3/28/2012

Kepada Saudariku, Para Muslimah: Kami Iri Pada Kalian

Joana Francis adalah seorang penulis dan wartawan asal AS. Dalam situs Crescent and the Cross, perempuan yang menganut agama Kristen itu menuliskan ungkapan hatinya tentang kekagumannya pada perempuan-perempuan Muslim di Libanon saat negara itu diserang oleh Israel dalam perang tahun 2006 lalu.

Apa yang ditulis Francis, meski ditujukan pada para Muslimah di Libanon, bisa menjadi cermin dan semangat bagi para Muslimah dimanapun untuk bangga akan identitasnya menjadi seorang perempuan Muslim, apalagi di tengah kehidupan modern dan derasnya pengaruh budaya Barat yang bisa melemahkan keyakinan dan keteguhan seorang Muslimah untuk tetap mengikuti cara-cara hidup yang diajarkan Islam.

Karena di luar sana, banyak kaum perempuan lain yang iri melihat kehidupan dan kepribadian para perempuan Muslim yang masih teguh memegang ajaran-ajaran agamanya. Inilah ungkapan kekaguman Francis sekaligus pesan yang disampaikannya untuk perempuan-perempuan Muslim dalam tulisannya bertajuk "Kepada Saudariku Para Muslimah";

Ditengah serangan Israel ke Libanon dan "perang melawan teror" yang dipropagandakan Zionis, dunia Islam kini menjadi pusat perhatian di setiap rumah di AS.

Aku menyaksikan pembantaian, kematian dan kehancuran yang menimpa rakyat Libanon, tapi aku juga melihat sesuatu yang lain; Aku melihat kalian (para muslimah). Aku menyaksikan perempuan-perempuan yang membawa bayi atau anak-anak yang mengelilingin mereka. Aku menyaksikan bahwa meski mereka mengenakan pakaian yang sederhana, kecantikan mereka tetap terpancar dan kecantikan itu bukan sekedar kecantikan fisik semata.

Aku merasakan sesuatu yang aneh dalam diriku; aku merasa iri. Aku merasa gundah melihat kengerian dan kejahatan perang yang dialami rakyat Libanon, mereka menjadi target musuh bersama kita. Tapi aku tidak bisa memungkiri kekagumanku melihat ketegaran, kecantikan, kesopanan dan yang paling penting kebahagian yang tetap terpancar dari wajah kalian.

Kelihatannya aneh, tapi itulah yang terjadi padaku, bahkan di tengah serangan bom yang terus menerus, kalian tetap terlihat lebih bahagia dari kami ( perempuan AS) di sini karena kalian menjalani kehidupan yang alamiah sebagai perempuan. Di Barat, kaum perempuan juga menjalami kehidupan seperti itu sampai era tahun 1960-an, lalu kami juga dibombardir dengan musuh yang sama. Hanya saja, kami tidak dibombardir dengan amunisi, tapi oleh tipu muslihat dan korupsi moral.

Perangkap Setan
Mereka membombardir kami, rakyat Amerika dari Hollywood dan bukan dari jet-jet tempur atau tank-tank buatan Amerika.

Mereka juga ingin membombardir kalian dengan cara yang sama, setelah mereka menghancurkan infrastruktur negara kalian. Aku tidak ingin ini terjadi pada kalian. Kalian akan direndahkan seperti yang kami alami. Kalian dapat menghinda dari bombardir semacam itu jika kalian mau mendengarkan sebagian dari kami yang telah menjadi korban serius dari pengaruh jahat mereka.

Apa yang kalian lihat dan keluar dari Hollywood adalah sebuah paket kebohongan dan penyimpangan realitas. Hollywood menampilkan seks bebas sebagai sebuah bentuk rekreasi yang tidak berbahaya karena tujuan mereka sebenarnya adalah menghancurkan nilai-nilai moral di masyarakat melalui program-program beracun mereka. Aku mohon kalian untuk tidak minum racun mereka.

Karena begitu kalian mengkonsumsi racun-racun itu, tidak ada obat penawarnya. Kalian mungkin bisa sembuh sebagian, tapi kalian tidak akan pernah menjadi orang yang sama. Jadi, lebih baik kalian menghindarinya sama sekali daripada nanti harus menyembuhkan kerusakan yang diakibatkan oleh racun-racun itu.

Mereka akan menggoda kalian dengan film dan video-video musik yang merangsang, memberi gambaran palsu bahwa kaum perempuan di AS senang, puas dan bangga berpakaian seperti pelacur serta nyaman hidup tanpa keluarga. Percayalah, sebagian besar dari kami tidak bahagia.

Jutaan kaum perempuan Barat bergantung pada obat-obatan anti-depresi, membenci pekerjaan mereka dan menangis sepanjang malam karena perilaku kaum lelaki yang mengungkapkan cinta, tapi kemudian dengan rakus memanfaatkan mereka lalu pergi begitu saja. Orang-orang seperti di Hollywood hanya ingin menghancurkan keluarga dan meyakinkan kaum perempuan agar mau tidak punya banyak anak.

Mereka mempengaruhi dengan cara menampilkan perkawinan sebagai bentuk perbudakan, menjadi seorang ibu adalah sebuah kutukan, menjalani kehidupan yang fitri dan sederhana adalah sesuatu yang usang. Orang-orang seperti itu menginginkan kalian merendahkan diri kalian sendiri dan kehilangan imam. Ibarat ular yang menggoda Adam dan Hawa agar memakan buah terlarang. Mereka tidak menggigit tapi mempengaruhi pikiran kalian.

Aku melihat para Muslimah seperti batu permata yang berharga, emas murni dan mutiara yang tak ternilai harganya. Alkitab juga sebenarnya mengajarkan agar kaum perempuan menjaga kesuciannya, tapi banyak kaum perempuan di Barat yang telah tertipu.

Model pakaian yang dibuat para perancang Barat dibuat untuk mencoba meyakinkan kalian bahwa asset kalian yang paling berharga adalah seksualitas. Tapi gaun dan kerudung yang dikenakan para perempuan Muslim lebih "seksi" daripada model pakaian Barat, karena busana itu menyelubungi kalian sehingga terlihat seperti sebuah "misteri" dan menunjukkan harga diri serta kepercayaan diri para muslimah.

Seksualiatas seorang perempuan harus dijaga dari mata orang-orang yang tidak layak, karena hal itu hanya akan diberikan pada laki-laki yang mencintai dan menghormati perempuan, dan cukup pantas untuk menikah dengan kalian. Dan karena lelaki di kalangan Muslim adalah lelaki yang bersikap jantan, mereka berhak mendapatkan yang terbaik dari kaum perempuannya.

Tidak seperti lelaki kami di Barat, mereka tidak kenal nilai sebuah mutiara yang berharga, mereka lebih memilih kilau berlian imitasi sebagai gantinya dan pada akhirnya bertujuan untuk membuangnya juga.

Modal yang paling berharga dari para muslimah adalah kecantikan batin kalian, keluguan dan segala sesuatu yang membentuk diri kalian. Tapi saya perhatikan banyak juga muslimah yang mencoba mendobrak batas dan berusaha menjadi seperti kaum perempuan di Barat, meski mereka mengenakan kerudung.

Mengapa kalian ingin meniru perempuan-perempuan yang telah menyesal atau akan menyesal, yang telah kehilangan hal-hal paling berharga dalam hidupnya? Tidak ada kompensasi atas kehilangan itu. Perempuan-perempuan Muslim adalah berlian tanpa cacat. Jangan biarkan hal demikian menipu kalian, untuk menjadi berlian imitasi. Karena semua yang kalian lihat di majalah mode dan televisi Barat adalah dusta, perangkap setan, emas palsu.

Kami Butuh Kalian, Wahai Para Muslimah !
Aku akan memberitahukan sebuah rahasia kecil, sekiranya kalian masih penasaran; bahwa seks sebelum menikah sama sekali tidak ada hebatnya.

Kami menyerahkan tubuh kami pada orang kami cintai, percaya bahwa itu adalah cara untuk membuat orang itu mencintai kami dan akan menikah dengan kami, seperti yang sering kalian lihat di televisi. Tapi sesungguhnya hal itu sangat tidak menyenangkan, karena tidak ada jaminan akan adanya perkawinan atau orang itu akan selalu bersama kita.

Itu adalah sebuah Ironi! Sampah dan hanya akan membuat kita menyesal. Karena hanya perempuan yang mampu memahami hati perempuan. Sesungguhnya perempuan dimana saja sama, tidak peduli apa latar belakang ras, kebangsaan atau agamanya.

Perasaan seorang perempuan dimana-mana sama. Ingin memiliki sebuah keluarga dan memberikan kenyamanan serta kekuatan pada orang-orang yang mereka cintai. Tapi kami, perempuan Amerika, sudah tertipu dan percaya bahwa kebahagiaan itu ketika kami memiliki karir dalam pekerjaan, memiliki rumah sendiri dan hidup sendirian, bebas bercinta dengan siapa saja yang disukai.

Sejatinya, itu bukanlah kebebasan, bukan cinta. Hanya dalam sebuah ikatan perkawinan yang bahagialah, hati dan tubuh seorang perempuan merasa aman untuk mencintai.

Dosa tidak akan memberikan kenikmatan, tapi akan selalu menipu kalian. Meski saya sudah memulihkan kehormatan saya, tetap tidak tergantikan seperti kehormatan saya semula.

Kami, perempuan di Barat telah dicuci otak dan masuk dalam pemikiran bahwa kalian, perempuan Muslim adalah kaum perempuan yang tertindas. Padahal kamilah yang benar-benar tertindas, menjadi budak mode yang merendahkan diri kami, terlalu resah dengan berat badan kami, mengemis cinta dari orang-orang yang tidak bersikap dewasa.

