang – orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan ( kesalahan ) orang. Allah menyukai orang – orang yang berbuat kebajikan “ ( Ali Imran : 133-134 ) Demikianlah sifat – sifat yang tidak mungkin di sandang kecuali oleh orang – orang yang sabar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumullah telah berbicara tentang pengertian sabar dan keutamaanya, beliau mengatakan : “ Oleh sebab inilah sabar menjadi salah satu hal yang wajib menunggu kesepakatan kaum muslimin, baik dalam menjalankan semua kewajiban dan meninggalkan semua yang dilarang. Termasuk di dalamnya ialah kesabaran dalam mengahadapi berbagai musibah untuk tidak gampang menyerah atau mengeluh. Juga sabar untuk tidak mengikuti hawa nafsu yang semua ini dilarang oleh Allah Subhanahuwata’ala” Allah Subhanahuwata’ala berfirman : وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ “ Dan mintalah pertolongan ( dari Allah ) dengan sabar dan ( mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali orang – orang yang khusyu ( Al Baqarah : 45 ) Sabar adalah perilaku utama seorang da’i yang ingin berhasil dalam menyampaikan ajaran Islam dan As Sunnah. Karena pada dasarnya manusia itu berbeda – beda pemahaman mereka terhadap dakwah ini, di samping banyak syubhat yang muncul pada mereka, sehingga menjadi salah satu diantara hal – hal yang mempengaruhi sambutan mereka terhadap dakwah ini. Maka, sesuai tingkatan sabar seorang da’i demikan pula sambutan tehadapnya. Sebab, sabar itu sangat terasa pengaruhnya. Firman Allah Subhanahuwata’ala : وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ () وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ “ Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah ( kejahatan itu ) dengan cara yang lebih baik, maka tiba – tiba orang yang diantaranya dan antara dia ada permusuhan seolah – olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat – sifat yang baik itu tidak dianugrahkan melainkan kepada orang – orang yang sabar dan tidak dianugrahkan melainkan kepada orang – orang yang mempunyai keberuntungan yang besar ( Fushshilat : 34 – 35 ) Hal ini dapat dibuktikan dengan bahwasanya Allah Subhanahuwata’ala memberikan sesuatu kepada sifat yang lemah lembut dan sabar yang tidak diberikanNya kepada keluh kesah dan kekasaran. Tentang hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Sesungguhnnya Allah Maha Lemah Lembut. Dan Dia memberikan kepada sifat lemah lembut apa yang tidak diberikanNya kepada sifat kasar dan tidak memberikan sesuatu kepada selainya.” (HR. Muslim Kitabul Birr wa shilah 16/220 no.2593) Inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukan kepada kita contoh konkrit kesabaran dalam bentuk yang sanagat mengagumkan. Ketika dakwahnya ditolak masyarakatnya, mereka menyakitinya, tidak mau menerimanya. Saat itu, malaikat penjaga gunung datang menawarkan untuk yang menghempaskan dua gunung yang ada kepada mereka. Namun kesabaran dan rasa santun pada diri Beliau terlihat jelas dalam kondisi yang demikian pahit. Di mana beliau bersabda : “Bahkan saya berharap agar Allah mengeluarkan dari keturunan mereka generasi yang menyembah Allah dan tidak menyukutukanNya dengan suatu apapun juga” ( HR. Bukhari Kitab Badai Khalq 6/458 no.3231) Alangkah hebatnya kesabaran dan keteguhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah mengajak manusia kepada islam. Hal ini dapat mendorong seorang da’i untuk memperoleh sifat yang agung dan mulia ini kecuali dengan keikhlasan, keyakinan, dan keimanan kepada Allah Subhanahuwata’ala. Sebab, dengan kesabaran, kesantunan itu akan semakin besar pahala yang dia dapatkan, dan semakin bertambah imannya. Akhirnya akan senantiasa mengharap pahala kebaikan (ihtisab) dalam setiap mushibah yang dialami dalam berdakwah mengajak manusia kepada Allah. Ketika beliau menghadapi ganguan dari masyarakatnya ucapan yang keluar dari belau tidak lebih dari “ Semoga Allah merahmati Musa, Sengguh dia sering di sakiti lebih banyak dari pada ini, tapi ia tetap sabar ( HSR. Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud ) ( Dikutip dari buku Manhaj Dakwah Salafiyah, Pustaka Al HAURA)

baca selengkapnya......

