Wahai saudariku muslimah..
Berhati-hatilah dari terlalu banyak berceloteh dan terlalu banyak berbicara,Allah Ta'ala berfirman:
” لا خير في كثير من نجواهم إلا من أمر بصدقة أو معروف أو إصلاح بين الناس ” (النساء: الآية 114).
Artinya:
"Dan tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka,kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah,atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia ". (An nisa:114)
Dan ketahuilah wahai saudariku,semoga Allah ta'ala merahmatimu dan menunjukimu kepada jalan kebaikan, bahwa disana ada yang senantiasa mengamati dan mencatat perkataanmu.
"عن اليمين وعن الشمال قعيد. ما يلفظ من قولٍ إلا لديه رقيب عتيد ” (ق: الآية 17-18)
Artinya:
"Seorang duduk disebelah kanan,dan yang lain duduk disebelah kiri.tiada satu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir" (Qaaf:17-18).
Maka jadikanlah ucapanmu itu menjadi perkataan yang ringkas, jelas, yang tidak bertele-tele yang dengannya akan memperpanjang pembicaraan.
1) Bacalah Al qur'an karim dan bersemangatlah untuk menjadikan itu sebagai wirid keseharianmu, dan senantiasalah berusaha untuk menghafalkannya sesuai kesanggupanmu agar engkau bisa mendapatkan pahala yang besar dihari kiamat nanti.
منزلتك عند آخر آية تقرؤها رواه أبو داود والترمذي
Dari abdullah bin ‘umar radiyallohu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, beliau bersabda:
dikatakan pada orang yang senang membaca alqur’an: bacalah dengan tartil sebagaimana engkau dulu sewaktu di dunia membacanya dengan tartil, karena sesungguhnya kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca.
HR.abu daud dan attirmidzi
2) Tidaklah terpuji jika engkau selalu menyampaikan setiap apa yang engkau dengarkan,karena kebiasaan ini akan menjatuhkan dirimu kedalam kedustaan.
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” كفى بالمرء كذباً أن يتحدّث بكل ما سمع “
Dari Abu hurairah radiallahu 'anhu,sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Cukuplah seseorang itu dikatakan sebagai pendusta ketika dia menyampaikan setiap apa yang dia dengarkan."
(HR.Muslim dan Abu Dawud)
3) jauhilah dari sikap menyombongkan diri (berhias diri) dengan sesuatu yang tidak ada pada dirimu,dengan tujuan membanggakan diri dihadapan manusia.
عن عائشة – رضي الله عنها- أن امرأة قالت: يا رسول الله، أقول إن زوجي أعطاني ما لم يعطني؟ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” المتشبّع بما لم يُعط كلابس ثوبي زور “.
Dari aisyah radiyallohu ‘anha, ada seorang wanita yang mengatakan:wahai Rasulullah,aku mengatakan bahwa suamiku memberikan sesuatu kepadaku yang sebenarnya tidak diberikannya.berkata Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam,: orang yang merasa memiliki sesuatu yang ia tidak diberi,seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan." (muttafaq alaihi)
4) Sesungguhnya dzikrullah memberikan pengaruh yang kuat didalam kehidupan ruh seorang muslim,kejiwaannya, jasmaninya dan kehidupan masyarakatnya. maka bersemangatlah wahai saudariku muslimah untuk senantiasa berdzikir kepada Allah ta'ala,disetiap waktu dan keadaanmu.Allah ta'ala memuji hamba-hambanya yang mukhlis dalam firman-Nya:
” الذين يذكرون الله قياماً وقعوداً وعلى جنوبهم… ” (آل عمران: الآية 191).
Artinya:
"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring…" (Ali imran:191).
5) Jika engkau hendak berbicara,maka jauhilah sifat merasa kagum dengan diri sendiri, sok fasih dan terlalu memaksakan diri dalam bertutur kata,sebab ini merupakan sifat yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam,dimana Beliau bersabda:
” وإن أبغضكم إليّ وأبعدكم مني مجلساً يوم القيامة الثرثارون والمتشدقون والمتفيهقون “.
"sesungguhnya orang yang paling aku benci diantara kalian dan yang paling jauh majelisnya dariku pada hari kiamat : orang yang berlebihan dalam berbicara, sok fasih dengan ucapannya dan merasa ta'ajjub terhadap ucapannya."
(HR.Tirmidzi,Ibnu Hibban dan yang lainnya dari hadits Abu Tsa'labah Al-Khusyani radhiallahu anhu)
6) Jauhilah dari terlalu banyak tertawa,terlalu banyak berbicara dan berceloteh.jadikanlah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, sebagai teladan bagimu,dimana beliau lebih banyak diam dan banyak berfikir.beliau Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, menjauhkan diri dari terlalu banyak tertawa dan menyibukkan diri dengannya.bahkan jadikanlah setiap apa yang engkau ucapkan itu adalah perkataan yang mengandung kebaikan, dan jika tidak,maka diam itu lebih utama bagimu. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, bersabda:
” من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيراً أو ليصمت “.
" Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,maka hendaknya dia berkata dengan perkataan yang baik,atau hendaknya dia diam."
(muttafaq alaihi dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu)
8) jangan kalian memotong pembicaraan seseorang yang sedang berbicara atau membantahnya,atau meremehkan ucapannya. Bahkan jadilah pendengar yang baik dan itu lebih beradab bagimu,dan ketika harus membantahnya,maka jadikanlah bantahanmu dengan cara yang paling baik sebagai syi'ar kepribadianmu.
9) berhati-hatilah dari suka mengolok-olok terhadap cara berbicara orang lain,seperti orang yang terbata-bata dalam berbicara atau seseorang yang kesulitan berbicara.Alah Ta'ala berfirman:
” يا أيها الذين آمنوا لا يسخر قوم من قوم عسى أن يكونوا خيراً منهم ولا نساء من نساء عسى أن يكن خيراً منهن ” (الحجرات: الآية 11).
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik."
(QS.Al-Hujurat:11)
10) jika engkau mendengarkan bacaan Alqur'an,maka berhentilah dari berbicara,apapun yang engkau bicarakan, karena itu merupakan adab terhadap kalamullah dan juga sesuai dengan perintah-Nya, didalam firman-Nya:
: ” وإذا قرىء القرآن فاستمعوا له وأنصتوا لعلكم ترحمون ” (الأعراف: الآية 204).
