8/08/2009

Mengungkap Mengapa Harus Bermanhaj Salaf ?

Assalamualaikum wr.wb..
salam sejahtera..buat Temen2,Sahabat,Ikhwan2,Akhwat2..dalam kesempatan ini saya mau menjelas kan mengapa harus bermanhaj salaf..?
lanjut bacanya kebawah iya..?

Orang-orang yang hidup pada zaman Nabi adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka telah mendapat pujian langsung dari Allah dan Rasul-Nya sebagai sebaik-baik manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling paham agama dan paling baik amalannya sehingga kepada merekalah kita harus merujuk.

Manhaj Salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat merupakan gabungan dari dua kata; manhaj dan salaf. Manhaj dalam bahasa Arab sama dengan minhaj, yang bermakna: Sebuah jalan yang terang lagi mudah. (Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al Mu’jamul Wasith 2/957).

Sedangkan salaf, menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Siapa saja yang telah mendahuluimu dari nenek moyang dan karib kerabat, yang mereka itu di atasmu dalam hal usia dan keutamaan. (Lisanul Arab, karya Ibnu Mandhur 7/234). Dan dalam terminologi syariat bermakna: Para imam terdahulu yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in (murid-murid shahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid-murid tabi’in). (Lihat Manhajul Imam As Syafi’i fii Itsbatil ‘Aqidah, karya Asy Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil, 1/55).

Berdasarkan definisi di atas, maka manhaj salaf adalah: Suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dienul Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut dengan Salafy atau As Salafy, jamaknya Salafiyyun atau As Salafiyyun. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “As Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” (Siyar A’lamin Nubala 6/21).

Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf (Salafiyyun) biasa disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dikarenakan berpegang teguh dengan Al Quran dan As Sunnah dan bersatu di atasnya. Disebut pula dengan Ahlul Hadits wal Atsar dikarenakan berpegang teguh dengan hadits dan atsar di saat orang-orang banyak mengedepankan akal. Disebut juga Al Firqatun Najiyyah, yaitu golongan yang Allah selamatkan dari neraka (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash), disebut juga Ath Thaifah Al Manshurah, kelompok yang senantiasa ditolong dan dimenangkan oleh Allah (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Tsauban). (Untuk lebih rincinya lihat kitab Ahlul Hadits Humuth Thaifatul Manshurah An Najiyyah, karya Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al Madkhali).

Manhaj salaf dan Salafiyyun tidaklah dibatasi (terkungkung) oleh organisasi tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu, partai tertentu, dan sebagainya. Bahkan manhaj salaf mengajarkan kepada kita bahwa ikatan persaudaraan itu dibangun di atas Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan pemahaman Salafush Shalih. Siapa pun yang berpegang teguh dengannya maka ia saudara kita, walaupun berada di belahan bumi yang lain. Suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan manhaj salaf, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.

Manhaj salaf merupakan manhaj yang harus diikuti dan dipegang erat-erat oleh setiap muslim di dalam memahami agamanya. Mengapa? Karena demikianlah yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al Quran dan demikian pula yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam Sunnahnya. Sedang kan Allah telah berwasiat kepada kita: “Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’: 59)

Adapun ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan agar kita benar-benar mengikuti manhaj salaf adalah sebagai berikut: 1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : “Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” (Al Fatihah: 6-7)

Al Imam Ibnul Qayyim berkata: “Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya…, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah.” (Madaarijus Saalikin, 1/72).

Penjelasan Al Imam Ibnul Qayyim tentang ayat di atas menunjukkan bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang mereka itu adalah Salafush Shalih, merupakan orang-orang yang lebih berhak menyandang gelar “orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah” dan “orang-orang yang berada di atas jalan yang lurus”, dikarenakan betapa dalamnya pengetahuan mereka tentang kebenaran dan betapa konsistennya mereka dalam mengikutinya. Gelar ini menunjukkan bahwa manhaj yang mereka tempuh dalam memahami dienul Islam ini adalah manhaj yang benar dan di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak mereka, berarti telah menempuh manhaj yang benar, dan berada di atas jalan yang lurus pula.

2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam,, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’: 115)

Al Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi berkata: “Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin disini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan generasi pertama dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih. Mereka telah menanyakan segala apa yang tidak dipahami (darinya) dengan sebaik-baik pertanyaan, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun telah menjawabnya dengan jawaban terbaik. Beliau terangkan dengan keterangan yang sempurna. Dan mereka pun mendengarkan (jawaban dan keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut), memahaminya, mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, menghafalkannya, dan menyampaikannya dengan penuh kejujuran. Mereka benar-benar mempunyai keutamaan yang agung atas kita. Yang mana melalui merekalah hubungan kita bisa tersambungkan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, juga dengan Allah Ta'ala.’” (Al Marqat fii Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).

Setelah kita mengetahui bahwa orang-orang mukmin dalam ayat ini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (As Salaf), dan juga keterkaitan yang erat antara menentang Rasul dengan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, maka dapatlah disimpulkan bahwa mau tidak mau kita harus mengikuti “manhaj salaf”, jalannya para sahabat.

Sebab bila kita menempuh selain jalan mereka di dalam memahami dienul Islam ini, berarti kita telah menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan akibatnya sungguh mengerikan… akan dibiarkan leluasa bergelimang dalam kesesatan… dan kesudahannya masuk ke dalam neraka Jahannam, seburuk-buruk tempat kembali… na’udzu billahi min dzaalik.

3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung.” (At-Taubah: 100).

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengkhususkan ridha dan jaminan jannah (surga)-Nya untuk para sahabat Muhajirin dan Anshar (As Salaf) semata, akan tetapi orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pun mendapatkan ridha Allah dan jaminan surga seperti mereka.