Jauh di dalam lubuk hati kami, kami sadar telah tertipu dan diam-diam kami mengagumi para perempuan Muslim meski sebagaian dari kami tidak mau mengakuinya. Tolong, jangan memandang rendah kami atau berpikir bahwa kami menyukai semua itu. Karena hal itu tidak sepenuhnya kesalahan kami.

Sebagian besar anak-anak di Barat, hidup tanpa orang tua atau hanya satu punya orang tua saja ketika mereka masih membutuhkan bimbingan dan kasih sayang. Keuarga-keluarga di Barat banyak yang hancur dan kalian tahu siapa dibalik semua kehancuran ini. Oleh sebab itu, jangan sampai tertipu saudari muslimahku, jangan biarkan budaya semacam itu mempengaruhi kalian.

Tetaplah menjaga kesucian dan kemurnian. Kami kaum perempuan Kristiani perlu melihat bagaimana kehidupan seorang perempuan seharusnya. Kami membutuhkan kalian, para Muslimah, sebagai contoh bagi kehidupan kami, karena kami telah tersesat. Berpegang teguhlah pada kemurnian kalian sebagai Muslimah dan berhati-hatilah !

baca selengkapnya......

Hak-hak Perempuan dalam Islam


Hari ini, 8 Maret, diperingati sebagai hari perempuan sedunia. Jika latar belakang hari perempuan sedunia adalah ketertindasan perempuan khususnya pada masa industrialisasi (abad XX) di Barat yang kemudian mereka berjuang untuk memperoleh hak-haknya, Islam telah memberikan hak-hak perempuan sejak awal (abad VII). Islam datang untuk merevolusi tatanan jahiliyah, termasuk menghapus penindasan terhadap perempuan.

Berikut ini adalah hak-hak perempuan dalam Islam, yang disarikan dari buku Al-Mar'ah wa Haququha As-Siyasiyyah fil Islam karya Abdul Majid Az-Zindani

Hak-hak Kemanusiaan

1. Hak untuk hidup

...dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)... (QS. Al-An'am : 151)

2. Hak mendapatkan kemuliaan kemanusiaan

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. Al-Isra' : 70)

3. Hak kesetaraan dengan pria dalam hal balasan amal/pekerjaan baik di dunia maupun akhirat

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun (QS. An-Nisa' : 124)

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS. An-Nahl : 97)

4. Hak mengemukakan pendapat dan musyawarah

Sejak awal, Islam telah memberikan hak kepada perempuan untuk berpendapat dan disertakan dalam musyawarah. Hak itu sebelumnya dibelenggu di era jahiliyah. Maka sirah nabawiyah memaparkan hak-hak ini demikian banyak dalam berbagai kesempatan yang tercatat sejarah hingga kini.

Misalnya, Khadijah selalu menjadi teman diskusi dan musyawarah Rasulullah termasuk saat beliau baru saja mendapatkan wahyu di gua Hira. Kaum wanita menyampaikan usul untuk menentukan hari tersendiri bagi mereka agar memiliki majlis khusus bersama Rasulullah. Ummu Salamah memberikan solusi pada perjanjian Hudaibiyah. Bahkan ada perempuan yang mendebat Rasulullah hingga menjadi asbabun nuzul ayat berikut ini:

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. Al-Mujadilah : 1)

Hak-hak Ekonomi

Syariat Islam telah memberikan hak-hak ekonomi kepada perempuan dengan memberikan hak kepemilikan dan pengelolaan. Islam memberikan kebebasan kepada perempuan untuk mengelola dan mengatur urusannya dalam hal harta, perdagangan, dan lainnya. Perempuan memiliki hak untuk melakukan akad jual beli, persewaan, perserikatan, dan sebagainya. Bahkan perempuan juga berhak untuk menentukan besaran mahar yang akan diterima dari suaminya.

Hak-hak Sosial dan Pendidikan

1. Mendapatkan perlakuan baik; baik sebagai saudari, anak, ibu, istri, atau nenek

Tidaklah memuliakan wanita, kecuali lelaki mulia. Dan yang menghinakan wanita, pastilah lelaki hina. (HR At Tirmidzi)

2. Hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran

Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim (HR. Ahmad). Muslim di sini mencakup laki-laki dan perempuan.

Mengapa kalian (wahai perempuan) tidak mengajarkan ruqyatun namlah kepada perempuan ini –sambil menunjuk Hafshah- sebagaimana kalian mengajarkan menulis kepadanya? (HR. Abu Dawud)

3. Hak memilih suami

Janda lebih berhak dengan dirinya (untuk memilih siapa suaminya) daripada walinya, sedangkan gadis dimintai izin oleh ayahnya dalam hal pernikahannya, dan diamnya adalah tanda setuju (HR. Bukhari)

4. Hak untuk meminta cerai (talak) jika ada alasan yang diizinkan syariat

5. Hak mendapatkan nafkah

...Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf... (QS. Al-Baqarah : 233)

Ketahuilah, sesungguhnya kamu memiliki hak atas istrimu dan istrimu memiliki hak atas kamu (HR. Tirmidzi, An-Nasa'i, dan Abu Dawud)

6. Hak mendapatkan warisan

Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan (QS. An-Nisa' : 7)

7. Hak mendapatkan mahar

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan (QS. An-Nisa' : 4)

8. Hak beraktifitas/bekerja

Pada dasarnya perempuan lebih baik di rumah untuk mendidik putra-putrinya dan mengelola rumah tangga. Namun bukan berarti mereka tidak memiliki hak untuk beraktifitas di luar rumah/bekerja. Maka dalam sirah nabawiyah didapatkan sahabiyah yang beraktifitas di luar rumah untuk pendidikan hingga jihad (sebagai tenaga medis, konsumsi, motivator, dan lain-lain).

Hak-hak Konstitusi

Perempuan juga memiliki hak untuk ikut berpartisipasi dalam masalah politik dan hukum. Karenanya Islam juga memberikan hak perempuan sebagai saksi. Semasa Rasulullah pun, perempuan juga bisa menjadi juru fatwa dalam masalah hukum, khususnya shahabiyah yang menguasai hadits seperti Aisyah.

Demikian sebagian diantara hak-hak perempuan dalam Islam. Semoga menjadi bahan refleksi bagi kita di hari perempuan sedunia ini bahwa perempuan itu dimuliakan dalam Islam dan bahwa Islam itu ya'lu walaa yu'laa.

baca selengkapnya......

Mengapa Harus Menikah dengan Akhwat (2)

“Mas... kok belum berkemas-kemas... mukhayam itu nggak berat lho. Selain menyehatkan jasad, yang lebih penting, ia bagian dari i'dad, persiapan dan latihan berjihad. Mas kebanggaan kami, si kecil kelak akan mencontoh Mas,” kata seorang akhwat sambil mengelus-elus pundak suaminya.

“Adik bantu mengemasi ya...” belum keluar jawaban dari bibir suaminya, akhwat itu telah mengeluarkan tas ransel dari lemari.

Sang suami yang tadinya ogah-ogahan mulai berdiri. Bangkit mengambil hp.

“Ustadz, saya besuk ikut berangkat mukhayam,” kata ikhwan itu, kini tanpa ragu-ragu.

“Lho, kemarin katanya kesulitan cuti?,” terdengar jawaban dari balik hp

“Kalau masalah kerja insya Allah bisa diatur, Ustadz.”

***

Begitulah inti dialog suami-istri yang sama-sama aktifis dakwah. Saya yakin, dialog yang kurang lebih sama tidak hanya terjadi di hari itu, di keluarga itu. Ada banyak dialog yang berisi penguatan, motivasi, dan peneguhan dari akhwat kepada suaminya. Mungkin dialog yang lain bukan hanya menyemangati sang suami untuk berangkat mukhayam. Dan mungkin saja dialog itu pernah terjadi di keluarga kita. (Senyum dong kalau Antum pernah mengalaminya :-)

Pada tulisan yang pertama,Mengapa Harus Menikah dengan Akhwat (1), ada banyak tanggapan baik yang setuju maupun kurang setuju. Termasuk komentar-komentar di facebook yang jumlahnya lebih banyak lagi. Sebagian tanggapan tidak setuju dengan penggunaan istilah akhwat karena konotasinya yang sempit. Sebagian menafsirkan bahwa akhwat adalah wanita shalihah, dan istilah wanita shalihah lebih tepat digunakan. Sebagian lagi berdalih bahwa tidak semua akhwat itu shalihah. Wal iyadzu billah.

Lalu apa yang saya maksudkan dengan akhwat? Wanita shalihah secara umumkah? Tidak, saya benar-benar bermaksud menggunakan istilah akhwat dalam arti yang sempit. Yakni muslimah yang tertarbiyah Islamiyah sehingga ia tidak saja menjadi wanita shalihah tetapi juga muslihah. Baik secara pribadi sekaligus terlibat dalam dakwah untuk memperbaiki orang lain. Maka akhwat yang saya maksudkan adalah mereka yang tersibghah dengan tarbiyah Islamiyah hingga mencapai muwashafat; tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah) sekaligus kepribadian dai (syakhsiyah Da'iyah).

Tentu saja yang saya maksudkan dengan “harus” itu bukan wajib dalam terminologi Hukum Taklifi bahasan Fiqih. Bukankah menikah dengan akhwat tertarbiyah itu tidak termasuk syarat atau rukun Nikah? Dan yang saya tuju untuk renungan ini adalah para ikhwan. Mengapa harus menikah dengan akhwat? Seri tulisan ini mencoba untuk saling berbagi dan -kalau boleh- merekomendasikan kepada para ikhwan agar memilih akhwat.