Artinya: "dan apabila dibacakan Alqur'an,maka dengarkanlah dengan baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian diberi rahmat". Qs.al a'raf :204
11) bertakwalah kepada Allah wahai saudariku muslimah,bersihkanlah majelismu dari ghibah dan namimah (adu domba) sebagaimana yang Allah ‘azza wajalla perintahkan kepadamu untuk menjauhinya. bersemangatlah engkau untuk menjadikan didalam majelismu itu adalah perkataan-perkataan yang baik,dalam rangka menasehati,dan petunjuk kepada kebaikan. perkataan itu adalah sebuah perkara yang besar,berapa banyak dari perkataan seseorang yang dapat menyebabkan kemarahan dari Allah ‘azza wajalla dan menjatuhkan pelakunya kedalam jurang neraka.Didalam hadits Mu'adz radhiallahu anhu tatkala Beliau bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam: apakah kami akan disiksa dengan apa yang kami ucapkan? Maka jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
” ثكلتك أمك يا معاذ. وهل يكبّ الناس في النار على وجوههم إلا حصائدُ ألسنتهم ” ( رواه الترمذي).
"engkau telah keliru wahai Mu'adz,tidaklah manusia dilemparkan ke Neraka diatas wajah-wajah mereka melainkan disebabkan oleh ucapan-ucapan mereka."
(HR.Tirmidzi,An-Nasaai dan Ibnu Majah)
12- berhati-hatilah -semoga Allah menjagamu- dari menghadiri majelis yang buruk dan berbaur dengan para pelakunya,dan bersegeralah-semoga Allah menjagamu- menuju majelis yang penuh dengan keutamaan, kebaikan dan keberuntungan.
13- jika engkau duduk sendiri dalam suatu majelis, atau bersama dengan sebagian saudarimu,maka senantiasalah untuk berdzikir mengingat Allah ‘azza wajalla dalam setiap keadaanmu sehingga engkau kembali dalam keadaan mendapatkan kebaikan dan mendapatkan pahala.Allah ‘azza wajalla berfirman:
” الذين يذكرون الله قياماً وقعوداً وعلى جنوبهم “. (آل عمران: الآية 191)
Artinya: "(yaitu) orang – orang yang mengingat Allah sambil berdiri,atau duduk,atau dalam keadaan berbaring" (QS..ali 'imran :191)
14- jika engkau hendak berdiri keluar dari majelis, maka ingatlah untuk selalu mengucapkan:
” سبحانك الله وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك “.
"maha suci Engkau ya Allah dan bagimu segala pujian,aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak untuk disembah kecuali Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu, dan aku bertaubat kepada-Mu"
Sehingga diampuni bagimu segala kesalahanmu di dalam majelis tersebut.
Ditulis oleh: Haya Bintu Mubarak Al-Buraik
Dari kitab: mausu'ah al-mar'ah al-muslimah: 31-34
Alih bahasa : Ummu Aiman
(sumber http://www.salafybpp.com
4/18/2011
Adab-Adab Berbicara Bagi Wanita Muslimah
Khadijah bintu Khuwailid : Penopang Duka Khairul Anam
Penulis : Ummu Abdirrahman Anisah.
Siapakah yang menyangka saat itu, keharuman pribadinya kelak akan merebak di sepanjang sejarah Islam di setiap dada kaum muslimin? Siapakah yang menyangka, bahwa wanita yang mulia ini akan mendapatkan sebuah keutamaan yang besar yang telah ditetapkan Allah baginya? Siapakah yang menyangka, wanita cantik jelita ini akan mendampingi manusia yang paling mulia dalam rentang awal perjalanan dakwahnya? Siapakah yang menyangka saat itu…?
Muslimin manakah yang tak pernah mendengar sebutan namanya? Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushay Al-Qurasyiyah Al-Asadiyah radhiyallahu‘anha yang tercatat sebagai istri Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam sekaligus wanita pertama yang membenarkan pengangkatan Muhammad Shallallahu `alaihi Wasalam sebagai nabi dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu `alaihi Wasalam
Sebelumnya dia dikenal sebagai seorang wanita yang menjaga kehormatan dirinya sehingga melekatlah sebutan ath-thaahirah pada dirinya. Dia seorang janda dari suaminya yang terdahulu, Abu Halah bin Zararah bin an-Nabbasy bin ‘Ady at-Tamimi, kemudian menikah dengan ‘Atiq bin ‘A`idz bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Makhzum. Saat dia kembali menjanda, seluruh pemuka Quraisy mengangankan agar dapat menyuntingnya.
Sebagaimana umumnya Quraisy yang hidup sebagai pedagang, Khadijah radhiyallahu‘anha adalah wanita pedagang yang mulia dan banyak harta. Tiada yang mengira, ternyata pekerjaannya itu akan mengantarkan pertemuannya dengan manusia yang paling mulia, Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam.
Ia memberikan tawaran kepada seorang pemuda bernama Muhammad Shallallahu `alaihi Wasalam untuk membawa hartanya ke Syam, disertai budaknya yang bernama Maisarah. Perdagangan yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu `alaihi Wasalam itu memberikan keuntungan yang berlipat. Tak hanya itu, Maisarah pun membawa buah tutur yang mengesankan tentang diri Muhammad Shallallahu `alaihi Wasalam.
Penuturan Maisarah membekas dalam hati Khadijah radhiyallahu`anha. Dia pun terkesan pada kejujuran, amanah, dan kebaikan akhlak Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam. Tersimpan keinginan yang kuat dalam dirinya untuk memperoleh kebaikan itu, hingga diutuslah seseorang untuk menjumpai beliau dan menyampaikan hasratnya. Dia tawarkan dirinya untuk dipersunting Muhammad Shallallahu `alaihi Wasalam, seorang pemuda yang saat itu berusia dua puluh lima tahun. Gayung pun bersambut.
Namun, ayah Khadijah enggan untuk menikahkannya. Khadijah, wanita yang cerdas itu tak tinggal diam. Ia tak ingin terluput dari kebaikan yang telah bergayut dalam angannya. Dibuatnya makanan dan minuman, diundangnya ayah beserta teman-temannya dari kalangan Quraisy. Mereka pun makan dan minum hingga mabuk. Saat itulah Khadijah mengemukakan kepada ayahnya, “Sesungguhnya Muhammad bin ‘Abdillah telah mengkhitbahku, maka nikahkanlah aku dengannya.” Dinikahkanlah Khadijah dengan Muhammad Shallallahu `alaihi Wasalam, dan segera Khadijah memakaikan wewangian dan perhiasan pada diri ayahnya, sebagaimana kebiasaan mereka pada saat itu.