2/05/2013

Jauhi sikap Menganggap Remeh

idak selayaknya sifat menganggap remeh kepada yang orang lain terlintas pada diri seorang muslim. Tak terkecuali pula pada diri seorang wanita muslimah. Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam telah memberikan bimbingan kepada wanita wanita mukminah dalam bentuk peringatan sebagaimana tersebut dalam sabda Beliau shallallahu’alaihiwasallam. Sesuatu yang sedikit secara nilai adalah bukan sebagai penghalang untuk seseorang beramal dengannya. Rasulullahshallallahu’alaihiwasallam bersabda dalam hadits yang shahih sebagaimana tersebut dalam shahih al-Bukhari dari hadits ‘Adi bin Hatimia berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam beliau mengatakan : تَّقوا النَّارَ وَلو بشقّ تَمْرَةٍ Jagalahdiri-diri kalian dari adzab api neraka walaupun hanya sekedar bershadaqoh dengan separoh buah kurma. Imam al-Bukhari menjadikan judul bab ketika membawakan hadits tersebut dengan menyatakan :Jagalah dari adzab neraka sekalipun hanya bershadaqoh dengan separoh buah kurma dan nilais edikit dari shodaqoh. Rasululloh shallallahu’alaihiwasallam telah memberikan suri tauladan yang baik kepada umatnya berkaitan sikap memuliakan orang lain dan sikap tidak menganggap remeh kebaikan orang lain sebagaimana dalam sabda beliau yang disebutkan di dalamriwayat Abu Hurairah –radhiallahu’anhu- bahwa Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bersabda : لو دعيتُ إلى ذراعٍ أو كُراعٍ لأجبتُ ولو أهْدي إليَّ ذراعٌ أو كُراعٌ لقبلتُ Seandainya aku diundang dalam satu hidangan yang menyuguhkan daging dari betis kambing atau apa yang di bawah mata kaki kambing sungguh aku akan penuhi undangan tersebut, dan seandainya dihadiahkan kepadaku kaki kambing atau apa yang dibawah mata kaki kambing sungguh aku akan menerimanya. (hadits riwayat al-Bukhori). ‘Aisyah –radhiallohu ‘anha- pernah bersodaqoh dengan tiga butir kurma kepada seorang wanita miskin yang membawa kedua anaknya. Pemberian seseorang berupa bagian dari mata kaki hingga kuku kambing (kikil,bhsjawa), adalah bagian yang biasa terbuang dan tertinggal saat seseorang menyembelih kambing atau bagian yang tidak teranggap bagi mayoritas penjual daging kambing karena sedikitnya daging yang menempel pada bagian tersebut tidaklah boleh seseorang menganggap remeh terhadap hal tersebut. Perkaranya adalah bukan masalah nilai yang sedikit dari kaki kambing tersebut, akan tetapi kesadaran untuk bershadaqoh dengan sesuatu yang mudah yang seseorang mendapatinya walaupun sedikit karena yang demikian itu lebih baik daripada tidak bershadaqoh sama sekali. Demikian juga sebagai bentuk perwuju dan dari sabda Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam yang pernah menyampaikan satu pesan kepada para wanita muslimah dalam sabdanya : يَا نِساءَ المُسْلِمات ! يَا نِساءَ المُسْلِمات ! لا تحْقِرَنَّ جَارَة لِجارَتها وَلو فِرْسِنَ شَاةٍ Wahai wanita-wanita muslimah, janganlah pernah kalian menganggap remeh pemberian tetangga kalian walaupun hanya sekedar pemberian bagian kaki kambing.(Hadits Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah –radhiallahu’anhu-). Nabi shallallahu’alaihiwasallam dalam pesan beliau yang lain terhadap para shahabat ketika memasak daging maka dianjurkan untuk memperbanyak kuahnya dalam rangka untuk memperhatikan tetangga walaupun hanya sekedar memberikan sedikit bagian dari daging tersebut atau sekedar memberikan kuahnya. Sebagaimana pesan beliau kepada sahabat Abu Dzar –radhiallohu’anhu : وَإذَا صَنَعْتَ مَرَقَة فأ كثِر مَاءَها ثمَّ انظر أهْلَ بيتٍ منْ جيرانك فَأصِبْهمْ مِنْه بِمَعْروفٍ Jika engkau memasak daging maka perbanyaklah kuahnya, kemudian perhatikan dari keluarga tetanggamu, maka hendaklah engkau memberikan dari sebagian kuah daging tadi dengan cara yang baik. Suatu yang mudah jika seseorang memiliki kesadaran untuk beramal dengan bimbingan Rasulullahshallallahu’alaihiwasallam. Rasulullah memerintahkan untuk memperbanyak kuahnya, dan beliau tidak memerintahkan untuk memperbanyak dagingnya,karena dimungkinkan tidak setiap individu memiliki keluasan untuk memperbanyak dari dagingnya, akan tetapi mudah dilakukan ketika seseorang memperbanyak dari air kuahnya. Sehingga tidak menghalangi seseorang untuk bershadaqoh sekalipun hanya sekedar kuahnya. Semua itu kembali kepada kesadaran dari setiap individu untuk mengamalkan bimbingan Rasululloh tersebut. Dalam