Al Hafidh Ibnu Katsir berkata: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkhabarkan tentang keridhaan-Nya kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, dan ia juga mengkhabarkan tentang ketulusan ridha mereka kepada Allah, serta apa yang telah Ia sediakan untuk mereka dari jannah-jannah (surga-surga) yang penuh dengan kenikmatan, dan kenikmatan yang abadi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/367). Ini menunjukkan bahwa mengikuti manhaj salaf akan mengantarkan kepada ridha Allah dan jannah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا ءَامَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ Artinya : "Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu)." [QS Al Baqoroh: 137]

Adapun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah sebagai berikut: 1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari sahabat Al ‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455). Dalam hadits ini dengan tegas dinyatakan bahwa kita akan menyaksikan perselisihan yang begitu banyak di dalam memahami dienul Islam, dan jalan satu-satunya yang mengantarkan kepada keselamatan ialah dengan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin (Salafush Shalih). Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan agar kita senantiasa berpegang teguh dengannya. Al Imam Asy Syathibi berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam -sebagaimana yang engkau saksikan- telah mengiringkan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan sunnah beliau, dan bahwasanya di antara konsekuensi mengikuti sunnah beliau adalah mengikuti sunnah mereka…, yang demikian itu dikarenakan apa yang mereka sunnahkan benar-benar mengikuti sunnah nabi mereka  atau mengikuti apa yang mereka pahami dari sunnah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, baik secara global maupun secara rinci, yang tidak diketahui oleh selain mereka.”(Al I’tisham, 1/118).

2. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, lafadz hadits ini adalah lafadz Muslim dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).

Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata (tentang tafsir hadits di atas): “Kalau bukan Ahlul Hadits, maka aku tidak tahu siapa mereka?!” (Syaraf Ashhabil Hadits, karya Al Khatib Al Baghdadi, hal. 36).

Al Imam Ibnul Mubarak, Al Imam Al Bukhari, Al Imam Ahmad bin Sinan Al Muhaddits, semuanya berkata tentang tafsir hadits ini: “Mereka adalah Ahlul Hadits.” (Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 26, 37). Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini merupakan tanda dari tanda-tanda kenabian (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam), di dalamnya beliau telah menyebutkan tentang keutamaan sekelompok kecil yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan setiap masa dari jaman ini tidak akan lengang dari mereka. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendoakan mereka dan doa itupun terkabul. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla menjadikan pada tiap masa dan jaman, sekelompok dari umat ini yang memperjuangkan kebenaran, tampil di atasnya dan menerangkannya kepada umat manusia dengan sebenar-benarnya keterangan. Sekelompok kecil ini secara yakin adalah Ahlul Hadits insya Allah, sebagaimana yang telah disaksikan oleh sejumlah ulama yang tangguh, baik terdahulu ataupun di masa kini.” (Tarikh Ahlil Hadits, hal 131).

Ahlul Hadits adalah nama lain dari orang-orang yang mengikuti manhaj salaf. Atas dasar itulah, siapa saja yang ingin menjadi bagian dari “sekelompok kecil” yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits di atas, maka ia harus mengikuti manhaj salaf.

3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “…. Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: golongan yang aku dan para sahabatku mengikuti.” (Hasan, riwayat At Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).

Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini sebagai nash (dalil–red) dalam perselisihan, karena ia dengan tegas menjelaskan tentang tiga perkara: - Pertama, bahwa umat Islam sepeninggal beliau akan berselisih dan menjadi golongan-golongan yang berbeda pemahaman dan pendapat di dalam memahami agama. Semuanya masuk ke dalam neraka, dikarenakan mereka masih terus berselisih dalam masalah-masalah agama setelah datangnya penjelasan dari Rabb Semesta Alam. - Kedua, kecuali satu golongan yang Allah selamatkan, dikarenakan mereka berpegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengamalkan keduanya tanpa adanya takwil dan penyimpangan. - Ketiga, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menentukan golongan yang selamat dari sekian banyak golongan itu. Ia hanya satu dan mempunyai sifat yang khusus, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri (dalam hadits tersebut) yang tidak lagi membutuhkan takwil dan tafsir. (Tarikh Ahlil Hadits hal 78-79). Tentunya, golongan yang ditentukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu adalah yang mengikuti manhaj salaf, karena mereka di dalam memahami dienul Islam ini menempuh suatu jalan yang Rasulullah dan para sahabatnya berada di atasnya.

Berdasarkan beberapa ayat dan hadits di atas, dapatlah diambil suatu kesimpulan, bahwa manhaj salaf merupakan satu-satunya manhaj yang harus diikuti di dalam memahami dienul Islam ini, karena: 1. Manhaj salaf adalah manhaj yang benar dan berada di atas jalan yang lurus. 2. Mengikuti selain manhaj salaf berarti menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang berakibat akan diberi keleluasaan untuk bergelimang di dalam kesesatan dan tempat kembalinya adalah Jahannam. 3. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf dengan sebaik-baiknya, pasti mendapat ridha dari Allah dan tempat kembalinya adalah surga yang penuh dengan kenikmatan, kekal abadi di dalamnya. 4. Manhaj salaf adalah manhaj yang harus dipegang erat-erat, tatkala bermunculan pemahaman-pemahaman dan pendapat-pendapat di dalam memahami dienul Islam, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. 5. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah sekelompok dari umat ini yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan senantiasa mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. 6. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah golongan yang selamat dikarenakan mereka berada di atas jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika: 1. Al Imam Abdurrahman bin ‘Amr Al Auza’i berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun banyak orang menolakmu, dan hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah).” (Asy Syari’ah, karya Al Imam Al Ajurri, hal. 63). 2. Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti atsar dan jalan yang ditempuh oleh salaf, dan hati-hatilah dari segala yang diada-adakan dalam agama, karena ia adalah bid’ah.” (Shaunul Manthiq, karya As Suyuthi, hal. 322, saya nukil dari kitab Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 54). 3. Al Imam Abul Mudhaffar As Sam’ani berkata: “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama).” (Al Intishaar li Ahlil Hadits, karya Muhammad bin Umar Bazmul hal. 88). 4. Al Imam Qawaamus Sunnah Al Ashbahani berkata: “Barangsiapa menyelisihi sahabat dan tabi’in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya.” (Al Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, 2/437-438, saya nukil dari kitab Al Intishaar li Ahlil Hadits, hal. 88) 5. Al-Imam As Syathibi berkata: “Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf, maka ia adalah kesesatan.” (Al Muwafaqaat, 3/284), saya nukil melalui Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 57). 6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar.” (Majmu’ Fatawa, 4/149). Beliau juga berkata: “Bahkan syi’ar Ahlul Bid’ah adalah meninggalkan manhaj salaf.” (Majmu’ Fatawa, 4/155).

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dienul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin yaa Rabbal ‘Alamin. Wallahu a’lamu bish shawaab.