Tatkala sadar dari mabuknya, ayah Khadijah mendapati dirinya mengenakan wewangian dan perhiasan. Ia bertanya keheranan, “Mengapa aku? Apa ini?” Khadijah berkata kepada ayahnya, “Engkau telah menikahkanku dengan Muhammad bin ‘Abdillah.” Ayahnya pun berang, “Apakah aku akan menikahkanmu dengan anak yatim Abu Thalib? Tidak, demi umurku!” Khadijah menjawab, “Apakah engkau tidak malu, engkau ingin menampakkan kebodohanmu di hadapan orang-orang Quraisy dengan menyatakan kepada mereka bahwa engkau saat itu menikahkanku dalam keadaan mabuk?” Tak henti-henti Khadijah berucap demikian hingga ayahnya ridha.
Wanita jelita itu, Khadijah radhiyallahu‘anha, mendapati kembali belahan hatinya dalam usia empat puluh tahun. Tergurat peristiwa ini dalam sejarah lima belas tahun sebelum Muhammad Shallallahu `alaihi Wasalam diangkat sebagai nabi.
Allah Subhanahu wa Ta`ala telah menentukan Khadijah radhiyallahu`anha mendampingi seorang nabi. Awal mula wahyu turun kepada Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam berupa mimpi yang baik yang datang dengan jelas seperti munculnya cahaya subuh. Kemudian Allah jadikan beliau Shallallahu `alaihi Wasalam gemar menyendiri di gua Hira’, ber-tahannuts beberapa malam di sana. Lalu biasanya beliau kembali sejenak kepada keluarganya untuk menyiapkan bekal. Demikian yang terus berlangsung, hingga datanglah al-haq, dibawa oleh seorang malaikat.
Peristiwa ini sangat mengguncang hati Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam. Bergegas-gegas beliau kembali menemui Khadijah radhiyallahu`anha dalam keadaan takut dan berkata, “Selimuti aku, selimuti aku!” Diselimutilah Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam hingga beliau merasa tenang dan hilang rasa takutnya. Kemudian mulailah beliau mengisahkan apa yang terjadi pada dirinya. Beliau mengatakan kepada Khadijah, “Aku khawatir terjadi sesuatu pada diriku.”
Mengalirlah tutur kata penuh kebaikan dari lisan Khadijah radhiyallahu`anha, membiaskan ketenangan dalam dada suaminya, “Tidak, demi Allah. Allah tidak akan merendahkanmu selama-lamanya. Sesungguhnya engkau adalah seorang yang suka menyambung kekerabatan, menanggung beban orang yang kesusahan, memberi harta pada orang yang tidak memiliki, menjamu tamu dan membantu orang yang membela kebenaran.”
Lalu Khadijah radhiyallahu`anha membawa suaminya menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza, anak paman Khadijah radhiyallahu`anha, seorang yang beragama Nashrani pada masa itu dan telah menulis al-Kitab dalam bahasa Ibrani. Dia adalah seorang laki-laki yang lanjut usia dan telah buta. Khadijah radhiyallahu`anha berkata padanya, “Wahai anak pamanku, dengarkanlah penuturan anak saudaramu ini.” Waraqah pun bertanya, “Wahai anak saudaraku, apa yang engkau lihat?”
Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam menuturkan pada Waraqah apa yang beliau lihat. Setelah itu, Waraqah mengatakan, “Itu adalah Namus yang Allah turunkan kepada Musa. Aduhai kiranya aku masih muda pada saat itu! Aduhai kiranya aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu!” Mendengar itu, Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab, “Ya. Tidak ada seorang pun yang membawa seperti yang engkau bawa kecuali pasti dimusuhi. Kalau aku menemui masa itu, sungguh-sungguh aku akan menolongmu.” Namun tak lama kemudian, Waraqah meninggal.
Inilah kiprah pertama Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu`anha semenjak masa nubuwah. Dia pulalah orang pertama yang shalat bersama Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu`anha. Terus mengalir dukungan dan pertolongan Khadijah radhiyallahu`anha kepada Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam dalam menghadapi kaumnya. Setiap kali beliau mendengar sesuatu yang tidak beliau sukai dari kaumnya, beliau menjumpai Khadijah radhiyallahu`anha. Lalu Khadijah pun menguatkan hati beliau, meringankan beban yang beliau rasakan dari manusia.
Tak hanya itu kebaikan Khadijah radhiyallahu`anha. Dia berikan apa yang dimiliki kepada suami yang dicintainya. Bahkan ketika Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam menampakkan rasa senangnya pada Zaid bin Haritsah, budak yang berada di bawah kepemilikannya, Khadijah pun menghibahkan budak itu kepada suaminya. Inilah yang mengantarkan Zaid memperoleh kemuliaan menjadi salah satu orang yang terdahulu beriman.
Dialah Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu`anha. Kemuliaan itu telah diraihnya semenjak ia masih ada di muka dunia. Tatkala Jibril `Alaihis Salam datang kepada Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, ini dia Khadijah. Dia akan datang membawa bejana berisi makanan atau minuman. Bila ia datang padamu, sampaikanlah salam padanya dari Rabbnya dan dariku, dan sampaikan pula kabar gembira tentang rumah di dalam surga dari mutiara yang berlubang, yang tak ada keributan di dalamnya, dan tidak pula keletihan.”
Tiba pungkasnya masa Khadijah radhiyallahu`anha mendampingi suaminya yang mulia. Khadijah radhiyallahu`anha kembali kepada Rabbnya `Azza wa Jalla, tak lama berselang setelah meninggalnya Abu Thalib, paman Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam. Tahun itu menjadi tahun berduka bagi Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam. Kaum musyrikin pun semakin berani mengganggu beliau sampai akhirnya Allah perintahkan beliau untuk meninggalkan Makkah menuju negeri hijrah, Madinah, tiga tahun setelah itu.
Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu`anha. Kemuliaannya, kebaikannya dan kesetiaannya senantiasa dikenang oleh Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam hingga merebaklah kecemburuan ‘Aisyah radhiyallahu`anha, “Bukankah dia itu hanya seorang wanita tua yang Allah telah mengganti bagimu dengan yang lebih baik darinya?” Perkataan itu membuat Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam marah, “Tidak, demi Allah. Tidaklah Allah mengganti dengan seseorang yang lebih baik darinya. Dia beriman ketika manusia mengkufuriku, dia membenarkan aku ketika manusia mendustakanku, dia memberikan hartanya padaku saat manusia menahan hartanya dariku, dan Allah memberikan aku anak darinya yang tidak diberikan dari selainnya.”
Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu`anha. Kemuliaan itu telah dijanjikan melalui lisan mulia Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam, “Wanita ahli surga yang paling utama adalah Khadijah bintu Khuwailid, Fathimah bintu Muhammad Shallallahu `alaihi Wasalam, Maryam bintu ‘Imran, dan Asiyah bintu Muzahim istri Fir’aun.” Semoga Allah meridhainya.
Wallahu ta`ala a’lamu bish-shawab.
(Hadiah untuk putriku tersayang, Khadijah bintu Abi Ishaq, untuk suamiku tercinta dan untuk istri-istri suamiku yang mulia)
(Disusun oleh Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran)
DAFTAR PUSTAKA:
Al-Ishabah, Al-Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani
Mukhtashar Sirah ar-Rasul, Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab
Shahih Al-Bukhari, Al-Imam Al-Bukhari
Shahih As-Sirah An-Nabawiyah, Asy-Syaikh Ibrahim Al-‘Aly
Siyar A’lamin Nubala’, Al-Imam Adz-Dzahabi
Wanita Ahli Surga dan Ciri-Cirinya
Penulis : Ustadz Azhari Asri dan Redaksi.
Setiap insan tentunya mendambakan kenikmatan yang paling tinggi dan abadi. Kenikmatan itu adalah Surga. Di dalamnya terdapat bejana-bejana dari emas dan perak, istana yang megah dengan dihiasi beragam permata, dan berbagai macam kenikmatan lainnya yang tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terbetik di hati.
Dalam Al Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan kenikmatan-kenikmatan Surga. Diantaranya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“(Apakah) perumpamaan (penghuni) Surga yang dijanjikan kepada orang-orang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (QS. Muhammad : 15)
“Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk Surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam Surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda dengan membawa gelas, cerek, dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (QS. Al Waqiah : 10-21)
Di samping mendapatkan kenikmatan-kenikmatan tersebut, orang-orang yang beriman kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala kelak akan mendapatkan pendamping (istri) dari bidadari-bidadari Surga nan rupawan yang banyak dikisahkan dalam ayat-ayat Al Qur’an yang mulia, diantaranya :
“Dan (di dalam Surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik.” (QS. Al Waqiah : 22-23)
“Dan di dalam Surga-Surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan, menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni Surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (QS. Ar Rahman : 56)
“Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.” (QS. Ar Rahman : 58)
“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al Waqiah : 35-37)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menggambarkan keutamaan-keutamaan wanita penduduk Surga dalam sabda beliau :
“ … seandainya salah seorang wanita penduduk Surga menengok penduduk bumi niscaya dia akan menyinari antara keduanya (penduduk Surga dan penduduk bumi) dan akan memenuhinya bau wangi-wangian. Dan setengah dari kerudung wanita Surga yang ada di kepalanya itu lebih baik daripada dunia dan isinya.” (HR. Bukhari dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu)
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
Sesungguhnya istri-istri penduduk Surga akan memanggil suami-suami mereka dengan suara yang merdu yang tidak pernah didengarkan oleh seorangpun. Diantara yang didendangkan oleh mereka : “Kami adalah wanita-wanita pilihan yang terbaik. Istri-istri kaum yang termulia. Mereka memandang dengan mata yang menyejukkan.” Dan mereka juga mendendangkan : “Kami adalah wanita-wanita yang kekal, tidak akan mati. Kami adalah wanita-wanita yang aman, tidak akan takut. Kami adalah wanita-wanita yang tinggal, tidak akan pergi.” (Shahih Al Jami’ nomor 1557)
Apakah Ciri-Ciri Wanita Surga
Apakah hanya orang-orang beriman dari kalangan laki-laki dan bidadari-bidadari saja yang menjadi penduduk Surga? Bagaimana dengan istri-istri kaum Mukminin di dunia, wanita-wanita penduduk bumi?
Istri-istri kaum Mukminin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tersebut akan tetap menjadi pendamping suaminya kelak di Surga dan akan memperoleh kenikmatan yang sama dengan yang diperoleh penduduk Surga lainnya, tentunya sesuai dengan amalnya selama di dunia.
Tentunya setiap wanita Muslimah ingin menjadi ahli Surga. Pada hakikatnya wanita ahli Surga adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Seluruh ciri-cirinya merupakan cerminan ketaatan yang dia miliki. Diantara ciri-ciri wanita ahli Surga adalah :
1. Bertakwa.
2. Beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.
3. Bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan naik haji bagi yang mampu.
4. Ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah, jika dia tidak dapat melihat Allah, dia mengetahui bahwa Allah melihat dirinya.
5. Ikhlas beribadah semata-mata kepada Allah, tawakkal kepada Allah, mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut terhadap adzab Allah, mengharap rahmat Allah, bertaubat kepada-Nya, dan bersabar atas segala takdir-takdir Allah serta mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan kepadanya.
6. Gemar membaca Al Qur’an dan berusaha memahaminya, berdzikir mengingat Allah ketika sendiri atau bersama banyak orang dan berdoa kepada Allah semata.
7. Menghidupkan amar ma’ruf dan nahi mungkar pada keluarga dan masyarakat.
8. Berbuat baik (ihsan) kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan seluruh makhluk, serta berbuat baik terhadap hewan ternak yang dia miliki.
9. Menyambung tali persaudaraan terhadap orang yang memutuskannya, memberi kepada orang, menahan pemberian kepada dirinya, dan memaafkan orang yang mendhaliminya.
10. Berinfak, baik ketika lapang maupun dalam keadaan sempit, menahan amarah dan memaafkan manusia.
11. Adil dalam segala perkara dan bersikap adil terhadap seluruh makhluk.12. Menjaga lisannya dari perkataan dusta, saksi palsu dan menceritakan kejelekan orang lain (ghibah).