bimbingan yang lain Rasululloh shallallahu’alaihiwasallam menuturkan ketika Abu Hurairah –radhiallahu’anhu- menceritakan bahwa pernah ada yang bertanya kepada Rasulullahshallallahu’alaihiwasallam : Ya Rasulallah, ada seorang wanita ia senantiasa berdiri menegakkan sholat malam dan berpuasa sunnah di siang harinya dan perbuatan kebaikan yang lain, bershadaqoh akan tetapi ia juga seorang yang menyakiti tetangganya dengan lisannya. Rasululloh shallallahu’alaihiwasallam mengatakan : لا خَيرَ فِيهَا هِيَ مِنْ أهْلِ النَّارِ Tidak ada kebaikan baginya, ia termasuk penghuni api neraka. Kemudian mereka melanjutkan perkataannya : Dan ada seorang wanita ia sekedar menegakkan sholat lima waktu, dan hanya bershadaqoh dengan sedikit dari potongan keju, dan tidak pernah menyakiti tetangga ? maka Nabi shallallahu’alaihiwasallam mengatakan : هِيَ مِنْ أهْلِ الجَنَّةِ Ia adalah penghuni jannah. Hadits tersebut selain menunjukkan tentang bahaya yang diakibatkan oleh lisanya itu perbuatan menyakiti tetangganya apakah dengan lisan atau dengan perbuatan, demikian juga disebutkan tentang keutamaan bershadaqoh sekalipun hanya sedikit dari bagian potongan keju maka janganlah dianggap remeh hal yang demikian tersebut karena nilai yang sedikit dilihatcdari sesuatu yang dishadaqohkan tersebut.. Demikian beberapa riwayat yang berkaitan dengan anjuran untuk bershadaqoh sekali pun suatu yang mayoritas manusia itu menganggap remeh hal-hal tersebut. Maka jangan pernah sekali pun seseorang menganggap remeh. Jangan pernah menganggap remeh amalan kebaikan sekecil apapun. Terdapat riwayat dari abu Hurairah ia berkata bahwa Rasululullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda :Ketika ada seorang yang berjalan di suatu jalan, ia sangat merasa haus. Kemudian ia mendapatkan sebuah sumber mata air, ia pun lantas turun dan minum darinya dan kemudian keluar. Tetapi ia mendapati ada seekor anjing yang menjulurkan lidahnya, menjilat-jilat debu karena kehausan. Maka seseorang tersebut mengatakan, sungguh anjing ini sangat haus sebagaimana yang telah menimpaku tadi. Kemudian orang tersebut turun ke sumber mata air kembali dan kemudian memenuhi sepatunya dengan air lalu ia tahan dengan mulutnya dan memberikan minum kepada anjingtersebut, maka Alloh membalas kebaikannya dan memberikan pengampunan kepadanya. Mendengar tersebut para sahabat kemudian bertanya :Ya Rasulullah, apakah kami juga mendapatkan pahala apabila berbuat baik kepada binatang ? maka Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda : Sungguh pada setiap yang memiliki hati yang basah, terdapat pahalanya. Riwayat ini selain menunjukkan tentang perintah untuk bersikap kasih sayang terhadap binatang, demikian juga menunjukkan tentang tidak bolehnya seseorang menganggap remeh terhadap amalan kebaikan apapun, karena di sana terdapat keutamaan yang besar di antaranya sebagaimana ditunjukkan dalam hadits tersebut yaitu balasan pengampunan dari Alloh Ta’aala terhadap seorang yang berbuat baik kepada binatang dengan cara memberi minum kepada binatang yang kehausan. Demikian halnya kepada binatang, maka bagaimana jika kebaikan itu diperbuat kepada sesama bani Adam, terlebih lagi kepada mereka yang memiliki hak untuk mendapatkannya seperti kalangan fuqoro dan orang-orang miskin serta orang-orang lain yang sangat membutuhkan apakah makanan atau minuman serta kebutuhan yang lain dari kalangan kaum muslimin. Dari Abdulloh in Umar –radhiallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda :Seorang wanita diadzab dikarenakan telah mengurung seekor kucing hingga mati kelaparan. Wanita tersebut masuk keneraka karena hal tersebut. Dikatakan -Wallahua’lam – : Engkau tidak memberi makan dan minum ketika mengurungnya dan tidak juga melepasnya hingga kemudian ia makan serangga-serangga tanah. Riwayat ini juga menunjukkan tentang bahayanya menganggap remeh dengan tidak mempedulikan hak-hak yang harus dipenuhi terhadap binatang, dalam hal ini adalah seekor kucing yang ia kurung dan tidak ia berikan haknya dari makanan dan minuman. Selain riwayat ini juga menunjukkan tentang bahayanya berlaku kedholiman sekalipun terhadap kalangan binatang. Demikian beberapa riwayat kami bawakan diantara faedahnya adalah tidak boleh seseorang menganggapremeh suatu amalan kebaikan dan sikap menganggap remeh adalah merupakan akhlak tercela. Wallahua’lam.