(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al Atsari, Lc, judul asli Mengapa Harus Bermanhaj Salaf, rubrik Manhaji, Majalah Asy Syariah

baca selengkapnya......

Motivasi Untuk Sabar

Assamualaikum wr.wb..
salam sejahtera buat Temen2,sahabat2,ikhwan2,akhwat2..
Dalam kesempatan ini saya mau bagi2 ilmu "MOTIVSI UNTUK SABAR" apalagi beberapa bulan lagi kita mau menyambut bulan yang ditunggu yaitu bulan SUCI RAMADHAN.dimana kita harus banyak sabar kalo gak mau puasa nya batal..lanjutkan kebawah baca nya iya.


Ayat-ayat Al Qur'an tentang Sabar
Allah Ta'ala berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung." (QS.Ali 'Imraan: 200)
Dan Allah Ta'ala berfirman:
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS.Al-Baqarah: 155)
Dan Allah Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (QS.Az-Zumar: 10)
Dan Allah Ta'ala berfirman:
"Tetapi orang yang bersabar dan mema`afkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan." (QS.Asy-Syuuraa: 43)
Dan Allah Ta'ala berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS.Al-Baqarah: 153)
Dan Allah Ta'ala berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kalian." (QS.Muhammad: 31)
Dan ayat-ayat yang memerintahkan sabar dan menerangkan keutamaannya sangat banyak dan dikenal.

Pengertian dan Jenis-jenis Sabar
Ash-Shabr (sabar) secara bahasa artinya al-habsu (menahan), dan diantara yang menunjukkan pengertiannya secara bahasa adalah ucapan: "qutila shabran" yaitu dia terbunuh dalam keadaan ditahan dan ditawan. Sedangkan secara syari'at adalah menahan diri atas tiga perkara: yang pertama: (sabar) dalam mentaati Allah, yang kedua: (sabar) dari hal-hal yang Allah haramkan, dan yang ketiga: (sabar) terhadap taqdir Allah yang menyakitkan.
Inilah macam-macam sabar yang telah disebutkan oleh para 'ulama. Jenis sabar yang pertama, yaitu hendaknya manusia bersabar terhadap ketaatan kepada Allah, karena sesungguhnya ketaatan itu adalah sesuatu yang berat bagi jiwa dan sulit bagi manusia. Memang demikianlah kadang-kadang ketaatan itu menjadi berat atas badan sehingga seseorang merasakan adanya sesuatu dari kelemahan dan keletihan ketika melaksanakannya. Demikian juga padanya ada masyaqqah (sesuatu yang berat) dari sisi harta seperti masalah zakat dan masalah haji.
Yang penting, bahwasanya ketaatan-ketaatan itu padanya ada sesuatu dari masyaqqah bagi jiwa dan badan, sehingga butuh kepada kesabaran dan kesiapan menanggung bebannya, Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung." (QS.Ali 'Imraan: 200)
Allah juga berfirman
"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya." (QS.Thaha: 132)
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur'an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur. Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu." (QS.Al-Insan: 23-24)
Ayat ini menerangkan tentang sabar dalam melaksanakan perintah-perintah, karena sesungguhnya Al-Qur`an itu turun kepadanya agar beliau (Rasulullah) menyampaikannya (kepada manusia), maka jadilah beliau orang yang diperintahkan untuk bersabar dalam melaksanakan ketaatan.
Dan Allah Ta'ala berfirman:
"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya." (QS.Al-Kahfi: 28)
Ini adalah sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah.
Jenis sabar yang kedua, yaitu bersabar dari hal-hal yang Allah haramkan sehingga seseorang menahan jiwanya dari apa-apa yang Allah haramkan kepadanya, karena sesungguhnya jiwa yang cenderung kepada kejelekan itu akan menyeru kepada kejelekan, maka manusia perlu untuk mengekang dan mengendalikan dirinya, seperti berdusta, menipu dalam bermuamalah, memakan harta dengan cara yang bathil, dengan riba dan yang lainnya, berbuat zina, minum khamr, mencuri dan lain-lainnya dari kemaksiatan-kemaksiatan yang sangat banyak.
Maka kita harus menahan diri kita dari hal-hal tadi jangan sampai mengerjakannya dan ini tentunya perlu kesabaran dan butuh pengendalian jiwa dan hawa nafsu.
Diantara contoh dari jenis sabar yang kedua ini adalah sabarnya Nabi Yusuf 'alaihis salaam dari ajakan istrinya Al-'Aziiz (raja Mesir) ketika dia mengajak (zina) kepadanya di tempat milik dia, yang padanya ada kemuliaan dan kekuatan serta kekuasaan atas Nabi Yusuf, dan bersamaan dengan itu Nabi Yusuf bersabar dan berkata:
"Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh." (QS.Yusuf: 33)
Maka ini adalah kesabaran dari kemaksiatan kepada Allah.
Jenis sabar yang ketiga, yaitu sabar terhadap taqdir Allah yang menyakitkan (menurut pandangan manusia).
Karena sesungguhnya taqdir Allah 'Azza wa Jalla terhadap manusia itu ada yang bersifat menyenangkan dan ada yang bersifat menyakitkan.
Taqdir yang bersifat menyenangkan; maka butuh rasa syukur, sedangkan syukur itu sendiri termasuk dari ketaatan, sehingga sabar baginya termasuk dari jenis yang pertama (yaitu sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah). Adapun taqdir yang bersifat menyakitkan; yaitu yang tidak menyenangkan manusia, seperti seseorang yang diuji pada badannya dengan adanya rasa sakit atau yang lainnya, diuji pada hartanya –yaitu kehilangan harta-, diuji pada keluarganya dengan kehilangan salah seorang keluarganya ataupun yang lainnya dan diuji di masyarakatnya dengan difitnah, direndahkan ataupun yang sejenisnya.
Yang penting bahwasanya macam-macam ujian itu sangat banyak yang butuh akan adanya kesabaran dan kesiapan menanggung bebannya, maka seseorang harus menahan jiwanya dari apa-apa yang diharamkan kepadanya dari menampakkan keluh kesah dengan lisan atau dengan hati atau dengan anggota badan.
Allah berfirman:
"Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu." (QS.Al-Insan: 24)
Maka masuk dalam ayat ini yaitu hukum Allah yang bersifat taqdir.
Dan diantara ayat yang menjelaskan jenis sabar ini adalah firman Allah:
"Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka." (QS.Al-Ahqaf: 35)
Ayat ini menerangkan tentang kesabaran para rasul dalam menyampaikan risalah dan dalam menghadapi gangguan kaumnya.
Dan juga diantara jenis sabar ini adalah ucapan Rasulullah kepada utusan salah seorang putri beliau:
"Perintahkanlah kepadanya, hendaklah bersabar dan mengharap pahala kepada Allah (dalam menghadapi musibah tersebut)." (HR.Bukhariy dan Muslim)