Alasannya? Yang pertama sudah kita bahas beberapa waktu yang lalu; kesetiaan. Akhwat yang telah tertarbiyah, ia setia kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagai buah kesetiaan kepada Allah dan Rasul-Nya ia juga sangat setia kepada suaminya. Kesetiaan yang hakiki dan terpancar kuat dalam sikap dan ucapan ini berdampak besar bagi suami. Sang suami bisa lebih tenang, lebih damai, lebih khusyu' dalam beribadah, fokus dalam bekerja, concern dalam meniti karir atau mengembangkan bisnis, dan serius dalam berdakwah.

Kedua, seperti dialog di atas, akhwat menjadi sahabat dakwah. Ia mampu menjadi motivator di saat kita lemah. Ia mampu menguatkan kembali komitmen dakwah kita di saat kita malas. Ia mampu menjadi peneguh saat kita mulai goyah.

“Untuk membangun keluarga muslim yang dilandasi taqwa,” tulis Syaikh Musthafa Masyhur dalam Fiqhud Dakwah, pertama kali seorang Muslim harus mencari pasangan yang baik keislamannya dan yang memahami tugas risalah hidupnya. Menjadikan pasangan hidupnya sebagai sahabat dakwah yang baik, yang selalu dapat mengingatkannya jika ia lupa, memberi motivasi berdakwah dan tidak menghalanginya.”

Istri itu memiliki pengaruh besar dalam kehidupan suami. Ada banyak contoh suami yang sebenarnya biasa-biasa saja, tetapi setelah sekian tahun menikah ia menjadi luar biasa karena motivasi istrinya. Bukan hanya dalam dakwah, tetapi juga dalam ibadah. Ada suami yang beberapa tahun silam tilawahnya terbata-bata, tetapi kini ia yang biasa membetulkan tilawah teman-temannya. Ia serius mengikuti tahsin karena dorongan istrinya.

Ada pula orang yang jarang qiyamullail, tiba-tiba menjadi rajin setelah menikah karena istrinya yang dengan cara “penuh cinta” membangunkannya. Ia mengingatkan kita pada sabda Rasulullah SAW:

Allah merahmati wanita yang bangun di tengah malam, ia shalat dan membangunkan suaminya. Jika suaminya enggan bangun, ia meneteskan air ke wajahnya. (HR. Abu Daud, shahih)

Sebaliknya, tidak sedikit lelaki yang terjungkal karena istrinya. Bahkan tidak terkecuali ikhwan, para aktifis dakwah. Bayangkan jika istri pada cerita di atas mengubah dialognya: “Iya Mas, lebih baik Mas di rumah saja. Ngapain juga capek-capek di hutan, di gunung. Kalau ada apa-apa bagaimana coba. Mana Mas gak punya asuransi lagi. Kalau sampai lebih dari itu? Mas rela saya jadi janda dan si kecil jadi yatim? Mas rela kalau nanti ada orang lain yang nikahi saya?” Bisa dipastikan ikhwan itu semakin “teguh pendirian” untuk tidak berangkat. Dan... banyak alasan yang bisa dipakai.

Sebagaimana mampu memotivasi mad'u dan mutarabbinya, akhwat juga memiliki kekuatan yang sama -bahkan lebih besar- untuk memotivasi suaminya. Karena itulah mengapa kita perlu -bahkan harus- menikah dengan akhwat. Bagaimana pendapat antum?

baca selengkapnya......

Mengapa Harus Menikah dengan Akhwat? (1)


"Sudah aku bilang berkali-kali, jangan pergi-pergi ketika aku tidak ada di rumah," katanya dengan nada marah membuat orang di sebelahnya ikut mendengar jelas, "aku peringatkan lagi ya!"

Cukup lama orang yang tadinya satu pesawat denganku itu menelepon istrinya. Kepergiannya ke luar pulau ternyata "dimanfaatkan" oleh istrinya untuk pergi jalan-jalan.

Bukan hanya lelaki itu yang kepergiannya dibayang-bayangi kekhawatiran dan ketidaktenangan. Ada sekian banyak -ratusan ribu sampai jutaan- suami yang galau ketika meninggalkan rumah karena istrinya. Entah karena ia tidak terlalu percaya kepada istrinya atau istrinya yang tidak pantas dipercaya, atau karena kedua-duanya sekaligus. Entah karena ia meragukan kesetiaan istrinya atau istrinya memang terbukti tidak setia, atau karena keduanya sekaligus.

Ada banyak kasus yang bahkan lebih parah, terjadi di masyarakat. Kita mungkin sering mendapati kasus-kasus itu diberitakan di media massa. Beberapa bulan yang lalu misalnya, seorang istri memasukkan laki-laki lain ke rumahnya di tengah malam saat suaminya masuk kerja shift tiga. Suaminya yang saat itu pulang mendadak marah karena ada lelaki tanpa baju terbirit-birit keluar dari rumahnya. Kejadian yang terjadi di sebuah daerah di Jawa Timur itu menjadi terkenal karena para tetangga mendemo memprotes wanita itu.

Bulan berikutnya juga ada kejadian mirip di daerah lain. Bedanya, wanita yang berselingkuh ditinggal kerja suaminya ke luar kota.

Betapa runyamnya hidup seperti itu. Ketika istri tidak setia. Ketika istri tidak menenangkan. Kalaupun tidak sampai pada level selingkuh separah dua kasus terakhir di atas, istri yang tidak setia 100% akan cukup menguras emosi suami. Ketidaktenangan saat berada di luar rumah, terlebih saat bekerja, tentu sangat mengganggu kesuksesan suami. Ibadah terpengaruhi tidak tenang, shalat tidak khusyu', dan seterusnya.

Akhwat, adalah wanita istimewa. Insya Allah tidak berlebihan jika saya menyebutkan demikian. Celupan tarbiyah Islamiyah membentuknya menjadi pribadi muslimah yang menjadikan iman sebagai orientasinya. Jadilah kesetiaan kepada Allah dan rasul-Nya sebagai prinsip hidupnya. Dengan demikian, kesetiaan kepada suami, kesetiaan pada ikatan pernikahan adalah harga mati yang terus dijaga sebagai wujud kesetiaan kepada Allah dan rasul-Nya. Suami di rumah maupun pergi, bersamanya maupun keluar kota, travelling atau bekerja, istri tetap setia; menjaga kepercayaan suaminya, menjaga kehormatan diri, rumah dan keluarganya.

Menikah dengan akhwat, dengan demikian merupakan langkah membangun keluarga yang tenang; sakinah. Suami tenang ketika di rumah, tenang pula ketika keluar rumah. Suami 100% percaya kepada istri, istri 100% menjaga kepercayaan itu. Suami tidak terganggu dengan prasangka terhadap istri, sehingga emosinya stabil dan terjaga. Ia pun bisa lebih khusyu' dalam beribadah, fokus dalam bekerja, concern dalam meniti karir dan serius dalam berdakwah.

"Maukah kutunjukkan kepadamu sebaik-baik milik lelaki?," sabda Rasulullah suatu ketika kepada Umar bin Khatab, "yaitu istri salihah yang jika dipandang suaminya ia menyenangkan, jika diperintah ia mentaati, dan jika ditinggal pergi ia menjaga diri."

Karakter wanita shalihah dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di atas insya Allah ada dalam diri akhwat. Karena itulah mengapa kita perlu -bahkan harus- menikah dengan akhwat. Bagaimana pendapat antum?

baca selengkapnya......

Diantara Kebaikan Seseorang adalah Meninggalkan Apa-Apa yang Tidak Bermanfaat Baginya

Oleh : Al-Haafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah

عَنْ أبي هريرةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، عن النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال : (( مِنْ حُسْنِ إسْلامِ المَرءِ تَرْكُهُ ما لا يَعْنِيهِ )) حديثٌ حَسَنٌ ، رَوَاهُ التِّرمذيُّ وغَيرُهُ

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda : “Di antara kebaikan seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan yang lainnya].

Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi[1] dan Ibnu Majah[2] dari riwayat Al-Auza’iy dari Qurrah bin ‘Abdirrahman, dari Az-Zuhriy, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata : “Ghariib”[3]. Akan tetapi hadits ini dihasankan oleh An-Nawawiy rahimahullah, kerana para perawinya adalah tsiqaat. Adapun Qurrah bin ‘Abdirrahman bin Haiwail, ia telah di-tsiqah-kan oleh sebagian ulama dan dilemahkan sebagian yang lain.[4]

bnu ‘Abdil-Barr berkata[5] : “Hadits ini mahfudh dari Az-Zuhriy dengan sanad ini dari para perawi yang tsiqah. Dan ini sesuai dengan penghasanan An-Nawawiy”.

Adapun sebagian besar para imam berkata : “Hadits ini tidak mahfudh dengan sanad ini. Ia hanyalah mahfudh dari Az-Zuhriy, dari ‘Aliy bin Al-Husain, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara mursal.[6] Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh sejumlah perawi tsiqah dari Az-Zuhriy , seperti Maalik dalam Al-Muwaththa’[7], Yunus, Ma’mar,[8] Ibraahiim bin Sa’d. Namun Ibraahiim bin Sa’d berkata :

من إيمان المرء تركه ما لا يعنيه

“Termasuk diantara keimanan seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya”.[9]

Di antara ulama yang mengatakan : “Hadits tersebut tidak shahih melainkan dari ‘Aliy bin Al-Husain secara mursal” ; adalah Al-Imam Ahmad, Yahya bin Ma’iin, Al-Bukhariy, dan Ad-Daaruquthniy.[10] Para perawi dla’iif telah keliru besar dalam periwayatan Az-Zuhriy. Yang shahih riwayat tersebut adalah mursal.