baca selengkapnya......

Yang Kesekian Kali, Jauhi Sifat Iri Dengki

Sifat yang sangat tercela akan tetapi banyakmenjangkiti kaum hawa, bahkan menjangkiti kebanyakan manusia, hingga menjangkiti sekalipun para penuntut ilmu, kecuali para penuntut ilmu yang dipenuhi sifat kejujuran. Sifat yang Allah Ta’aala telah peringatkan darinya. Sifat yang Allah perintahkan untuk dibersihkan dari setiap individu. Sifat apa itu? Yaitu hasad. Karena hasad adalah termasuk dari sejelek-jelek sifat. Termasuk sifat besar syaithon dan bala tentaranya. Adalah sifat orang-orang yang telah mendapatkan kemurkaan Allah yaitu orang-orang Yahudi, firman Allah Ta’aala : وَدَّ كَثِيرٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ ۖ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ Sebahagian besar ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, Karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.(Al.Baqoroh :109). Meraka (yahudi) dengki terhadap Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam atas apa yang telah diberikan Allah kepada beliau dari kenabian dan kedudukan yang besar, sehingga menjadikan sebab kekufuran orang-orany Yahudi terhadap apa yang dibawa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dalam keadaan mereka mengetahui tentang kejujuran dan kebenaran apa yang dibawa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan dalam keadaan mereka meyakini bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam adalah seorang Nabi, hingga terus menerus ada pada orang-orang Yahudi yang senantiasa mendengki kepada umat ini karena umat ini telah Allah berikan kenikmatan berupa keimanan yang benar dan hidayah. Hasad adalah seseorang tidak suka adanya satu kenikmatan itu sampai kepada yang selain darinya, dan berangan agar nikmat tersebut hilang dari orang lain. Hasad banyak terjadi terkait urusan dunia, dari harta, kedudukan, keadaan seseorang dan selain dari pada itu. Bahkan yang lebih berbahaya adalah terdapat pada kalangan para pencari ilmu, kecuali yang dirahmati Allah Ta’aala. Dengan adanya hasad, seseorang berarti tidak menerima ketentuan Allah Ta’aala, karena ia memandang bahwa orang lain seakan tidak berhak mendapatkan dari apa yang telah diberikan oleh Allah kepadaya dari berbagai keutamaan, dan ia juga berpandangan bahwa ia lebih berhak untuk mendapatkan dari apa yang telah didapatkan oleh saudaranya tersebut. Dengan hasad seseorang terjatuh dalam pengingkaran terhadap hikmah Allah pada pengaturanNya terhadap makhlukNya, karena Allah Ta’aala itu memberi atau mencegah adalah dengan hikmah yang besar. Dengan hasad menjadikan kebencian sesama manusia, karena seorang yang hasad itu pasti tumbuh pada dirinya kebencian kepada yang lain. Rasul kita bersabda : Janganlah kalian saling iri, janganlah kalian saling memata-matai saudaranya, janganlah kalian saling membenci dan janganlah kalian saling membelakangi, dan janganlah sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli oleh sebagiannya, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang menjaga tali persaudaraan. (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah –radziallahu’anhu). Terjadi pembunuhan di antaranya adalah kerusakan yang diakibatkan karena hasad, firman Allah Ta’aala : وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ ۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam menurut yang Sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua dan tidak diterima dari yang lain. Berkata salah satu keduanya kepada yang lain: “Aku pasti membunuhmu!”. Yang selainnya Berkata: “Sesungguhnya Allah Hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”.(Al-Maidah : 27) Hasad telah mengakibatkan seseorang menolak kebenaran ketika kebenaran itu datang dari orang yang telah ia dengki kepadanya. Dengan hasad pula telah menjadikan sebab seseorang terus menerus di atas kebatilan, sebagaimana sifat yang ada pada Iblis yang Allah telah melaknatnya. Dengan Hasad memunculkan sifat jelek yang lain yaitu ghibah, namimah, dan selainnya. Terlebih kalangan orang jahil, ketika ia mengungkapkan kepada yang selainnya tentang kedengkian kepada saudaranya, maka pada akhirnya ia terjatuh dalam dua perkara yang sangat tercela tersebut yaitu ghibah dan namimah. Adanya hasad menjadikan seseorang senantiasa di atas kegamangan, kegalauan dan kesedihan, karena di saat keutamaan Allah diberikan kepada saudara yang lain sedangkan ia tidak menginginkan hal tersebut terjadi dalam keadaan ia juga tidak mampu untuk mencegah dan menghalanginya. Dan selain dari pada itu sangat banyak untuk disebutkan tentang kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh sifat hasad atau kedengkian. Sehingga apabila seseorang mendapati sifat tercela tersebut menjangkiti pada dirinya, berupayalah dengan kesungguhan untuk segera mengilangkannya, diantaranya adalah dengan senantiasa mengingat kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh sifat tercela tersebut, apakah kerusakan kaitannya dengan urusan dunianya, terlebih besar yaitu kerusakan yang menyangkut urusan agamanya. Dan hendaklah ia senantiasa ingat bahwa segala urusan itu di Tangan Allah Ta’aala Yang Maha luas RahmatNya dan Allah Ta’aala adalah Yang Maha memiliki seluruh keutamaan yang besar. Dan hendaklah setiap individu untuk senantiasa memohon kepada Allah Ta’aala semata atas segala keutamaan. Firman Allah Ta’aala : وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِن فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (An-Nisaa : 32). Wallahu Ta’aala a’lam.

baca selengkapnya......