Keadaan Manusia Ketika Menghadapi Musibah
Sesungguhnya manusia di dalam menghadapi dan menyelesaikan musibah ada empat keadaan:
Keadaan pertama: marah
Keadaan kedua: bersabar
Keadaan ketiga: ridha
Keadaan keempat: bersyukur.
Inilah empat keadaan manusia ketika ditimpa suatu musibah.
Adapun keadaan pertama: yaitu marah baik dengan hatinya, lisannya ataupun anggota badannya.
Adapun marah dengan hatinya yaitu dalam hatinya ada sesuatu terhadap Rabbnya dari kemarahan, perasaan jelek atau buruk sangka kepada Allah - dan kita berlindung kepada Allah dari hal ini- dan yang sejenisnya bahkan dia merasakan bahwa seakan-akan Allah telah menzhaliminya dengan musibah ini.
Adapun dengan lisan, seperti menyeru dengan kecelakaan dan kebinasaan, seperti mengatakan: "Duhai celaka, duhai binasa!", atau dengan mencela masa (waktu), yang berarti dia menyakiti Allah 'Azza wa Jalla dan yang sejenisnya.
Adapun marah dengan anggota badan seperti menampar pipinya, memukul kepalanya, menjambak rambutnya atau merobek bajunya dan yang sejenis dengan ini.
Inilah keadaan orang yang marah yang merupakan keadaannya orang-orang yang berkeluh kesah yang mereka ini diharamkan dari pahala dan tidak akan selamat (terbebas) dari musibah bahkan mereka ini mendapat dosa, maka jadilah mereka orang-orang yang mendapatkan dua musibah: musibah dalam agama dengan marah dan musibah dalam masalah dunia dengan mendapatkan apa-apa yang tidak menyenangkan.
Adapun keadaan kedua: yaitu bersabar terhadap musibah dengan menahan dirinya (dari hal-hal yang diharamkan), dalam keadaan dia membenci musibah dan tidak menyukainya dan tidak menyukai musibah itu terjadi akan tetapi dia bersabar (menahan) dirinya sehingga tidak keluar dari lisannya sesuatu yang dibenci Allah dan tidak melakukan dengan anggota badannya sesuatu yang dimurkai Allah serta tidak ada dalam hatinya sesuatu (berprasangka buruk) kepada Allah selama-lamanya, dia tetap bersabar walaupun tidak menyukai musibah tersebut.
Adapun keadaan ketiga: yaitu ridha, di mana keadaan seseorang yang ridha itu adalah dadanya lapang dengan musibah ini dan ridha dengannya dengan ridha yang sempurna dan seakan-akan dia tidak terkena musibah tersebut.
Adapun keadaan keempat: bersyukur, yaitu dia bersyukur kepada Allah atas musibah tersebut, dan adalah keadaannya Rasulullah apabila melihat sesuatu yang tidak disukainya, beliau mengatakan:
"Segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan."
Maka dia bersyukur kepada Allah dari sisi bahwasanya Allah akan memberikan kepadanya pahala terhadap musibah ini lebih banyak dari apa-apa yang menimpanya.
Dan karena inilah disebutkan dari sebagian ahli ibadah bahwasanya jarinya terluka lalu dia memuji Allah terhadap musibah tersebut, maka orang-orang berkata: "Bagaimana engkau memuji Allah dalam keadaan tanganmu terluka?" Maka dia menjawab: "Sesungguhnya manisnya pahala dari musibah ini telah menjadikanku lupa terhadap pahitnya rasa sakitnya."

Tingkatan Sabar
Sabar itu ada tiga macam, yang paling tingginya adalah sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, kemudian sabar dalam meninggalkan kemaksiatan kepada Allah, kemudian sabar terhadap taqdir Allah. Dan susunan ini ditinjau dari sisi sabar itu sendiri bukan dari sisi orang yang melaksanakan kesabaran, karena kadang-kadang sabar terhadap maksiat lebih berat bagi seseorang daripada sabar terhadap ketaatan, apabila seseorang diuji contohnya dengan seorang wanita yang cantik yang mengajaknya berbuat zina di tempat yang sunyi yang tidak ada yang melihatnya kecuali Allah, dalam keadan dia adalah seorang pemuda yang mempunyai syahwat (yang tinggi), maka sabar dari maksiat seperti ini lebih berat bagi jiwa. Bahkan kadang-kadang seseorang melakukan shalat seratus raka'at itu lebih ringan daripada menghindari maksiat seperti ini.
Dan terkadang seseorang ditimpa suatu musibah, yang kesabarannya dalam menghadapi musibah ini lebih berat daripada melaksanakan suatu ketaatan, seperti seseorang kehilangan kerabatnya atau temannya ataupun istrinya. Maka engkau akan dapati orang ini berusaha untuk sabar terhadap musibah ini sebagai suatu kesulitan yang besar.
Akan tetapi ditinjau dari kesabaran itu sendiri maka tingkatan sabar yang tertinggi adalah sabar dalam ketaatan, karena mengandung ilzaaman (keharusan) dan fi'lan (perbuatan). Maka shalat itu mengharuskan dirimu lalu kamu shalat, demikian pula shaum dan haji… Maka padanya ada keharusan, perbuatan dan gerakan yang padanya terdapat satu macam dari kepayahan dan keletihan.
Kemudian tingkatan kedua adalah sabar dari kemaksiatan karena padanya hanya ada penahanan diri yakni keharusan bagi jiwa untuk meninggalkannya.
Adapun tingkatan ketiga, sabar terhadap taqdir, maka sebabnya bukanlah dari usaha seorang hamba, maka hal ini bukanlah melakukan sesuatu ataupun meninggalkan sesuatu, akan tetapi semata-mata dari taqdir Allah. Allahlah yang memberi taufiq.