13. Menepati janji dan amanah yang diberikan kepadanya.
14. Berbakti kepada kedua orang tua.
15. Menyambung silaturahmi dengan karib kerabatnya, sahabat terdekat dan terjauh.
Demikian beberapa ciri-ciri wanita Ahli Surga yang kami sadur dari kitab Majmu’ Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah juz 11 halaman 422-423. Ciri-ciri tersebut bukan merupakan suatu batasan tetapi ciri-ciri wanita Ahli Surga seluruhnya masuk dalam kerangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman :
“ … dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisa’ : 13).
Wallahu A’lam Bis Shawab.
(Dikutip dari tulisan al ustadz Azhari Asri, judul asli Wanita Ahli Surga Dan Ciri-Cirinya. MUSLIMAH XVII/1418/1997/Kajian Kali Ini)
[Sumber: Salafy.or.id Offline]
Berbakti pada Kedua Orang Tua
Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf.
Makna “Al Birr”
Al Birr yaitu kebaikan, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam (artinya) :
“Al Birr adalah baiknya akhlaq”. (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya Nomor 1794).
Al Birr merupakan haq kedua orang tua dan kerabat dekat, lawan dari Al ‘Uquuq yaitu kejelekan dan menyia-nyiakan haq..
“Al Birr adalah mentaati kedua orang tua didalam semua apa yang mereka perintahkan kepada engkau, selama tidak bermaksiat kepada Allah, dan Al ‘Uquuq dan menjauhi mereka dan tidak berbuat baik kepadanya.” (Disebutkan dalam kitab Ad Durul Mantsur 5/259)
Berkata Urwah bin Zubair mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua tentang firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya) :
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan.” (QS. Al Isra’ : 24)
Yaitu: “Jangan sampai mereka berdua tidak ditaati sedikitpun”. (Ad Darul Mantsur 5/259)
Berkata Imam Al Qurtubi mudah-mudahan Allah merahmatinya :
“Termasuk ‘Uquuq (durhaka) kepada orang tua adalah menyelisihi/ menentang keinginan-keinginan mereka dari (perkara-perkara) yang mubah, sebagaimana Al Birr (berbakti) kepada keduanya adalah memenuhi apa yang menjadi keinginan mereka. Oleh karena itu, apabila salah satu atau keduanya memerintahkan sesuatu, wajib engkau mentaatinya selama hal itu bukan perkara maksiat, walaupun apa yang mereka perintahkan bukan perkara wajib tapi mubah pada asalnya, demikian pula apabila apa yang mereka perintahkan adalah perkara yang mandub (disukai/ disunnahkan).
(Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an Jil 6 hal 238).
Berkata Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah mudah-mudahan Allah merahmatinya:
Berkata Abu Bakr di dalam kitab Zaadul Musaafir “Barangsiapa yang menyebabkan kedua orang tuanya marah dan menangis, maka dia harus mengembalikan keduanya agar dia bisa tertawa (senang) kembali”. (Ghadzaul Al Baab 1/382).
Hukum Birrul Walidain
Para Ulama’ Islam sepakat bahwa hukum berbuat baik (berbakti) pada kedua orang tua hukumnya adalah wajib, hanya saja mereka berselisih tentang ibarat-ibarat (contoh pengamalan) nya.
Berkata Ibnu Hazm, mudah-mudahan Allah merahmatinya.
“Birul Walidain adalah fardhu (wajib bagi masing-masing individu). Berkat beliau dalam kitab Al Adabul Kubra: Berkata Al Qodli Iyyad: “Birrul walidain adalah wajib pada selain perkara yang haram.” (Ghdzaul Al Baab 1/382)
Dalil-dalil Shahih dan Sharih (jelas) yang mereka gunakan banyak sekali, diantaranya:
1. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya) :
“Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua Ibu Bapak”.
(An Nisa’ : 36).
Dalam ayat ini (berbuat baik kepada Ibu Bapak) merupakan perintah, dan perintah disini menunjukkan kewajiban, khususnya, karena terletak setelah perintah untuk beribadah dan meng-Esa-kan (tidak mempersekutukan) Allah, serta tidak didapatinya perubahan (kalimat dalam ayat tersebut) dari perintah ini. (Al Adaabusy Syar’iyyah 1/434).
2. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya) :
“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya”.
(QS. Al Isra’: 23).
Adapun makna ( qadhoo ) = Berkata Ibnu Katsir : yakni, mewasiatkan. Berkata Al Qurthubiy : yakni, memerintahkan, menetapkan dan mewajibkan. Berkata Asy Syaukaniy: “Allah memerintahkan untuk berbuat baik pada kedua orang tua seiring dengan perintah untuk mentauhidkan dan beribadah kepada-Nya, ini pemberitahuan tentang betapa besar haq mereka berdua, sedangkan membantu urusan-urusan (pekerjaan) mereka, maka ini adalah perkara yang tidak bersembunyi lagi (perintahnya). (Fathul Qodiir 3/218).
3. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya) :
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang Ibu Bapanya, Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang Ibu Bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu.” (QS. Luqman : 14).
Berkata Ibnu Abbas mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua “Tiga ayat dalam Al Qur’an yang saling berkaitan dimana tidak diterima salah satu tanpa yang lainnya, kemudian Allah menyebutkan diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya) :
“Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang Ibu Bapakmu”, Berkata beliau. “Maka, barangsiapa yang bersyukur kepada Allah akan tetapi dia tidak bersyukur pada kedua Ibu Bapaknya, tidak akan diterima (rasa syukurnya) dengan sebab itu.”
(Al Kabaair milik Imam Adz Dzahabi hal 40).
Berkaitan dengan ini, Rasulullah Shalallahu’Alaihi Wassallam bersabda (artinya) :
“Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Rabb (Allah) ada pada kemurkaan orang tua” (Riwayat Tirmidzi dalam Jami’nya (1/ 346), Hadits ini Shohih, lihat Silsilah Al Hadits Ash Shahiihah No. 516).
4. Hadits Al Mughirah bin Syu’bah – mudah-mudahan Allah meridhainya, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam beliau bersabda(artinya) :
“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian mendurhakai para Ibu, mengubur hidup-hidup anak perempuan, dan tidak mau memberi tetapi meminta-minta (bakhil) dan Allah membenci atas kalian (mengatakan) katanya si fulan begini si fulan berkata begitu (tanpa diteliti terlebih dahulu), banyak bertanya (yang tidak bermanfaat), dan membuang-buang harta”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1757).