Khadijah Istri Teladan

Khadijah bintu Khuwailid, istri Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam yang pertama. Dari beliaulah Nabi mendapatkan anak. Seluruh anak Nabi berasal dari Khadijah kecuali Ibrahim. Beliau adalah wanita pertama yang masuk Islam. Beliaulah yang mendukung, menghibur, dan menguatkan hati Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam di masa-masa awal kenabian. Dukungan diberikannya secara penuh dalam segala hal, termasuk harta. Itu adalah masa-masa sulit penuh perjuangan, di saat sedikitnya dukungan dari sekitar, justru yang terbanyak adalah orang-orang yang menentang dakwah beliau. Khadijah menguatkan Nabi pada saat beliau ketakutan karena baru didatangi Jibril di awal turunnya wahyu. Khadijah menghibur dan menyelimuti beliau dengan menyatakan: كَلَّا أَبْشِرْ فَوَاللَّهِ لَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا فَوَاللَّهِ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَصْدُقُ الْحَدِيثَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ Sekali-kali tidak. Bergembiralah. Demi Allah, Allah tidak akan pernah menghinakanmu selama-lamanya. Demi Allah, sungguh engkau adalah penyambung silaturrahmi, jujur dalam berkata, mau menanggung beban penderitaan orang lain, menyantuni pihak yang kekurangan, memulyakan tamu, suka menolong (H.R al-Bukhari dan Muslim). Malaikat Jibril pernah menyampaikan kepada Nabi: فَاقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلَامَ مِنْ رَبِّهَا وَمِنِّي وَبَشِّرْهَا بِبَيْتٍ فِي الْجَنَّةِ مِنْ قَصَبٍ لَا صَخَبَ فِيهِ وَلَا نَصَبَ Sampaikanlah salam untuknya dari Rabbnya dan dariku, dan berilah kabar gembira kepadanya dengan rumah (istana) di surga dari mutiara besar yang berongga, yang tidak ada kegaduhan di dalamnya dan tidak ada perasaan capek (H.R alBukhari dan Muslim) Sebagian Ulama’ menjelaskan bahwa Khadijah akan mendapatkan surga dengan sifat tidak ada kegaduhan dan tidak ada capek di dalamnya, karena Khadijah telah bersikap sebagai istri yang baik. Tidak akan ia dapati kegaduhan di surga karena ia sebagai istri tidak pernah menimbulkan kegaduhan. Perintah suaminya ia laksanakan dengan senang hati. Ia tidak mengangkat suara untuk membantah suaminya. Ia akan mendapatkan surga yang tidak ada perasaan capek di dalamnya, karena ia senantiasa berusaha agar rumah menjadi sarana bagi suaminya untuk menghilangkan capek dan penat. As-Suhaily menyatakan: Dua sifat yang dinafikan darinya (kegaduhan dan capek) tepat (untuk didapatkan oleh Khadijah) karena Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam ketika berdakwah kepadanya ia terima dengan senang hati, tidak ditentang dengan mengangkat suara. Bahkan Khadijah berusaha untuk menghilangkan seluruh kepenatan pada Nabi, menenangkan beliau pada saat keadaan gawat, memudahkan bagi beliau pada keadaan yang sulit, sehingga tepatlah balasan tempat tinggalnya yang diberi kabar gembira oleh Tuhannya dengan sifat yang sesuai dengan perbuatannya (Fathul Baari karya Ibnu Hajar al-Asqolaany (7/138)) Al-Munawi juga menjelaskan: Ia (Khadijah) berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan keridhaan beliau (suaminya) dan agar ia tidak melakukan hal yang menyebabkan kemarahan beliau (suaminya) (Faidhul Qodiir (2/241)) (Abu Utsman Kharisman)

baca selengkapnya......