(Diringkas dari Al-Qaulul Mufiid dan Syarh Riyaadhush Shaalihiin) .

baca selengkapnya......

Perjalanku Diindonesia

assamualaikum wr.wb..temen,sahabat,ikhwan2 dan akhwat2 sekalian..!saya dalam kesempatan kali ini lagi saya mau menceritakan perjalanan seorang tokoh agama yaitu Syaikh Abdullah Shalfiq mari kita lanjutkan kebawah

الحمد لله رب العالمين، خالق الخلق أجمعين، ومقسم الأرزاق بين العباد من مسلمين وكافرين، وجاعل الفوز في الآخرة للموحدين المؤمنين.
والصلاة والسلام على المبعوث لجميع الثقلين، وإلى العرب والأعجمين، جعل شريعته مهيمنة على جميع شرائع الأولين، ودينه ناسخًا لجميع أديان المرسلين، من اتبع هديه وسنته أعزه الله وأعلى ذكره، ومن حاد عن أمره، وجانب هديه كتب عليه الصغار والذله … أما بعد:

Segala puji hanya bagi Allah Rabbul 'Alamin, Pencipta seluruh makhluk, Yang membagikan rezki kepada segenap hamba-Nya, baik kaum muslimin maupun kaum kafir, dan Dia-lah yang menjadikan kesuksesan di akhirat bagi para muwahhidin mu`minin.

Shalawat dan Salam kepada Rasul yang diutus kepada bangsa jin dan manusia semuanya, kepada bangsa 'Arab dan non Arab. Allah telah menjadikan syari'at beliau sebagai batu ujian bagi segenap syari'at sebelumnya, agama beliau sebagai penghapus seluruh agama para rasul sebelum. Barangsiapa yang mengikuti bimbingan dan sunnah beliau, maka akan Allah muliakan dia dan dan Allah tinggikan kedudukannya. Dan barangsiapa menentang perintah beliau, menjauhi bimbingan beliau maka Allah tetapkan atasnya kehinaan dan kerendahan.

Amma ba'd,

Huruf-huruf dan kata-kata ini aku torehkan pertama kali ketika aku berada di atas pesawat dalam perjalanan pulangku dari negeri Indonesia tatkala melewati Bandara Abu Dhabi Emirat Arab. Perjalanan tersebut memakan waktu tujuh jam di udara, kami menempuh jarak sekitar kurang lebih 7.000 km. Yaitu setelah aku turut serta dalam Daurah Ilmiyyah ke-4 di Ma'had Al-Anshar Yogyakarta (Jogja) Indonesia. Turut serta pula dalam acara tersebut saudaraku Asy-Syaikh DR. 'Abdullah bin 'Abdirrahim Al-Bukhari, profesor hadits di Fakultas Hadits Syarif Universitas Islam dan saudaraku Asy-Syaikh Khalid bin Dhahwi Azh-Zhafiri, yang sekarang sedang menempuh program doktoral di Universitas Islam Madinah.

Selama waktu yang panjang dalam perjalanan, yang aku habiskan untuk membaca dan menulis, terbayang dalam pikiran dan benakku terhadap semua yang aku saksikan dan aku dengar semenjak safarku hingga kembaliku. Maka sebagian darinya aku tuliskan, dalam rangka memberikan dorongan kepada ikhwah Indonesia atas aktivitas yang mereka lakukan selama ini berupa dakwah dan semangat menyebarkan ilmu dan sunnah. Sekaligus sebagai dorongan bagi saudara-saudaraku para masyaikh dan para thullabul 'ilmi untuk membantu mereka dan mengunjungi mereka. Serta dalam rangka menampakkan kebaikan yang telah aku saksikan, berupa semangat yang besar dalam menuntut ilmu dan mengikuti as-sunnah, yang itu membuat senang hati seorang mukmin di satu sisi, dan membangkitkan semangat bagi para penuntut ilmu dan para da'i sunnah di sisi lain. Disamping juga dalam rangka menjelaskan sikap yang wajib atas seorang muslim terkait fenomena-fenomena kemungkaran yang menyelisihi syari'at Allah Yang Maha Bijaksana.

Saya memohon kepada Allah agar mengaruniakan kepada kita kekokohan di atas Islam dan di atas Sunnah, melindungi kita dari kejelekan fitnah baik yang tampak maupun tidak, serta menjadikan urusan kaum muslimin di setiap tempat menjadi baik.

Kaum muslimin pada hari ini di setiap tempat -- kecuali yang dirahmati oleh Rabb-ku dan jumlah mereka sedikit – berada dalam kondisi yang menyedihkan, yang sebenarnya mereka sangat membutuhkan pemimpin yang adil dan membimbing (mereka), takut kepada Allah dalam urusan kaum muslimin, serta sangat semangat membela Islam dan Syari'at-Nya.

والله المستعان ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم.

Ditulis oleh hamba yang faqir (sangat butuh) kepada Rabbnya
'Abdullah bin Shalfiq Al-Qasimi Azh-Zhafiri

Awal mula ditulis di antara langit dan bumi, antara Jakarta dan Abu Dhabi

Sore hari Ahad, bertepatan dengan 9/8/1429 H

Teks Arab :