Keutamaan Birrul Walidain
Pertama : Termasuk Amalan Yang Paling Mulia
Dari Abdullah bin Mas’ud mudah-mudahan Allah meridhoinya dia berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: Apakah amalan yang paling dicintai oleh Allah?, Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: “Sholat tepat pada waktunya”, Saya bertanya : Kemudian apa lagi?, Bersabada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam “Berbuat baik kepada kedua orang tua”. Saya bertanya lagi : Lalu apa lagi?, Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Berjihad di jalan Allah”.
(Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya).
Kedua : Merupakan Salah Satu Sebab-Sebab Diampuninya Dosa
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (artinya) :
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya….”, hingga akhir ayat berikutnya : “Mereka itulah orang-orang yang kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga. Sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.”
(QS. Al Ahqaf 15-16)
Diriwayatkan oleh ibnu Umar mudah-mudahan Allah meridhoi keduanya bahwasannya seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya telah menimpa kepadaku dosa yang besar, apakah masih ada pintu taubat bagi saya?, Maka bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : “Apakah Ibumu masih hidup?”, berkata dia : tidak. Bersabda beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : “Kalau bibimu masih ada?”, dia berkata : “Ya” . Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : “Berbuat baiklah padanya”.
(Diriwayatkan oleh Tirmidzi didalam Jami’nya dan berkata Al ‘Arnauth : Perawi-perawinya tsiqoh. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim. Lihat Jaami’ul Ushul (1/ 406).
Ketiga : Termasuk Sebab Masuknya Seseorang Ke Surga :
Dari Abu Hurairah, mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata : Saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Celakalah dia, celakalah dia”, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya : Siapa wahai Rasulullah?, Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : “Orang yang menjumpai salah satu atau kedua orang tuanya dalam usia lanjut kemudian dia tidak masuk surga”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1758, ringkasan).
Dari Mu’awiyah bin Jaahimah mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua, Bahwasannya Jaahimah datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian berkata : “Wahai Rasulullah, saya ingin (berangkat) untuk berperang, dan saya datang (ke sini) untuk minta nasehat pada anda. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Apakah kamu masih memiliki Ibu?”. Berkata dia : “Ya”. Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : “Tetaplah dengannya karena sesungguhnya surga itu dibawah telapak kakinya”. (Hadits Hasan diriwayatkan oleh Nasa’i dalam Sunannya dan Ahmad dalam Musnadnya, Hadits ini Shohih. (Lihat Shahihul Jaami No. 1248)
Keempat : Merupakan Sebab keridhoan Allah
Sebagaiman hadits yang terdahulu
“Keridhoan Allah ada pada keridhoan kedua orang tua dan kemurkaan-Nya ada pada kemurkaan kedua orang tua”.
Kelima : Merupakan Sebab Bertambahnya Umur
Diantarnya hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Barangsiapa yang suka Allah besarkan rizkinya dan Allah panjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung silaturrahim”.
Keenam : Merupakan Sebab Barokahnya Rizki
Dalilnya, sebagaimana hadits sebelumnya.
Wallahu a’lam
[Sumber: Salafy.or.id CHM Offline]
Obat Penyakit Takabbur Dan Tips Meraih Tawadhu’
Oleh: Al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah
Tidak diragukan, bahwa kewajiban atas setiap muslim adalah waspada dari takabbur/sombong dan bersikap tawadhu’. ‹‹ Barangsiapa yang bertawadhu’ karena Allah satu derajat, maka akan Allah angkat dia satu derajat ›› [1] dan barangsiapa yang takabbur (sombong) maka dia terancam untuk Allah timpakan musibah/hukuman atasnya — nas`alullah al-‘afiyah – .
Seseorang bertanya : “Wahai Rasulullah, aku suka jika bajuku bagus, sandalku juga bagus, apakah itu termasuk sombong?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
« إن الله جميل يحب الجمال، الكبر بطر الحق وغمط الناس »
‹‹ Sesungguhnya Allah itu indah, cinta kepada keindahan. Sombong adalah menolak al-haq (kebenaran) dan melecehkan manusia. ›› [2]
Batharul Haq yakni menolak al-haq (kebenaran). Apabila kebenaran bertentangan dengan hawa nafsunya maka ia menolaknya.
Ghamthun Nas, yakni merendahkan manusia. Orang lain dalam pandangannya selalu berada di bawahnya. Ia merendahkan mereka. Ia melihat dirinya selalu berada di atas mereka. Bisa jadi karena kefasasihannya berbicara, atau karena kekayaannya, atau karena jabatannya, atau karena sebab-sebab lainya yang ia khayalkan. Dan bisa jadi dilakukan oleh orang yang fakir. Dalam hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
« ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا يزكيهم ولا ينظر إليهم ولهم عذاب أليم: شيخ زان، وملك كذاب، وعائل مستكبر. »
‹‹ Tiga golongan yang Allah tidak akan berbicara dengannya kelak pada Hari Kiamat, tidak membersihkan mereka, dan tidak melihat kepada mereka, serta bagi mereka adzab yang pedih : seorang tua yang berzina, penguasa yang pendusta, orang miskin yang sombong. ›› [3]
Yakni orang miskin, dengan kemiskinannya dia sombong, dia mendapat musibah kesombongan. Sombong itu biasanya dilakukan oleh orang berharta dan kaya, namun dalam kondisinya yang miskin tersebut dia masih bersikap sombong. Sombong merupakan watak dan karakternya.
Adapun Tawadhu’ adalah sikap lembut, akhlak yang baik, dan tidak merasa tinggi di hadapan manusia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
« إن من أحبكم إلي وأقربكم مني مجلسا يوم القيامة أحاسنكم أخلاقا »
‹‹ Sesungguhnya di antara orang yang paling aku cintai dan paling dekat majelisnya denganku pada Hari Kiamat adalah orang yang terbaik akhlaknya di antara kalian. ›› [4]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
« البر حسن الخلق »
‹‹ Kebaikan adalah akhlaq yang baik ›› [5]
Maka hendaknya ingat keagungan Allah, dan ingat bahwa Allah lah yang memberinya harta, memberinya jabatan, memberinya kedudukan, dan wajah yang tampan, atau selain itu. Hendaknya ingat bahwa barangsiapa yang mensyukuri sikap tawadhu’ tersebut dan tidak sombong … dia tidak sombong karena harta, atau karena jabatan, atau karena nasab, ketampanan, kekuatan, atau pun yang lainnya. .. bahkan ia ingat bahwa itu semua merupakan nikmat Allah dan barangsiapa yang mensyukurinya maka ia akan bersikap tawadhu, merendahkan dirinya sendiri, dan tidak akan sombong terhadap saudara-saudadaranya serta tidak akan merasa tinggi di hadapan mereka.