Diriwayatkan pula oleh ‘Abdullah bin ‘Umar[11] Al-‘Umariy, dari Az-Zuhriy, dari ‘Aliy bin Husain, dari ayahnya, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia (‘Abdullah bin ‘Umar) telah menyambungnya dan meletakkannya dalam musnad Al-Husain bin ‘Aliy.

Diriwayatkan pula oleh Ahmad dalam Musnad-nya dari jalur seperti di atas.[12] Adapun Al-‘Umariy, maka ia bukan seorang yang haafidh.[13]

Diriwayatkan pula oleh Ahmad dari jalur yang lain, dari Al-Husain, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun di-dlaif-kan oleh Al-Bukhariy dalam Taarikh-nya. Ia (Al-Bukhariy) berkata : “Tidak shahih kecuali dari jalan ‘Aliy bin Al-Husain secara mursal”.[14] Diriwayatkan pula dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari jalur-jalur lain, namun kesemuanya dla’iif.

Hadits ini merupakan salah satu prinsip yang agung dari berbagai prinsip tentang masalah adab. Al-Imam Abu ‘Amr bin Ash-Shalaah telah menghikayatkan dari Abu Muhammad bin Abi Zaid, seorang imam madzhab Malikiyyah dalam zamannya, bahwasannya ia berkata :

جماعُ آداب الخير وأزمته تتفرَّعُ من أربعة أحاديث : قول النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( مَنْ كَانَ يُؤمنُ باللهِ واليومِ الآخر فليَقُلْ خيراً أو ليَصْمُتْ )) ، وقوله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( مِنْ حُسْنِ إسلامِ المَرءِ تَركُهُ ما لا يَعْنِيهِ )) ، وقوله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ للذي اختصر له في الوصية : (( لا تَغْضَبْ )) ، وقوله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( المُؤْمِنُ يُحبُّ لأخيه ما يُحبُّ لنفسه ))

“Puncak permasalahan adab/etika bermuara pada empat macam hadits :

1. Sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam’.

2. Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Di antara kebaikan seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya’.

3. Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang diberi wasiat/nasihat secara ringkas : ‘Jangan marah’.

4. Dan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Orang mukmin itu mencintai untuk saudaranya apa-apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri’.

Makna hadits dalam bab ini : Bahwa di antara bentuk kebaikan keislaman seseorang adalah meninggalkan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat baginya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meringkas tentang ‘apa-apa yang tidak bermanfaat baginya’ dari macam perkataan dan perbuatan. Pengertian kata ya’niih (يَعْنِيهِ) adalah perhatiannya (‘inaayah) tertuju kepadanya, kemudian sesuatu tersebut menjadi maksud dan tujuannya. Adapun pengertian al-‘inaayah (العنايةُ) adalah perhatian ekstra terhadap sesuatu. Orang tersebut meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya dan tidak ia inginkan bukan kerana pertimbangan hawa nafsu dan tuntutan jiwa, namun kerana pertimbangam syari’at dan Islam. Oleh kerana itu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikan sikap seperti itu sebagai bukti kebaikan islamnya. Jadi, apabila keislaman seseorang itu baik, maka ia meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya dalam perkataan maupun perbuatan. Hal itu dikeranakan Islam mengharuskan seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban seperti telah dijelaskan dalam hadits Jibriil.[15]

Meninggalkan hal-hal yang diharamkan juga termasuk dalam keislaman yang sempurna dan terpuji, seperti sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

المسلمُ مَنْ سَلِمَ المسلمون من لسانه ويده

“Orang muslim itu adalah (jika) orang-orang muslim lainnya selamat dari (kejahatan) lidah dan tangannya”.[16]

Jadi, jika keislaman seseorang baik, ia meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya; baik itu hal-hal yang diharamkan, hal-hal syubhat, hal-hal makruh, dan hal-hal yang mubah yang berlebihan yang tidak ia butuhkan, kerana semua itu tidak bermanfaat bagi orang Muslim yang telah baik keislamannya dan mencapai tingkat ihsan yang tidak lain adalah ia menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya dan jika ia tidak melihat-Nya maka Allah melihatnya. Barangsiapa yang menyembah Allah dengan mengingat kedekatan Allah dan penglihatan kepada-Nya dengan hatinya, sungguh keislamannya telah baik dan mengharuskan ia meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat baginya dalam Islam, dan ia lebih sibuk dengan hal-hal yang bermanfaat baginya. Kedua sifat tersebut menghasilkan sifat malu kepada Allah dan meninggalkan apa saja yang membuatnya malu kepada-Nya, sebagaimana diwasiatkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada seseorang agar ia malu kepada Allah sebagaimana ia malu kepada salah seorang dari keluarganya yang baik yang tidak pernah berpisah darinya.

Dalam Al-Musnad dan (Sunan) At-Tirmidziy disebutkan hadits dari Ibnu Mas’ud secara marfu’ :

الاستحياء من الله تعالى أنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وما حَوَى ، وتَحفَظَ البَطنَ وما وَعَى ، ولْتَذْكُرِ الموتَ والبِلى ، فمن فَعَل ذلك ، فقد استحيَى من الله حقَّ الحياء

“Malu kepada Allah ta’ala adalah engkau menjaga kepala dan apa saja yang dikandungnya, perut dan apa saja yang dimuatnya, serta ingat mati dan musibah. Barangsiapa yang berbuat seperti itu, sungguh ia malu kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya”.[17]

Sebagian ulama salaf berkata :

استحي من الله على قدر قربه منك ، وخَفِ الله على قدر قدرته عليك .

“Malulah kepada Allah sesuai dengan kedekatan-Nya kepadamu, dan takutlah kepada-Nya sesuai dengan kekuasaan-Nya kepadamu”.

Salah seorang arif berkata :

إذا تكلمتَ فاذْكُر سَمعَ اللهِ لك ، وإذا سكتَّ فاذكر نظره إليك

“Jika engkau berbicara, ingatlah pendengaran Allah terhadapmu. Jika engkau diam, ingatlah penglihatan-Nya kepadamu”.[18]

Hal ini diisyaratkan Al-Qur’an di banyak tempat, seperti misal firman Allah ta’ala :

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (iaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” [QS. Qaaf : 16-18].

وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْآنٍ وَلا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُوداً إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الأَرْضِ وَلا فِي السَّمَاءِ وَلا أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْبَرَ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Qur’an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biar pun sebesar dzarrah (atom) di bumi atau pun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudh)” [QS. Yunus : 61].

أَمْ يَحْسَبُونَ أَنَّا لا نَسْمَعُ سِرَّهُمْ وَنَجْوَاهُمْ بَلَى وَرُسُلُنَا لَدَيْهِمْ يَكْتُبُونَ

“Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka” [QS. Az-Zukhruf : 80].

Hal yang tidak bermanfaat yang paling sering diinginkan untuk ditinggalkan oleh manusia adalah perkataan yang sia-sia seperti yang diisyaratkan dalam awal surat Qaaf.

Dalam Al-Musnad dari hadits Al-Husain, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

إنَّ من حُسْنِ إسلام المَرءِ قِلَّةَ الكَلامِ فيما لا يَعنيه

“Sesungguhnya merupakan kebaikan Islam seseorang adalah sedikitnya bicara hal-hal yang yang tidak bermanfaat baginya”.[19]

Diriwayatkan oleh Al-Kharaaithiy [20] dari hadits Ibnu Mas’uud :

أتى النَّبيَّ رجل ، فقال : يا رسول الله إني مطاعٌ في قومي فما آمرهم ؟ قال له : (( مُرْهُم بإفشاء السَّلام ، وقِلَّةِ الكلام إلا فيما يعنيهم )) .

“Seorang laki-laki mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ditaati oleh kaumku. Apa yang mesti aku perintahkan kepada mereka ?’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : ‘Perintahkan mereka untuk menyebarkan salam dan menyedikitkan bicara kecuali apa-apa yang bermanfaat bagi mereka”.

Dalam Shahih Ibni Hibbaan[21] dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :

كان في صحف إبراهيم عليه الصَّلاةُ والسلام : وعلى العاقل ما لم يكن مغلوباً على عقله أنْ تكونَ له ساعات : ساعةٌ يُناجي فيها ربَّه ، وساعةٌ يُحاسِبُ فيها نَفسه ، وساعةٌ يتفكَّرُ فيها في صُنع الله ، وساعةٌ يخلو فيها لحاجته من المطعم والمشرب ، وعلى العاقل أنْ لا يكون ظاعناً إلا لثلاث : تزوُّدٍ لمعاد ، أو مَرَمَّةٍ لمعاشٍ ، أو لذَّةٍ في غير محرَّم ، وعلى العاقل أنْ يكونَ بصيراً بزمانه ، مقبلاً على شأنه ، حافظاً للسانه ، ومَنْ حَسَب كلامَه من عمله قلَّ كلامُه إلا فيما يعنيه

“Dalam shuhuf-shuhuf Ibrahim ‘alaihis-salaam tertulis : ‘Orang berakal selama akalnya tidak dikalahkan, wajib mempunyai waktu-waktu. Iaitu, waktu untuki bermunajat kepada Rabbnya, waktu untuk mengevaluasi (muhasabah) dirinya, waktu untuk memikirkan ciptaan Allah, dan waktu yang ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan makan dan minumnya. Orang berakal wajib untuk tidak beranjak kecuali untuk tiga hal, iaitu mencari bekal untuk hari akhir, memperbaiki kehidupannya, atau mencari kenikmatan pada hal-hal yang tidak diharamkan. Orang berakal wajib melihat waktunya, menangani urusannya, dan menjaga lidahnya. Barangsiapa menghitung perkataannya termasuk bagian dari amal perbuatannya, niscaya ia sedikit berbicara kecuali apa-apa yang bermanfaat baginya”.

‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah berkata :

من عدَّ كلامه من عمله ، قلَّ كلامُه إلا فيما يعنيه

“Barangsiapa yang menghitung perkataannya merupakan bagian dari amal perbuatannya, niscaya ia akan sedikit berbicara kecuali apa-apa yang bermanfaat baginya”.[22]

Begitulah kurang lebih ucapan beliau.

Banyak manusia tidak menghitung ucapannya sebagai amal perbuatannya, akibatnya ia bicara tanpa aturan dan tidak terkendali. Hal ini pulalah yang tersembunyi bagi Mu’adz bin Jabal saat ia bertanya kepada Nabi shallalaahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah kita akan dihukum kerana apa yang kita katakan ?”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ثَكِلَتكَ أُمُّك يا معاذ ، وهل يكبُّ الناسَ على مناخرهم في النار إلا حصائدُ ألسنتهم

“Ibumu kehilangan engkau wahai Mu’adz. Tidaklah ada yang membuat manusia ke dalam neraka kecuali dari hasil lisan-lisan mereka”.[23]

Allah ta’ala telah menafikkan adanya kebaikan pada kebanyakan bisikan manusia terhadap sesama mereka, sebagaimana firman-Nya :

لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاس

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia” [QS. An-Nisaa’ : 114].

Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy[24] dan Ibnu Majah[25] dari hadits Umu Habiibah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :

كلُّ كلام ابن آدم عليه لا له إلا الأمرَ بالمعروفِ ، والنهيَ عن المنكر ، وذكر الله عز وكل

“Setiap perkataan anak Adam atasnya (dicatat sebagai keburukan) dan bukan untuknya (dicatat sebagai kebaikan), kecuali amar ma’ruf dan nahi munkar serta dzikir kepada Allah ‘azza wa jalla”.

Suatu kaum merasa heran atas hadits tersebut di sisi Sufyaan Ats-Tsauriy, kemudian Sufyaan berkata kepada mereka :

وما تعجُّبُكم من هذا، أليسَ قد قال الله تعالى: لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاس ؟ أليس قد قال تعالى : يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلائِكَةُ صَفّاً لا يَتَكَلَّمُونَ إِلاَّ مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَانُ وَقَالَ صَوَاباً ؟

“Kalian merasa heran dengan hadits ini ? Bukankah Allah ta’ala telah berfirman : ‘Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia’ (QS. An-Nisaa’ : 114). Dan bukankah Allah ta’ala juga berfirman : ‘Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar’ (QS. An-Naba’ : 38)”.

Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy dari hadits Anas, ia berkata :

تُوفِّيَ رجُلٌ من أصحابه – يعني : النَّبيّ – فقالَ رجل : أبشرْ بالجَنَّةِ ، فقالَ رسولُ الله صلى الله عليه وسلم : (( أو لا تدري ، فلعلَّه تَكلَّم بِما لا يَعنيه أو بَخِلَ بما لا يُغنِيه ))

“Salah seorang shahabat Nabi meninggal, kemudian seseorang berkata : ‘Bergembiralah ia dengan surga’. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Tidakkah engkau tahu, barangkali ia telah berkata-kata mengenai hal yang tidak bermanfaat baginya atau ia bakhil dengan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya ?”.[26]

Hal yang semakna juga diriwayatkan dari beberapa jalan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Di sebagian jalan tersebut disebutkan bahwa orang tersebut mati syahid.[27]

Diriwayatkan oleh Abul-Qaasim Al-Baghawiy dalam Mu’jam-nya dari hadits Syihaab bin Maalik yang marfu’ sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya ia mendengar beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan kemudian ada seorang wanita berkata kepada beliau : “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak mengucapkan salam kepada kami ?”. Maka beliau menjawab :

إنَّكِ من قَبيلٍ يُقَلِّلن الكثيرَ ، وتمنع ما لا يُغنيها ، وسؤالها عما لا يعنيها

“Sesungguhnya engkau termasuk wanita-wanita yang menyedikitkan sesuatu yang banyak, menolak memberikan sesuatu yang tidak dibutuhkan, dan bertanya pada sesuatu yang tidak bermanfaat baginya”.[28]

Diriwayatkan oleh Al-‘Uqailiy dari hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhua secara marfu’ :

أكثرُ الناسِ ذنوباً أكثَرُهُم كلاماً فيما لا يعنيه

“Kebanyakan manusia dalam keadaan berdosa kerana banyaknya perkataan dalam hal-hal yang tidak bermanfaat baginya”.[29]

Telah berkata ‘Amr bin Qais Al-Malaaiy :

مرَّ رجلٌ بلقمان والناسُ عندَه ، فقال له : ألستَ عبدَ بني فلان ؟ قال : بلى ، قال : الذي كنت ترعى عندَ جبلِ كذا وكذا ؟ قال : بلى ، قال : فما بلغ بك ما أرى ؟ قالَ : صِدْقُ الحديثِ وطولُ السُّكوت عما لا يعنيني

“Seorang laki-laki melewati Luqmaan yang ketika itu orang-orang sedang bersamanya. Kemudian Luqmaan berkata kepada orang tersebut : ‘Bukankah engkau budak si Fulan ?’. Orang tersebut menjawab : ‘Benar’. Luqmaan berkata : ‘Engkau menggembala di gunung ini dan itu ?’. Ia menjawab : ‘Benar’. Luqman berkata : ‘Apa yang menyebabkan engkau menjadi orang seperti yang aku lihat ?’. Ia menjawab : ‘Berkata dengan benar dan banyak diam terhadap apa saja yang tidak bermanfaat bagiku”.[30]

Telah berkata Wahb bin Munabbih :

كانَ في بني إسرائيل رجلان بلغت بهما عبادتهما أنْ مشيا على الماء ، فبينما هما يمشيان في البحر إذ هما برجل يمشي على الهواء ، فقالا لهُ : يا عبدَ الله بأيِّ شيء أدركت هذه المنـزلة ؟ قال : بيسيرٍ من الدُّنيا : فَطَمْتُ نفسي عن الشهوات ، وكففتُ لساني عما لا يعنيني ، ورغبتُ فيما دعاني إليه ، ولزمت الصمتَ ، فإنْ أقسمتُ على الله ، أبرَّ قسمي ، وإنْ سألته أعطاني .

“Pada kaum Bani Israaiil dulu terdapat dua orang yang ahli ibadah. Keduanya sampai pada puncak hingga boleh berjalan di atas air. Ketika keduanya sedang berjalan di atas laut, tiba-tiba keduanya melihat seseorang berjalan di atas udara, hingga kemudian dua orang tersebut berkata kepadanya : ‘Wahai hamba Allah, dengan apa hingga engkau bisa mencapai kedudukan ini ?’. Orang yang bisa berjalan di udara tersebut menjawab : ‘Dengan sesuatu yang sedikit dari dunia ini. Aku membuang diriku dari seluruh syahwat, menjaga lidahku dari apa-apa yang tidak bermanfaat bagiku, senang kepada apa saja yang diserukan kepadaku, dan selalu diam. Jika aku bersumpah dengan nama Allah, maka Dia mengabulkannya. Jika aku meminta sesuatu kepada-Nya, maka Dia memberiku”.

Beberapa orang masuk ke salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang sedang sakit, namun ketika itu wajahnya berseri-seri. Mereka bertanya kepada shahabat tersebut mengenai sebab wajahnya yang berseri-seri. Maka ia menjawab :

ما مِنْ عمل أوثقَ عندي من خَصلتين: كنت لا أتكلم فيما لا يعنيني، وكان قلبي سليماً للمسلمين

“Tidak ada amalan yang lebih kuat bagiku daripada dua hal berikut : Aku tidak bicara dalam hal-hal yang tidak bermanfaat bagiku dan hatiku redha kepada kaum muslimin”.

Telah berkata Muwarriq Al-‘Ijilliy :

أمرٌ أنا في طلبه منذ كذا وكذا سنة لم أقدِرْ عليه ولستُ بتاركٍ طلبه أبداً ، قالوا : وما هو ؟ قالَ : الكفُّ عما لا يعنيني

“Ada sesuatu yang aku cari yang sudah sekian tidak aku temukan. Namun aku tidak putus asa untuk selalu mencarinya”. Orang-orang bertanya : “Apakah itu ?”. Ia (Al-Muwarriq) menjawab : “Menahan diri dari apa saja yang tidak bermanfaat bagiku”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dun-yaa).[31]

Diriwayatkan oleh Asad bin Musa : Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’syar[32], dari Muhammad bin Ka’b, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

(( أوَّل من يَدخُلُ عليكم رَجُلٌ من أهل الجنة )) فدخل عبدُ الله بنُ سلام ، فقامَ إليه ناسٌ ، فأخبروه ، وقالوا له : أخبرنا بأوثق عَمَلِكَ في نَفسِكَ ، قال : إنَّ عملي لضعيف ، أوثقُ ما أرجو به سلامةُ الصدر ، وتركي ما لا يعنيني .