رحلتي إلى أندونيسيا


بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين، خالق الخلق أجمعين، ومقسم الأرزاق بين العباد من مسلمين وكافرين، وجاعل الفوز في الآخرة للموحدين المؤمنين.
والصلاة والسلام على المبعوث لجميع الثقلين، وإلى العرب والأعجمين، جعل شريعته مهيمنة على جميع شرائع الأولين، ودينه ناسخًا لجميع أديان المرسلين، من اتبع هديه وسنته أعزه الله وأعلى ذكره، ومن حاد عن أمره، وجانب هديه كتب عليه الصغار والذله … أما بعد:
فهذه الحروف والكلمات كتبتها بداية وأنا على ظهر الطائرة أثناء عودتي من بلاد أندونيسيا مرورًا بمطار أبي ظبي بالإمارات، والتي استغرقت سبع ساعات في الجو، قطعنا فيها ما يقارب السبعة آلاف كيلو مترًا تقريبًَا، وذلك بعد مشاركتي في الدورة العلمية الرابعة بمعهد الأنصار في بلدة جكجكرتا (ججا) في أندونيسيا، والتي شارك فيها أيضًا أخي الشيخ الدكتور عبدالله بن عبدالرحيم البخاري أستاذ الحديث بكلية الحديث الشريف في الجامعة الإسلامية، وأخي الشيخ خالد بن ضحوي الظفيري، الدارس في مرحلة الدكتوراة في الجامعة الإسلامية.
وخلال هذه المدة الطويلة في الرحلة، والتي كنت أقضيها ما بين قراءة وكتابة، جال فكري وخاطري فيما شاهدت وسمعت منذ سفري حتى عودتي، فدونت شيئــًا من ذلك، حثـًا للإخوة الأندونيسيين على ما هم عليه من الدعوة والحرص على نشر العلم والسنة، وحثـًا لإخواننا المشايخ وطلاب العلم على مساندتهم ومؤازرتهم، وإبرازًا لمثل هذا الخير الذي رأيته من حرصٍ على طلب العلم واتباعٍ للسنة، مما يفرح قلب المؤمن من جهة، ويشحذ الهمم عند طلبة العلم ودعاة السنة من جهة أخرى، بالإضافة إلى بيان موقف المسلم والواجب الإيماني تجاه المشاهد المنكرة المخالفة لشرع الله الحكيم.
سائلا ً الله عزوجل أن يَمُنَّ علينا بالثبات على الإسلام والسنة، وأن يعيذنا شَرَّ الفتن ما ظهر منها وما بطن، وأن يهيئ للمسلمين في كل مكان من أمرهم رشدًا .
فالمسلمون اليوم - في كل مكان - إلا مارحم ربي وقليل ما هم - في أمر محزن، وحالٍ مبكٍ، يحتاج في حقيقة الأمر إلى قيادة راشدة ناصحة تخاف الله في المسلمين، وتغار على الإسلام وشرائِعه. والله المستعان ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم.


وكتبه
العبد الفقير إلى مولاه
عبدالله بن صلفيق القاسمي الظفيري
وكتب أصله فيما بين السماء والأرض وبين جاكرتا وأبي ظبي، مساء يوم الأحد الموافق 9/8/1429هـ




تابع البحث في الملف

على هذا الرابط

baca selengkapnya......

Doaku Sepanjang Hidupmu

hai semua para sahabat-sahabat,ikhwan2 dan akhwat..saya data lagi dan menuliskan karya saya lagi dblog jelek saya ini..dalam kesempatan ini saya mau bagi cerita dikit mengenai wanita lansung aja iya..
Doa orangtua untuk anaknya adalah salah satu doa yang paling didengar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka semestinya orangtua senantiasa mengalirkan doa kebaikan bagi anak-anaknya. Orangtua juga mesti meneguhkan kesabaran jika menjumpai penyimpangan pada anak-anaknya. Bukan malah mengutuk atau mendoakan kejelekan bagi mereka.

Sesuatu yang sudah lazim untuk diketahui, orangtua harus membimbing anak-anaknya. Mereka butuh diarahkan, diajari, ditegur dan diluruskan bila mereka salah atau lupa. Semua itu tak lain untuk kebaikan masa depan si anak; masa depan di dunia dan masa depan di akhirat.

Kadang kala yang terjadi, orangtua sudah mengerahkan segala upaya untuk mengajari dan membimbing, namun si anak tetap membandel dan ‘kepala batu’. Entah apa lagi cara yang harus ditempuh, seakan-akan semua jalan telah buntu.

Memang, mencetak seorang anak menjadi anak shalih yang selalu menyenangkan hati bukanlah semata hasil kerja keras orangtua dan pendidik. Semua usaha yang ditempuh hanyalah merupakan sebab-sebab yang dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Adapun yang membuat hati si anak terbuka untuk menerima pengarahan serta bimbingan orangtua dan orang-orang yang mendidiknya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّكَ لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

“Sesungguhnya engkau takkan bisa memberikan hidayah (taufik) kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah memberikan hidayah kepada siapa pun yang Dia kehendaki, dan Dia Maha Mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al-Qashash: 56)

Dalam ayat-Nya ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau –lebih-lebih lagi selain beliau– tidak akan mampu memberikan hidayah kepada seseorang, walaupun dia orang yang paling dicintai. Tak seorang pun mampu memberikan hidayah taufik dan menancapkan iman dalam hati seseorang. Ini semata-mata ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dialah yang memberi hidayah pada siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui, siapa yang pantas mendapatkan hidayah dari-Nya hingga nanti Dia berikan hidayah, dan siapa yang tidak layak mendapatkannya hingga Dia biarkan orang itu dalam kesesatannya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 620)

Cobalah renungkan, bagaimana upaya Nabiyullah Nuh ‘alaihissalam dalam mengembalikan umatnya pada tauhid. Selama 950 tahun beliau mengajak mereka –dengan berbagai cara– untuk meninggalkan penyembahan berhala dan hanya menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Namun anak beliau sendiri tidak mau menyambut seruan mulia sang ayah, sampai saat-saat akhir kehidupan umat yang durhaka itu. Air bah yang meluap menenggelamkan semua yang ada. Nabi Nuh ‘alaihissalam memanggil anaknya yang enggan turut naik ke bahtera:

وَنَادَى نُوْحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَابُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلاَ تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِيْنَ

“Dan Nuh memanggil anaknya yang berada di tempat yang jauh, ‘Wahai anakku! Naiklah bahtera ini bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang kafir’.” (Hud: 42)

Namun apalah daya bila Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki, si anak ini tidak mendapatkan petunjuk. Tetap dengan kesombongannya dia menolak ajakan ayahnya, hingga berakhir dengan kebinasaan, ditelan oleh gelombang air bah yang datang:

قَالَ سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ قَالَ لاَ عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللهِ إِلاَّ مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِيْنَ

“Dia berkata, ‘Aku akan berlindung ke gunung yang akan menghindarkanku dari air bah. Nuh berkata, ‘Hari ini tidak ada lagi yang bisa melindungi dari adzab Allah kecuali Dzat Yang Maha Penyayang.’ Dan gelombang pun menghalangi mereka berdua, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Hud: 43)