Takabbur/sombong mengantarkan kepada kezhaliman, kedustaan, tidak adil dalam ucapan dan perbuatan. Melihat dirinya berada di atas saudaranya, baik karena harta, ketampanan, jabatan, nasab, atau pun hal-hal yang masih abstrak sifatnya. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan ‹‹ Sombong adalah menolak al-haq (kebenaran) dan melecehkan manusia. ›› yakni menolak al-haq apabila bertentangan dengan hawa nafsunya ini adalah takabbur/sombong. Dan melecehkan manusia : merendahkan mereka, melihat mereka selalu berada di bawahnya, dan bahwa mereka tidak pantas untuk disikapi dengan adil, atau memulai salam terhadap mereka, atau dipenuhi undangan mereka, dan yang semisalnya.
Apabila seseorang mengingat kelemahan dirinya, dan bahwa dirinya berasal dari air mani yang hina, dirinya butuh kamar mandi untuk buang hajat, dirinya makan dari sini, keluar dari sini, serta dirinya jika tidak istiqamah di atas ketaatan kepada Allah maka dia akan masuk neraka, jika dia menyadari itu semua maka dia akan tahu kelemahan dirinya, dan bahwa dirinya adalah miskin, dan tidak pantas baginya untuk bersikap takabbur/sombong.
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah IX/267-268)
[1] HR. Ibnu Majah 4176, Ibnu Hibban 5678, dan Ahmad.
[2] HR. Muslim 131.
[3] HR. Muslim 136
[4] HR. At-Tirmidzi 1941
[5] HR. Muslim 4632
http://www.assalafy.org
Bolehkah seseorang masuk dalam mesjid
Dari Ibnu Umar -radhiallahu ‘anhuma-, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ يَعْنِي الثُّومَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا
“Barangsiapa memakan dari pohon ini, yaitu bawang putih, maka jangan sekali-kali dia mendekati masjid kami.” (HR. Al-Bukhari no. 339 dan Muslim no. 561)
Dari Jabir bin Abdullah t dari Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bahwa beliau bersabda:
مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الْبَقْلَةِ الثُّومِ و قَالَ مَرَّةً مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ
“Barangsiapa yang makan sayur bawang putih ini, -dan pada kesempatan lain beliau bersabda, “Barangsiapa makan bawang merah dan putih serta bawang bakung,”- maka janganlah dia mendekati masjid kami, karena malaikat merasa terganggu dari bau yang juga manusia merasa terganggu (disebabkan baunya).” (HR. Muslim no. 564)
Dari Aisyah -radhillahu anha- dia berkata:
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبِنَاءِ الْمَسَاجِدِ فِي الدُّورِ وَأَنْ تُنَظَّفَ وَتُطَيَّبَ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk membangun masjid di tempat yang banyak rumahnya (pemukiman), dan juga memerintahkan untuk membersihkan serta memberikan wewangian padanya.” (HR. Abu Daud no. 455 , AT-Tirmizi no. 542, Ibnu Majah no. 751, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Misykah Al-Mashabih no. 717)
Dari Ibnu Abbas -radhiallahu ‘anhuma- dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَا أُمِرْتُ بِتَشْيِيدِ الْمَسَاجِدِ
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: لَتُزَخْرِفُنَّهَا كَمَا زَخْرَفَتْ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى
“Saya tidaklah diperintahkan untuk meninggikan masjid-masjid.”
Ibnu Abbas berkata, “Sungguh kalian akan meninggikan masjid-masjid sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani meninggikan (tempat ibadah mereka).” (HR. Abu Daud no. 448 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Misykah no. 718)
Penjelasan ringkas:
Masjid adalah tempat yang baik dan juga tempatnya orang-orang yang baik, karenanya dia sepatutnya disucikan dari bau-bau yang busuk dan sebaliknya senantiasa diwangikan dengan bau-bau yang harum. Hal ini jauh lebih utama dan lebih penting daripada menghias-hiasi dan meninggikan masjid tersebut, karena kedua amalan ini bukanlah tuntunan Nabi -alaihishshalatu wassalam-.
Maka hadits ini tegas menunjukkan larangan masuk masjid kepada siapa saja yang membawa bau busuk, baik pada badannya maupun pada mulutnya. Sebabnya karena para malaikat akan merasa terganggu karenanya sebagaimana manusia juga terganggu karenanya. Karenanya barangsiapa yang badannya berbau tidak sedap, maka hendaknya dia mandi terlebih dahulu atau minimal memakai wangi-wangian yang bisa menghilangkan bau badannya sebelum dia mendatangi masjid. Demikian pula orang yang mulutnya bau karena memakan bawang-bawangan yang mentah (bukan yang sudah dimasak/digoreng) atau habis minum miras atau habis menghisap rokok dan semacamnya yang menyebabkan mulutnya berbau tidak sedap, maka hendaknya dia menghilangkan dulu bau mulutnya sebelum ke masjid. Jika tidak maka dia telah terjatuh ke dalam larangan Nabi -alaihishshalatu wassalam- yang tersebut dalam hadits Ibnu Umar dan Jabir di atas.
Sebaliknya Islam menuntunkan agar masjid senantiasa dibersihkan dari semua hal-hal yang bisa menganggu kekhusyuan ibadah dan mewangikan masjid dengan pengharum ruangan atau dengan membakar bukhur (kayu yang asapnya wangi).
Menjaga kekhusyuan orang yang beribadah inilah yang menjadi inti dari dibangunnya masjid, karenanya termasuk melampaui batas dan mubazzir tatkala masjid dibangun atau dihiasi atau direnovasi bukan untuk tujuan ini. Sungguh Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah menyatakan terlarangnya meninggikan masjid karena hal itu merupakan perbuatan orang-orang kafir. Yang dimaksud dengan meninggikan masjid di sini bukanlah membangunnya dalam 2 lantai atau lebih, karena hal ini terkadang dibutuhkan untuk menampung jamaah. Akan tetapi yang dimaksud dalam larangan ini adalah meninggikan atap masjid tanpa keperluan, sebagaimana tingginya atap-atap gereja. Juga termasuk dalam larangan ini adalah menghias-hiasi masjid dengan perkara yang tidak bermanfaat bahkan cenderung mengganggu orang yang shalat, misalnya dengan menuliskan kaligrafi pada dinding atau meletakkan tegel yang bercorak di depan atau di bawah (pada sajadah) orang yang shalat, yang bisa mengganggu kekhusyuan orang yang shalat. Dan demikian seterusnya.