“Orang yang pertama kali mendatangi kalian adalah seorang dari penghuni surga”. Setelah itu datanglah ‘Abdullah bin Salaam, lalu orang-orang mendatanginya dan menceritakan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepadanya. Mereka berkata : “Ceritakan kepada kami tentang amalan paling kuat yang ada pada dirimu”. Ia pun menjawab : “Sesungguhnya amalanku adalah lemah. Dan yang paling kuat yang aku harap dengannya adalah lapang dada dan aku bisa meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat bagiku”.

Abu ‘Ubaidah meriwayatkan dari Al-Hasan, ia berkata :

مِنْ علامة إعراض الله تعالى عن العبد أنْ يجعل شغله فيما لا يعنيه

“Di antara bukti bahwa Allah ta’ala berpaling dari seorang hamba adalah Dia akan menyibukkan orang tersebut dalam hal yang tidak bermanfaat baginya”.

Telah berkata Sahl bin ‘Abdillah At-Tusturiy :

من تكلم فيما لا يعنيه حُرِم الصدق

“Barangsiapa yang berkata-kata dalam hal yang tidak bermanfaat baginya, niscaya ia akan terhalang dari kebenaran”.[33]

Ma’ruuf berkata :

كلام العبد فيما لا يعنيه خذلان من اللهِ عز وجل

“Perkataan seorang hamba dalam hal yang tidak bermanfaat baginya merupakan penghinaan dari Allah ‘azza wa jalla (pada dirinya)”.[34]

Hadits dalam bab ini menunjukkan bahwa meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat oleh seseorang sebagai bukti kebaikan Islamnya. Apabila ia meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat dan mengerjakan yang bermanfaat, sungguh kebaikan keislamannya telah sempurna. Banyak sekali hadits yang berbicara tentang keutamaan seseorang yang baik keislamannya, dilipat-gandakan kebaikan-kebaikannya, dan dihapuskan kesalahan-kesalahannya. Secara dhahir, banyaknya pelipat-gandaan tergantung pada seberapa baik keislaman seseorang. Dalam Shahih Muslim[35] dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :

إذا أحْسَنَ أَحَدُكُم إسلامَهُ ، فكُلُّ حَسَنةٍ يَعْمَلُها تُكتَبُ بِعَشرِ أَمْثالِها إلى سبعِ مئة ضعفٍ ، وكلُّ سَيِّئةٍ يعملها تُكتَبُ بمثلِها حتَّى يَلقى الله عز وجل

“Apabila salah seorang di antara kalian memperbaiki keislamannya, maka setiap kebaikan yang ia lakukan akan ditulis pahala sepuluh kali hingga tujuh ratus kali lipat. Dan setiap kejelekan yang ia lakukan akan ditulis satu kejelekan yang serupa hingga ia bertemu dengan Allah ‘azza wa jalla”.

Satu kebaikan dilipatgandakan hingga sepuluh kali lipat adalah satu keniscayaan. Pelipatgandaan kebaikan tersebut sangat terkait dengan kebaikan keislaman seseorang, keikhlasan niat, serta kebutuhan kepada amal perbuatan tersebut dan keutamaannya – seperti menafkahkan harta untuk jihad, melaksanakan haji, memberikan nafkah kepada sanak famili, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan saat-saat dimana pemberian nafkah sangat diperlukan. Hal ini diperkuat oleh satu hadits yang diriwayatkan oleh ‘Athiyyah, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata :

نزلت : {مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا} في الأعراب ، قيل له : فما للمهاجرين؟ قال : ما هو أكثرُ ، ثم تلا قوله تعالى : {وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْراً عَظِيماً}

“Diturunkan ayat : ‘Barang siapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya’ (QS. Al-A’raaf : 160) kepada orang-orang Arab Badui, maka dikatakan kepada Ibnu ‘Umar : ‘Apa yang didapatkan oleh kaum Muhaajirin ?’. Ia (Ibnu ‘Umar) menjawab : ‘Lebih banyak dari itu’. Kemudian membaca ayat : ‘Dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar’ (QS. An-Nisaa’ : 40)”.[36]

An-Nasa’iy[37] meriwayatkan dari hadits Abu Sa’iid, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :

إذا أسلمَ العبدُ فحَسنُ إسلامُهُ ، كَتبَ الله له كُلَّ حَسنةٍ كان أزلَفَها ، ومُحِيتْ عنه كُلُّ سيئة كان أزلَفَها ، ثم كان بَعْدَ ذلك القِصَاصُ ، الحسَنَةُ بِعَشْر أمثالِها إلى سَبع مئةِ ضِعفٍ ، والسَّيِّئَةُ بمِثلِها إلا أنْ يتجاوَزَ الله، وفي رواية أخرى : (( وقيلَ له : استأنفِ العمل )) .

“Jika seorang hamba masuk Islam dan bagus keislamannya, akan ditulis oleh Allah segala kebaikan yang dulu pernah ia kumpulkan dan dihapus darinya setiap kesalahan yang pernah ia kumpulkan. Setelah itu, yang ada adalah qishash : satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat dan satu kejelekan akan dihitung dengan satu kesalahan yang serupa, kecuali jika Allah memaafkannya”. Dalam lain riwayat : “Dikatakan kepadanya : “Mulailah beramal”.

Yang dimaksud dengan segala kebaikan dan kesalahan yang pernah dikumpulkan adalah kebaikan dan kesalahan yang pernah dilakukan sebelum masuk Islam. Ini menunjukkan bahwa seseorang diberi pahala kerana kebaikan-kebaikannya sebelum masuk Islam dan kesalahan-kesalahannya dihapus darinya jika masuk Islam, dengan syarat : Keislamannya baik dan menjauhi segala kesalahan tersebut setelah masuk Islam. Hal ini ditegaskan oleh Al-Imam Ahmad, dan ditunjukkan pula dalam Shahiihain[38] dari Ibnu Mas’uud, ia berkata :

قلنا : يا رسول الله ، أنؤاخذ بما عملنا في الجاهلية ؟ قال : (( أمَّا مَنْ أحسَنَ منكم في الإسلام فلا يُؤَاخَذُ بها ، ومن أساءَ أُخِذَ بعمله في الجاهلية والإسلام ))

“Kami bertanya : ‘Wahai Rasulullah, apakah kami dihukum kerana apa yang kami lakukan pada masa Jahiliyyah ?’. Beliau menjawab : ‘Barangsiapa di antara kalian berbuat baik di masa Islam, ia tidak dihukum kerana kesalahan yang ia perbuat sebelum (masuk) Islam. Dan barangsiapa berbuat tidak baik, maka ia dihukum kerana perbuatannya pada masa Jahiliyyah dan masa Islam”.

Dalam Shahih Muslim dari ‘Amr bin Al-‘Aash :

قال للنَّبيِّ صلى الله عليه وسلم لما أسلم : أريدُ أنْ أَشْتَرطَ ، قال : (( تشترط ماذا ؟ )) قلتُ : أنْ يُغْفَرَ لي ، قال : (( أما عَلمتَ أنَّ الإسلامَ يَهدِمُ ما كان قبله ؟ ))

Ia pernah berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku ingin membuat persyaratan”. Beliau bersabda : “Apa yang ingin engkau persyaratkan ?”. Aku menjawab : “Aku diampuni (oleh Allah)”. Beliau bersabda : “Tidakkah engkau ketahui bahwa Islam menghapus segala dosa/kesalahan yang dilakukan sebelum Islam”.[39]

Diriwayatkan juga oleh Al-Imam Ahmad dengan lafadh :

إنَّ الإسلام يَجُبُّ ما كان قبله من الذنوب

“Sesungguhnya Islam menghapus dosa-dosa sebelumnya”.[40]

Hal ini dibawa pada keadaan keislaman seseorang yang baik lagi sempurna sebagaimana hadits di atas dan hadits Ibnu Mas’uud yang disebutkan sebelumnya.

Disebutkan juga dalam Shahih Muslim[41] dari Hakiim bin Hizaam, ia berkata :

قلتُ : يا رسول الله أرأيتَ أموراً كنت أصنعها في الجاهلية من صدقة أو عتاقة أو صلة رحم ، أفيها أجرٌ ؟ فقال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم : (( أَسْلَمْتَ على ما أَسْلَفْتَ من خيرٍ )) وفي رواية له : قال : فقلتُ : والله لا أدعُ شيئا صنعتُه في الجاهلية إلا صنعتُ في الإسلام مثله .

Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang banyak hal yang aku kerjakan pada masa Jahiliyyah, misalnya shadaqah, memerdekakan budak, dan silaturahim. Apakah aku mendapatkan pahala padanya ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Engkau masuk Islam dengan kebaikan yang telah engkau lakukan”. Dalam lain riwayat : Aku (Hakiim bin Hizaam) berkata : “Demi Allah, aku tidak meninggalkan apapun yang pernah aku kerjakan pada masa Jahiliyyah melainkan aku kerjakan yang semisal pada masa Islam”.

Ini menunjukkan bahwa kebaikan-kebaikan orang kafir jika ia masuk Islam diberikan pahala sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abu Sa’iid Al-Khudriy sebelumnya.

Dikatakan juga : Sesungguhnya kesalahan-kesalahannya dalam berbuat kesyirikan diganti dengan kebaikan-kebaikan serta diberikan pahala berdasarkan firman Allah ta’ala :

وَالَّذِينَ لا يَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهاً آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَاناً إِلاَّ مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحاً فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan” [QS. Al-Furqaan : 68-70].