Menyaksikan anaknya turut tenggelam, timbul rasa iba sang ayah, hingga Nabi Nuh ‘alaihissalam pun berdoa kepada Rabbnya. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan Nabi Nuh ‘alaihissalam dan menyatakan bahwa anaknya bukanlah orang yang beriman sehingga termasuk orang-orang yang ditenggelamkan:

وَنَادَى نُوْحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِيْنَ. قَالَ يَا نُوْحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلاَ تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُوْنَ مِنَ الْجَاهِلِيْنَ

“Dan Nuh pun menyeru Rabbnya, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu adalah janji yang benar, dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.’ Allah berfirman, ‘Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu (yang diselamatkan), sesungguhnya amalannya bukanlah amalan yang shalih. Maka janganlah engkau meminta kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya Aku peringatkan engkau agar jangan termasuk orang-orang yang jahil.” (Hud: 45-46)

Demikianlah keadaannya. Seorang nabi pun tidak dapat menyelamatkan anaknya dari kekafiran bila si anak tidak dibukakan hatinya untuk menerima keimanan.

Di sisi lain, sangatlah mudah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memberikan petunjuk pada hamba yang Dia kehendaki, walaupun hamba itu dikepung oleh kaum yang berbuat syirik. Allah Subhanahu wa Ta’ala kisahkan tentang kekasih-Nya, Ibrahim ‘alaihissalam ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan taufik kepadanya untuk bertauhid:

وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيْمَ مَلَكُوْتَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَلِيَكُوْنَ مِنَ الْمُوْقِنِيْنَ. فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لاَ أُحِبُّ اْلآفِلِيْنَ. فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُوْنَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّيْنَ. فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيْءٌ مِمَّا تُشْرِكُوْنَ إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan yang ada di langit dan di bumi, agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat bintang, lalu berkata, ‘Inilah rabbku’. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata, ‘Aku tidak suka pada yang tenggelam’. Kemudian ketika dia melihat bulan terbit, dia berkata, ‘Inilah rabbku’. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata, ‘Sesungguhnya jika Rabbku tidak memberi petunjuk padaku, pasti aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, ‘Inilah rabbku, ini lebih besar’. Tatkala matahari itu terbenam, dia pun berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan! Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan-Nya’.” (Al-An’am: 75-79)

Hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dapat memberikan hidayah dan melindungi seorang anak dari kejelekan. Oleh karena itu, semestinya orangtua menyadari bahwa tak boleh semata bersandar pada hasil usaha mereka. Namun mereka harus menengadahkan tangan dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan doa seorang yang telah mencapai umur 40 tahun:

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي

“Wahai Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau karuniakan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan untuk melakukan amal shalih yang Engkau ridhai, dan berikanlah kebaikan kepadaku dengan kebaikan anak keturunanku.” (Al-Ahqaf: 15)

Tatkala dia berdoa untuk kebaikan dirinya, dia mendoakan pula anak keturunannya agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kebaikan pada segala keadaan mereka. Disebutkan dalam ayat ini bahwa kebaikan anak cucu akan kembali manfaatnya bagi kedua orangtua mereka, berdasarkan firman-Nya وَأَصْلِحْ لِي. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 781)

Demikian yang dimohon oleh hamba-hamba Ar-Rahman dalam doa mereka:

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا

“Wahai Rabb kami, anugerahkanlah bagi kami pasangan-pasangan hidup dan keturunan sebagai penyejuk mata kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqan: 74)

Nabiyullah Zakariyya ‘alaihissalam ketika memohon keturunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pun meminta agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan anaknya nanti sebagai anak yang shalih, yang mendapatkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau berdoa:

فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا. يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوْبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا

“Maka anugerahkanlah bagiku dari sisi-Mu seorang anak yang akan mewarisiku dan mewarisi keluarga Ya’qub, dan jadikanlah dia, wahai Rabbku, seorang yang diridhai.” (Maryam: 5-6)

Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengabulkan permohonan Nabi Zakariyya ‘alaihissalam dengan memberikan seorang anak yang shalih:

يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلاَمٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا

“Wahai Zakariyya, sesungguhnya Kami memberimu kabar gembira dengan lahirnya seorang anak yang bernama Yahya, yang belum pernah Kami menciptakan seseorang yang serupa dengannya.” (Maryam: 7)

Begitu pula Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau berdoa untuk kebaikan dirinya dan putranya Isma’il ‘alaihissalam beserta keturunan mereka tatkala membangun fondasi Baitullah:

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ

“Wahai Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang-orang yang berserah diri kepada-Mu dan jadikanlah pula keturunan kami sebagai orang-orang yang berserah diri kepada-Mu.” (Al-Baqarah: 128)

Beliau ‘alaihissalam juga berdoa:

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيْمَ الصَّلاَةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

“Wahai Rabbku, jadikanlah aku dan keturunanku sebagai orang-orang yang senantiasa mendirikan shalat. Wahai Rabbku, kabulkanlah doaku.” (Ibrahim: 40)

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menjaga diri dan keturunan beliau dari kemaksiatan terbesar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu kesyirikan. Beliau ‘alaihissalam memohon:

وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ

“Dan jauhkanlah diriku beserta anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (Ibrahim: 35)

Demikianlah yang dilakukan oleh para nabi. Mereka mendoakan anak cucu mereka agar meraih masa depan yang baik dan terhindar dari hal-hal yang membinasakan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, nabi dan rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling mulia, mencontohkan pula hal ini. ‘Umar bin Abi Salamah, putra Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma menuturkan:

نَزَلَتْ هَذِهِ اْلآيَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا} فِي بَيْتِ أُمِّ سَلَمَةَ، فَدَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاطِمَةَ وَحَسَنًا وَحُسَيْنًا فَجَلَّلَهُمْ بِكِسَاءٍ وَعَلِيٌّ خَلْفَ ظَهْرِهِ فَجَلَّلَهُ بِكِسَاءٍ ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ هَؤُلاَءِ أَهْلُ بَيْتِي فَأَذْهِبْ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيْرًا

“Turun ayat ini kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Sesungguhnya Allah ingin menghilangkan dosa-dosa dari diri kalian wahai ahlul bait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya’ di rumah Ummu Salamah. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Fathimah, Hasan dan Husain lalu menyelubungi mereka dengan kain, dan ‘Ali di belakang beliau lalu beliau selubungi pula dengan kain. Kemudian beliau berdoa, ‘Ya Allah, mereka adalah ahlu baitku, maka hilangkanlah dosa-dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya’.” (HR. At-Tirmidzi no. 3787, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: shahih)

Beliau pernah pula mendoakan cucu beliau, Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu 'anhuma. Diceritakan oleh Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu 'anhu:

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيٍْهِ وَسَلَّمَ وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ عَلَى عَاتِقِهِ يَقُوْلُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أُحِبُّهُ فَأَحِبَّهُ

“Aku pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan menggendong Al-Hasan di atas pundak beliau. Beliau mengatakan, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah dia’.” (HR. Al-Bukhari no. 3849 dan Muslim no. 2422)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga seringkali mendoakan anak-anak para shahabat radhiyallahu 'anhum. Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma menceritakan:

أَنَّهُ كَانَ يَأْخُذُهُ وَالْحَسَنَ فَيَقُوْلُ: اللَّهُمَّ أَحِبَّهُمَا فَإِنِّي أُحِبُّهُمَا

“Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memelukku bersama Al-Hasan lalu mendoakan, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai mereka berdua, maka cintailah mereka’.” (HR. Al-Bukhari no. 3735)

Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan pula saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakannya, setelah dia mengambilkan air wudhu untuk beliau. Dengan doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ilmu yang luas kepadanya:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْخَلاَءَ فَوَضَعْتُ لَهُ وَضُوْءًا قَالَ: مَنْ وَضَعَ هَذَا؟ فَأُخْبِرَ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Pernah suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempat buang air. Lalu kuletakkan air wudhu untuk beliau. (Ketika selesai) beliau pun bertanya, “Siapa yang meletakkan ini?” Lalu beliau diberitahu (bahwa aku yang melakukannya). Kemudian beliau mendoakan, ‘Ya Allah, berikanlah dia pemahaman terhadap agama’.” (HR. Al-Bukhari no. 143 dan Muslim no. 2477)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjadi salah seorang ulama di kalangan shahabat. Sampai-sampai ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu menempatkannya bersama para tokoh shahabat ketika Ibnu ‘Abbas masih belia. (Fathul Bari, 7/127)

Dalam kehidupan shahabat, ada Ummu Sulaim bintu Milhan radhiyallahu 'anha, ibu Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, yang begitu besar keinginannya agar anaknya mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Dia serahkan sang anak untuk melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta doa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk anaknya. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan:

دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا وَمَا هُوَ إِلاَّ أَنَا وَأُمِّي وَأُمُّ حَرَامٍ خَالَتِي، فَقَالَتْ أُمِّي: يَا رَسُوْلَ اللهِ، خُوَيْدِمُكَ، ادْعُ اللهَ لَهُ. قَالَ: فَدَعَا لِي بِكُلِّ خَيْرٍ، وَكَانَ فِي آخِرِ مَا دَعَا لِي بِهِ أَنْ قَالَ: اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَبَارِكْ لَهُ فِيْهِ

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke rumah kami dan di situ hanya ada aku, ibuku dan Ummu Haram bibiku. Ibuku mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, ini pelayan kecilmu. Doakanlah dia’. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohonkan untukku segala kebaikan, dan di akhir doa beliau untukku, beliau berkata, ‘Ya Allah, banyakkanlah harta dan anaknya, serta berikanlah barakah kepadanya’.” (HR. Muslim no. 2481)

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan doa beliau, hingga Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang dirinya, “Hartaku sungguh banyak, sementara anak cucuku mencapai sekitar seratus orang sekarang.” (HR. Muslim no. 2481)

Apabila orangtua merasakan beban kesempitan dan kesusahan karena ulah anak-anak, hendaknya berlapang dada dan memaafkan, serta mendoakan agar si anak mendapatkan kebaikan. Sesungguhnya doa orangtua termasuk doa yang akan dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tentang hal ini, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ: دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ

“Ada tiga doa yang pasti akan terkabul, tidak diragukan lagi: doa orangtua, doa orang yang bepergian, dan doa orang yang dizhalimi.” (HR. Abu Dawud no. 1536, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan)

Doa kebaikanlah yang semestinya dipanjatkan ketika itu, bukan cacian atau bahkan doa kejelekan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita mendoakan kejelekan terhadap anak-anak. Jabir radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، وَلاَ تَدْعُوا عَلَى أَوْلاَدِكُمْ، وَلاَ تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ، لاَ تُوَافِقُوا مِنَ اللهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيْهَا عَطَاءٌ فَيَسْتَجِيْبَ لَكُمْ

“Jangan mendoakan kejelekan bagi diri kalian, jangan berdoa kejelekan bagi anak-anak kalian, dan jangan pula berdoa kejelekan bagi harta kalian. Jangan sampai ia bertepatan dengan saat Allah yang jika diminta suatu permintaan saat itu pasti akan Dia kabulkan.” (HR. Muslim no. 3009)

Bisa jadi seseorang menepati saat dikabulkannya doa, hingga dikabulkan permohonannya. Ini banyak terjadi ketika marah. Saat marah, terkadang orang mendoakan kejelekan untuk dirinya, atau kadang pada anaknya. Dia katakan, ‘Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membinasakanmu!’ atau ‘Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan balasan yang jelek kepadamu!’, ataupun yang semisal itu. Sampai-sampai ada yang mendoakan anaknya agar mendapat laknat! Nas`alullahal ‘afiyah. (Syarh Riyadhish Shalihin, 4/33)

Akibatnya, bukan semakin baik si anak, namun semakin rusak. Semakin jauh dari kebenaran dan semakin suram pula masa depannya. Tak ada kebahagiaan hidupnya di dunia, terancam pula kehidupannya di akhirat kelak. Na’udzu billahi min dzalik!

Cukup sudah bagi kita, para orangtua, teladan yang termaktub dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Semestinya kita menyadari, segala kebaikan anak kita Allah Subhanahu wa Ta’ala-¬lah yang memberikannya. Hingga semestinya pula kita memulai untuk melazimi doa untuk kebaikan mereka.

Wallahu Ta’ala a’lamu bish-shawab.

baca selengkapnya......