Mengingat kembali, Dari Apa Kita dicipta

Dalam perjalanan kehidupan ini kita senantiasa menyaksikan, apakah dengan penglihatan kita, pendengaran kita atau dengan persaksian yang selainnya, ada seorang yang terlahir di muka bumi ini di waktu yang telah lalu, kemarin atau hari ini. Dengan berjalannya waktu, mereka tumbuh berkembang. Terkadang seseorang tidak sempat memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah dalam penciptaan manusia tersebut. Sesungguhnya dari apa kita diciptakan Allah? Lebih lagi tidak mengerti untuk apa manusia diciptakan. Allah Ta’aala berfirman : هَلْ أَتَىٰ عَلَى الْإِنسَانِ حِينٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْئًا مَّذْكُورًا إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا Bukankah Telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), Karena itu kami jadikan dia mendengar dan Melihat.Sesungguhnya kami Telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.(Al-Insan : 1-3). Allah Ta’aala mengatakan dengan menyebutkan dalam surat yang mulia ini (surat al-Insan) awal permulaan keadaan seorang manusia, baik permulaannya, pertengahan dan akhir manusia tersebut. Allah Ta’aala menyebutkan Sebelum adanya manusia , telah berlalu suatu masa yang sangat panjang ia adalah sesuatu yang tidak ada, atau bahkan sesuatu yang tidak bisa disebut. Di saat Allah Ta’aala menghendaki untuk menciptakan manusia, maka Allah cipta Adam bapak manusia yang terbuat dari tanah, hingga secara berturutan sambung menyambung Allah Ta’aala cipta anak cucu Adam. Allah Ta’aala katakan : “Dari setetes air mani yang telah bercampur”. Yaitu air yang hina dan menjijikkan, Allah Ta’aala hendak mengujinya dengan perkara tersebut. Agar Allah Ta’aala mengetahui apakah ia (manusia) kemudian melihat keadaannya di awal pertama dan memikirkan ataukah ia melupakannya atau bahkan ia menipu dirinya sendiri? Allah Ta’aala telah menjadikan manusia serta memberikan kekuatan dalam bentuk lahir dan batin, semisal pendengaran, penglihatan dan bagian-bagian tubuh yang lain. Kemudian Allah Ta’aala menyempurnakannya dan menjadikan semua itu dalam keadaan baik dan berfungsi sehingga ia mampu mencapai apa yang menjadi maksud tujuannya. Hingga Allah Ta’aala utus para Rasul utusanNya, Allah turunkan kitab-kitabNya kepada mereka (manusia) serta menunjuki manusia suatu jalan yang akan menghantarkan mereka kepada Allah Ta’aala. Memberikan motivasi di kala manusia menempuh jalan tersebut, dan menjelaskan tentang apa yang akan didapatkan ketika seseorang itu telah sampai kepada Allah Ta’aala. Kemudian Allah terangkan kepada manusia jalan-jalan yang akan menyeret kepada kebinasaan. Allah Ta’aala memberikan ancaman (bagi manusia) terhadap jalan tersebut, serta menjelaskan perihal