Para mufassirin berbeda pendapat mengenai makna pergantian dalam dua perkataan :

1. Ada yang mengatakan pergantian itu terjadi di dunia dalam arti Allah mengganti kekafiran dan kemaksiatan orang yang masuk Islam dan bertaubat kepada-Nya dengan iman dan amal shalih. Penafsiran ini diriwayatkan oleh Ibraahiim Al-Harbiy dalam Ghariibul-Hadiits, dari kebanyakan mufassiriin diantaranya : Ibnu ‘Abbas, ‘Atha’, Qataadah, As-Suddiy, dan ‘Ikrimah.

Aku (Ibnu Rajab) katakan : Penafsiran ini masyhur dari Al-Hasan.

Ada yang mengatakan : Telah berkata Al-Hasan, Abu Maalik, dan yang lainnya : “Penggantian tersebut khusus terjadi pada orang-orang musyrik dan tidak terjadi pada orang Islam”. Aku (Ibnu Rajab) katakan : Ucapan ini benar dengan syarat bahwa penggantian tersebut terjadi di akhirat sebagaimana akan disebutkan. Jika dikatakan penggantian tersebut di dunia, orang kafir yang masuk Islam dan orang Muslim yang bertaubat sama saja. Bahkan jika orang Muslim bertaubat, ia lebih baik daripada orang kafir masuk Islam.

2. Yang lain mengatakan bahwa penggantian tersebut terjadi di akhirat. Makna ayat itu bahwa Aku (Allah) mengganti setiap kesalahan dengan kebaikan untuk mereka. Di antara ulama memegang pendapat ini di antaranya : ‘Amr bin Maimun, Mak-huul, Ibnul-Musayyib, ‘Ali bin Al-Husain. Al-Harbiy berkata : “Pendapat ini diingkari oleh Abul-‘Aliyyah, Mujaahid, dan Khaalid bin Sablaan kerana pada pendapat kedua ini ada alasan untuk menolaknya”. Setelah itu, Al-Harbiy menyebutkan pendapatnya yang berkesimpulan bahwa pendapat kedua mengharuskan orang yang banyak kesalahannya lebih baik daripada orang yang sedikit kesalahannya, kerana setiap kesalahan akan diganti dengan kebaikan. Al-Harbiy berkata : “Jika ada orang yang berkata : Sesungguhnya Allah menyebutkan bahwa Dia mengganti kesalahan-kesalahan dengan kebaikan-kebaikan tanpa menyebutkan jumlah bagaimana kesalahan-kesalahan tersebut diganti dengan kebaikan-kebaikan. Maka makna penggantian adalah : Barangsiapa mengerjakan satu kesalahan dan bertaubat darinya, maka kesalahannya diganti dengan seratus ribu kebaikan. Dan barangsiapa mengerjakan mengerjakan serribu kesalahan, maka akan diganti dengan seribu kebaikan. Jika makna pendapat tersebut seperti itu, tentu orang yang sedikit kesalahannya itu lebih baik.

Aku (Ibnu Rajab) katakan : “Perkataan ini – iaitu penggantian yang terjadi di akhirat – diingkari oleh Abul-‘Aliyyah. Abul-‘Aliyyah membaca firman Alah ta’ala :

يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُحْضَراً وَمَا عَمِلَتْ مِنْ سُوءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ أَمَداً بَعِيداً

“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (di mukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; Ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh” [QS. Aali ‘Imraan : 30].

Sebagian ulama juga menyanggah pendapat kedua ini dengan firman Allah ta’ala :

وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرّاً يَرَهُ

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula” [QS. Al-Zalzalah : 8].

وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلا كَبِيرَةً إِلا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِراً وَلا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَداً

“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun” [QS. Al-Kahfi : 49].

Akan tetapi, hal ini dapat dijawab balik bahwa orang yang bertaubat dihentikan pada kesalahan-kesalahannya, kemudian kesalahan-kesalahan itu diganti dengan kebaikan-kebaikan. Abu ‘Utsman An-Nahdiy berkata[42] :

إنَّ المؤمن يُؤتى كتابَه في ستر من الله عز وجل، فيقرأ سيئاته ، فإذا قرأ تغيَّر لها لونُه حتّى يمرَّ بحسّناته، فيقرؤها فيرجع إليه لونه ، ثم ينظر فإذا سيئاتُه قد بُدِّلت حسّناتٍ، فعند ذلك يقول : هَاؤُمُ اقْرَأوا كِتَابِيَهْ

“Sesungguhnya seorang mukmin diberikan buku catatan amalnya yang tertutup dari Allah ‘azza wa jalla, kemudian ia membaca kesalahan-kesalahannya. Jika ia telah membacanya, warna kulitnya berubah hingga ia membaca kebaikan-kebaikannya. Ia baca kebaikan-kebaikanya hingga warna kulitnya kembali seperti semula. Ia melihat lagi, ternyata kesalahan-kesalahannya telah diganti dengan kebaikan-kebaikan. Ketika itu Allah ta’ala berfirman : ‘Ambillah, bacalah kitabku (ini) (QS. Al-Haaqqah : 19)”.

Perkataan tersebut di riwayatkan oleh sebagian ulama dari Abu ‘Utsmaan, dari Ibnu Mas’uud. Sebagian lain mengatakan : Dari Abu ‘Utsmaan, dari Salmaan.[43]

Dalam Shahih Muslim[44] dari hadits Abu Dzarr, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :

إنِّي لأعْلَمُ آخِرَ أهلِ الجنَّةِ دُخولاً الجنَّة ، وآخِرَ أهلِ النار خروجاً منها ، رجلٌ يُؤتَى به يوم القيامةِ فيقال : اعرضُوا عليه صِغارَ ذنوبه ، وارفَعُوا عنه كِبارَهَا ، فيعْرِضُ الله عليه صِغَارَ ذنوبهِ ، فيقال له : عَمِلْتَ يوم كذا وكذا كذا وكذا ، وعَمِلْتَ يوم كذا وكذا كذا وكذا ، فيقول : نعم ، لا يستطيعُ أنْ يُنكر وهو مشفقٌ من كبار ذنوبه أنْ تعرض عليهِ ، فيقال له : فإنَّ لك مكانَ كُلِّ سيئةٍ حسنةً ، فيقول : يا ربِّ قد عمِلْتُ أشياء لا أراها هاهنا )) قال : فلقد رأيتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم ضَحِكَ حتَّى بدتْ نواجذه .

“Sesungguhnya aku tahu penghuni suga yang terakhir masuk dan penghuni neraka yang terakhir keluar darinya. Pada hari kiamat, seseorang didatangkan kemudian dikatakan : ‘Perlihatkan kepada orang ini dosa-dosa kecilnya dan angkat dosa-dosa besar darinya’. Allah menampakkan kepada orang tersebut dosa-dosa kecilnya kemudian dikatakan kepadanya : ‘Engkau melakukan ini dan itu pada hari ini. Engkau melakukan ini dan itu pada hari ini’. Orang tersebut berkata : ‘Benar’. Ia tidak dapat memungkirinya kerana takut dosa-dosa besar diperlihatkan kepadanya. Dikatakan kepada orang tersebut : ‘Engkau berhak atas setiap penggantian setiap kesalahan dengan kebaikan’. Orang tersebut berkata : ‘Wahai Rabb-ku, aku telah melakukan banyak hal , tapi tidak melihatnya di sini”. Abu Dzarr berkata : “Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tertawa hingga terlihat gigi geraham beliau”.

Apabila kesalahan-kesalahan diganti dengan kebaikan-kebaikan bagi orang yang disiksa kerana dosa-dosanya di neraka, maka pemberlakukan pergantian bagi orang yang kesalahan-kesalahannya dihapus dengan Islam dan taubat tentu lebih utama, kerana penghapusan kesalahan-kesalahan dengan Islam dan taubat lebih disukai Allah daripada dihapus dengan siksa.

Al-Haakim[45] meriwayatkan dari jalan Al-Fadhl bin Musa, dari Abu Al-‘Anbas, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

ليتَمنَّينَّ أقوامٌ أنَّهم أكثَرُوا من السيِّئاتِ ، قالوا : بِمَ يا رسولَ الله ؟ قالَ : الذين بَدَّل الله سيئاتهم حسّنات

“Pastilah kaum-kaum mendambakan menjadi orang yang paling banyak kesalahan-kesalahannya”. Para shahabat bertanya : “Mengapa wahai Rsulullah ?”. Beliau menjawab : “Kerana mereka adalah orang-orang yang kesalahan-kesalahannya diganti Allah dengan kebaikan”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim[46] dari jalan Sulaiman Abu Daawud Az-Zuhriy, dari Abul-‘Anbas, dari ayahnya, dari Abu Hurairah secara mauquf. Yang benar hadits tersebut adalah marfu’.[47]

Pendapat kedua di atas juga diriwayatkan sebagai pendapat Al-Hasan Al-Bashriy, dan itu menyelisihi pendapatnya sebelum ini, kerana juga diriwayatkan darinya bahwa ia berpendapat penggantian kesalahan dengan kebaikan itu terjadi di dunia.[48]

Adapun yang disebutkan oleh Al-Harbiy tentang penggantian kesalahan dengan kebaikan, orang yang sedikit kesalahannya ditambah kebaikan-kebaikannya, dan orang yang banyak kesalahan-kesalahannya akan disedikitkan kebaikan-kebaikannya; maka hadits Abu Dzarr di atas secara tegas membantahnya. Dan yang benar adalah setiap kesalahan diganti dengan kebaikan.