Di antara hukum yang berkenaan dengan masjid adalah, hendaknya kaum muslimin membangun satu masjid untuk tiap pemukiman. Yang mana ini bertujuan untuk lebih menghidupkan pemukiman tersebut dengan syiar islam dan untuk mempermudah kaum muslimin dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Dan hendaknya mereka jangan membangun dua atau lebih masjid di dalam satu pemukiman kecuali dengan adanya izin pemerintah serta mempunyai alasan syar’i dalam pembangunannya. Karena sungguh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya mencela pembangunan masjid yang bertujuan hanya untuk menandingi masjid lainya, dan juga karena hal itu akan menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslimin dan mempersedikit jumlah jamaah pada masjid yang pertama.
Sumber: http://al-atsariyyah.com/?p=1912
Prinsip-prinsip penting dalam masalah jihad
Meluruskan pemahaman tentang makna jihad adalah suatu keharusan pada masa ini, dimana berbagai kejadian yang melanda manusia, baik itu aksi-aksi peledakan, penculikan, pembajakan, kekerasan dan sebagainya, oleh para pelakunya dinamakan “Jihad” atau ditampilkan kepada publik dengan lebel jihad. Di versi lain, sejumlah manusia, ada yang menganggap hal tersebut sebagai perbuatan yang sama sekali tidak bersumber dari aturan jihad dalam syari’at.
Maka melalui goresan pena ini, kami berusaha mengetengahkan kepada para pembaca yang budiman secara ringkas masalah jihad yang kerap dipahami tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam syariat Islam. Mudah-mudahan bermanfaat bagi segenap kaum muslimin dan muslimat dalam meredam berbagai kesalahan persepsi dalam masalah ini. Amiin. Yaa.. Mujibas-Sa-ilin.
Sebelum menguraikan beberapa prinsip penting yang berkaitan dengan jihad, ada baiknya kalau kita menyimak definisi jihad dalam keterangan berikut ini,
Definisi Jihad
Jihad secara etimologi adalah kepayahan, kesulitan, atau mencurahkan segala daya dan upaya. Yaitu mencurahkan segala upaya dan kemampuan untuk mendapat suatu perkara yang berat lagi sulit.
Berkata Ar-Raghib Al-Ashbahâny (w. 502 H) rahimahulläh menerangkan hakikat jihad, “(Jihad) adalah bersungguh-sungguh dan mengerahkan seluruh kemampuan dalam melawan musuh dengan tangan, lisan, atau apa saja yang ia mampu. Dan (jihad) itu adalah tiga perkara; berjihad melawan musuh yang nampak, syaithan dan diri sendiri. Dan ketiganya (tercakup) dalam firman (Allah) Ta’âlâ,
“Dan berjihadlah kalian pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj : 78)” [1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulläh berkata, “Jihad kadang dengan hati seperti berniat dengan sungguh-sungguh untuk melakukannya, atau dengan berdakwah kepada Islam dan syari’atnya, atau dengan menegakkan hujjah (argumen) terhadap penganut kebatilan, atau dengan ideologi dan strategi yang berguna bagi kaum muslimin, atau berperang dengan diri sendiri. Maka jihad wajib sesuai dengan apa yang memungkinkannya.” [2]
Adapun secara terminologi, Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâh mengatakan, “Mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir.” [3]
Dalam Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, disebutkan kesimpulan para ahli fiqih bahwa jihad secara istilah adalah muslim memerangi kafir yang tidak dalam perjanjian damai, setelah didakwahi dan diajak kepada Islam, guna meninggikan kalimat Allah.
Al-Hâfizh Ibnu Hajar menjelaskan, “Awal disyariatkannya jihad adalah setelah hijrahnya Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam ke Madinah menurut kesepakatan para ulama.” [4]
Dan tidak ada silang pendapat di kalangan para ulama tentang disyari’atkannya jihad fi sabîlillâh. Al-Qur`ân dan As-Sunnah penuh dengan nash-nash yang menunjukkan syari’at jihad, anjuran dan keutamaannya.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur`ân. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah : 111)
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Rabb mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhaan dan syurga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.” (QS. At-Taubah : 20-22)
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kalian Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kalian dari azab yang pedih? (yaitu) kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian. Itulah yang lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kalian) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kalian sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Ash-Shoff : 10-14)
Dan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
لَغُدْوَةٌ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ أَوْ رَوْحَةٌ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
“Sesungguhnya keluar di pagi hari (berjihad) di jalan Allah atau petang hari adalah lebih baik daripada dunia dan seisinya.” [5]
Dan nash-nash dalam hal ini sangat banyak. Dan disini kami hanya mengisyaratkan akan keutamaan ibadah yang sangat agung ini. Wallâhul Musta’ân.
[1] Dengan perantara Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah pada pembahasan جهاد.
[2] Ibid.
[3] Lihat Fathul Bâri 6/5, Hâsyiyah Ar-Raudh Al-Murbi’ 4/253 dan Nailul Authâr 7/246.
[4] Lihat Fathul Bâri 6/4-5 dan Nailul Authâr 7/246-247.
[5] Hadits Anas bin Mâlik radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhary no. 2792, 2796, 6568, Muslim no. 1880, At-Tirmidzy no. 1655 dan Ibnu Mâjah no. 2757. Dan semakna dengannya hadits Sahl bin Sa’ad As-Sâ’idy radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry no. 2794, 2892, 3250, 6415, Muslim no. 1881, At-Tirmidzy no. 1652, 1668, An-Nasâ`i 6/15 dan Ibnu Mâjah no. 2756. Dan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry no. 2793, 3253, Muslim no. 1882 dan Ibnu Mâjah no. 2755. Serta hadits Abu Ayyûb Al-Anshôri radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim no. 1883 dan An-Nasâ`i 6/15. Dan hadits ini digolongkan mutawâtir oleh Al-Kattâni dalam Nazhmul Mutanâtsir Min Al-Ahâdîts Al-Mutawâtir hal. 153.