apa yang akan ia terima apabila seseorang memilih menempuh jalan tersebut, dan Allah mengujinya dengan perkara itu. Maka manusia terbagi, menjadi seorang yang bersyukur terhadap kenikmatan Allah Ta’aala yang diberikan kepadanya, sehingga ia kemudian menunaikan hak-hak yang Allah embankan kepadanya, bagian manusia yang lain adalah seorang yang kufur terhadap kenikmatan yang telah Allah berikan kepada mereka terkait kenikmatan agama dan kenikmatan dunia, ia menolaknya hingga kufur kepada Rabb-nya dan ( lebih memilih) untuk menempuh jalan yang menjerumuskan kepada kebinasaan Demikian apa yang dituturkan oleh as-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam kita Taisirul Karimir Rahman fii Tafsiiri Kalaamil Mannan tafsir surat al-Insan ayat 1-3). Dari setetes air mani yang hina lagi menjijikkan yang telah bercampur dengan hal yang serupa, itulah asal mula kita sebagai anak cucu Adam, dalam keadaan berada dan melewati jalan yang biasa di lewati suatu hal yang najis. Itulah asal mula keberadaan kita sebagai manusia. Semua itu dimengerti oleh setiap individu yang bisa menggunakan akalnya. Dan hendaknya setiap individu menyadari hal tersebut, untuk kemudian tahu akan dirinya, yang harus tunduk kepada setiap seruan penciptanya yaitu Allah Ta’aala yang telah memberikan kemuliyaan kepadanya, berupa ilmu dan seluruh kenikmatan-kenikmatan yang telah Allah Ta’aala berikan kepadanya. Untuk beribadah hanya kepada Allah Ta’aala semata dan untuk tidak sedikitpun mensekutukan kepada Allah Ta’ala dengan sesuatupun, itulah tujuan diciptakannya manusia. Tujuan yang sangat mulia. Setiap manusia hendaknya mencari tujuan yang sangat mulia tersebut . Hanya untuk beribadah kepada-Nya semata. Firman Allah Ta’aala : وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (adz-Dzariyaat : 56). Dengan mengingat kembali, dari apa manusia dicipta ia akan mengetahui kedudukan dirinya, ia tahu kadar dirinya, ia akan mengetahui betapa banyak kesempurnaan-kesempurnaan yang diberikan Allah atas dirinya sebagai makhluk. Dan dengan mengingat kembali dari apa ia dicipta, adakah kesempatan seseorang untuk kemudian berlaku kibir (sombong) kepada sesamanya, sedangkan ia dicipta dari suatu yang sama-sama menjijikkan. Dan Terlebih dari pada itu adakah kesempatan berlaku kibir (sombong) di hadapan Allah Ta’aala yang telah menciptakannya? Yang telah menyempurnakannya sebagai makhluk? لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .(at-Tiin : 4) Hendaklah setiap individu menyadari dan sesaat untuk senantiasa mengingat kembali, dari apa asal ia dicipta ini? Sehingga pada akhirnya mengetahui kedudukan dan kadar dirinya, dan mengetahui untuk tujuan mulia apa ia dicipta? Wallahu Ta’aala a’lam.

baca selengkapnya......