Adapun perkataan Al-Harbiy bahwa pendapat kedua mengkonsekuensikan orang yang banyak kesalahannya menjadi lebihbaik dariada orang yang sedikit kesalahannya, maka dapat dikatakan bahwa penggantian kesalahan dengan kebaikan itu berlaku bagi orang yang menyesali kesalahan-kesalahannya dan meletakkannya di kedua pelupuk matanya. Jika ia ingat kesalahan-kesalahannya, ia semakin takut, malu kepada Allah, dan bersegera mengerjakan amal-amal yang bisa menghapus kesalahan, sebagaimana firman Allah ta’ala :

إِلاَّ مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحاً

“Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal shalih” [QS. Al-Furqaan : 70].

Semua yang telah kami sebutkan masuk dalam amal shalih. Barangsiapa keadaannya seperti itu, ia lebih mampu meneguk pahitnya penyesalan dan kesedihan atas dosa-dosanya daripada ia merasakan kelezatan/kenikmatan saat mengerjakan (kesalahan-kesalahan) itu. Dan setiap dosanya mnjadi amal shalih yang menghapus kesalahan. Setelah ini, pengantian dosa-dosa (kesalahan-kesalahan) dengan kebaikan-kebaikan tidaklah dapat untuk diingkari.

Banyak sekali hadits yang menyatakan bahwa jika orang kafir masuk Islam dan keislamannya baik, maka kesalahan-kesalahannya di jaman kesyirikan diganti dengan kebaikan-kebaikan. Ath-Thabaraniy[49] dari hadits ‘Abdurahman bin Jubair bin Nufair, dari Abu Farwah Syathab : Bahwasannya ia datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata :

أرأيتَ رجلاً عَمِلَ الذنوب كُلَّها ، ولم يترك حاجةً ولا داجةً ، فهل له مِنْ توبة ؟ فقالَ : (( أسلمتَ ؟ )) قال : نَعَمْ ، قال: (( فافعلِ الخيراتِ ، واترك السيئاتِ ، فيجعلها الله لك خيراتٍ كلّها))، قال : وغَدَرَاتي وفَجَرَاتي ؟ قال : (( نعم )) ، قال : فما زال يُكبِّرُ حتّى توارَى

“Bagaimana pendapatmu tentang orang yang mengerjakan seluruh dosa, tidak meninggalkan kebutuhan besar maupun kecil, apakah taubatnya diterima ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Apakah engkau sudah masuk Islam ?”. Abu Farwah menjawab : “Ya, sudah”. Beliau bersabda : “Kerjakanlah kebaikan-kebaikan dan tinggalkanlah kejelekan-kejelekan’ Nisacaya Allah akan menjadikan kejelekan-kejelekanmu sebagai kebaikan-kebaikan untukmu”. Abu Farwah berkata : “Termasuk pengkhianatan dan kejahatanku ?”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ya”. Abu Farwah terus-menerus bertakbir hingga menghilang”.

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy[50] dari jalur yang lain dengan sanad dla’if dari Salamah bin Nufail, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnu Abi Haatim meriwayatkan hadits yang semisal dari Mak-huul secara mursal. Al-Bazzaar[51] meriwayatan hadits pertama : Dari Abu Thawiil Syathab Al-Mamduud[52] : Bahwasannya ia mendatangi Nabi shallllaahu ‘alaihi wa sallam dan seterusnya yang semakna dengan hadits di atas. Begitu pula Abul-Qaasim Al-Baghawiy meriwayatkan dalam Mu’jam-nya. Ia menyebutkan : Yang benar, hadits di atas berasal dari ‘Abdurahman bin Jubair bin Nufair secara mursal : bahwasannya seorang laki-laki yang tinggi badannya (thawiy syathb) datang kepada Nabi shallallaau ‘alaihi wa sallam. Syathb artinya memanjang. Sebagian perawi salah tulis dan mengira kalimat itu merupakan nama orang laki-laki tersebut.[53]

[Selesai - Diketik oleh Abu Al-Jauzaa’ dari Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam karya Al-Haafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah].
[1] Dalam Al-Jaami’ Al-Kabiir (no. 2317).

[2] Dalam Sunan-nya (no. 3976).

[3] Ia menyebutkannya dalam Al-Jaami’ Al-Kabiir di bawah hadits no. 2317. Lihat Tahfatul-Asyraaf 10/432 (no. 1534).

[4] Diantara yang men-tsiqah-kannya adalah Al-Auzaiy, dimana ia berkata : “Tidak ada seorangpun yang lebih mengetahui riwayat Az-Zuhriy daripada Qurrah bin ‘Abdirrahman bin Haiwail”.

Adapun yang melemahkannya antara lain adalah Ahmad bin Hanbal, ia berkata : “Munkarul-hadiits jiddan”. Yahya bin Ma’in berkata : “Dla’iiful-hadiits”. Abu Zur’ah berkata : “Hadits-hadits yang diriwayatkannya diingkari”. Abu Haatim berkata : “Tidak kuat (laisa bil-qawiy)”.

Lihat Al-Jarh wat-Ta’diil 7/177 (no. 2295).

[5] Perkataan Ibnu ‘Abdil-Barr ini tidak ditemui dalam kitab At-Tamhiid.

[6] Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ (no. 2628) dari riwayat Al-Laitsiy, Al-Bukhariy dalam At-Taarikh Al-Kabiir 4/188, At-Tirmidziy (no. 2318), Ar-Raamahurmuziy dalam Al-Muhaddits Al-Faashil (no. 90), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 8/249, Al-Qadlaa’iy dalam Musnad Asy-Syihaab (no. 193), dan Al-Baghawiy (no. 4133) dari beberapa jalan, dari Az-Zuhriy, dari ‘Aliy bin Al-Husain secara mursal.

[7] Al-Muwaththa’ (no. 2628) dari riwayat Al-Laitsiy.

[8] Dari Yunus, diriwayatkan oleh Ma’mar dalam Jaami’-nya (no. 20617) dan Al-Qadlaa’iy dalam Musnad Asy-Syihaab (no. 193).

[9] Riwayat Ibraahiim bin Sa’d ini tidak diketemukan. Wallaahu a’lam.

[10] Perkataan Al-Imam Ahmad dan Yahya bin Ma’in ini tidak diketemukan, sedangkan perkataan Al-Bukhariy ada dalam At-Taariikh Al-Kabiir 4/188 dan Ad-Daaruquthniy dalam Al-‘Ilal 3/108 (no. 310).

[11] Terjadi perubahan/kesalahan tulis dalam sebagian naskah/manuskrip menjadi ‘Amr. Yang benar adalah ‘Umar sebagai tertulis di atas. Lihat Al-Jarh wat-Ta’diil 5/131 (no. 499).

[12] Dalam Musnad-nya 1/201.

[13] Ahmad bin Hanbal berkata : “Shaalih, tidak mengapa dengannya. Telah diriwayatkan darinya, namun kedudukannya tidaklah seperti ‘Ubadullah”. Yahya bin Ma’iin berkata : “Termasuk orang-orang shaalih”. Lihat Al-Jarh wat-Ta’diil 5/131 (no. 499).

Adz-Dzahabiy berkata : “Jujur, namun dalam hafalannya ada sesuatu (shaduuq, fii hifdhihi syai’)”. Ibnul-Madini : “Abdullah dla’iif”. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia termasuk orang-orang yang unggul dalam keshalihan dan ibadah hingga ia terlalaikan untuk menghapal khabar. Ia pun kekurangan dalam hafalan terhadap atsar. Ketika kesalahan parah, maka lebih pantas untuk ditinggalkan”. Lihat Miizaanul-I’tidaal 2/465 (no. 4472).

[14] Lihat At-Taariikh Al-Kabiir 4/188.

[15] Hadits Jibril yang dimaksud adalah :

عَنْ عُمَرَ بن الخَطَّابِ رضي الله عنه، قال : بَينَمَا نَحْنُ جلوس عندَ رَسولِ الله صلى الله عليه وسلم ذاتَ يومٍ ، إذْ طَلَعَ علينَا رَجُلٌ شَدِيدُ بياضِ الثِّيابِ ، شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعْرِ ، لا يُرى عليهِ أثَرُ السَّفَر ، ولا يَعرِفُهُ مِنّا أحدٌ ، حتَّى جَلَسَ إلى النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم ، فأسنَدَ رُكْبَتَيْهِ إلى رُكْبَتَيْهِ ، ووضع كَفَّيه على فَخِذيه ، وقالَ : يا مُحَ مَّدُ ، أخبِرني عَنِ الإسلامِ . فقال رَسولُ الله صلى الله عليه وسلم : (( الإسلامُ : أنْ تَشْهَدَ أنْ لا إلهَ إلاَّ الله ، وأنَّ محمَّداً رسولُ اللهِ ، وتُقيمَ الصَّلاةَ ، وتُؤتِي الزَّكاةَ ، وتصومَ رمضَانَ ، وتَحُجَّ البَيتَ إن استَطَعتَ إليه سبيلاً )) . قال : صَدَقتَ ، قال : فَعَجِبنا لَهُ يسأَلُهُ ويصدِّقُهُ . قال: فأخْبِرني عَنِ الإيمان . قال : (( أنْ تُؤْمِنَ باللهِ وملائِكَته وكُتُبِه، ورُسُله، واليَومِ الآخِرِ ، وتُؤْمِنَ بالقَدرِ خَيرِهِ وشَرِّهِ )) . قالَ : صَدَقتَ . قالَ : فأخْبِرنِي عنِ الإحْسَانِ ، قال : (( أنْ تَعبُدَ اللهَ كأنَّكَ تَراهُ ، فإنْ لَمْ تَكُنْ تَراهُ فإنَّهُ يراكَ )) . قال : فأخبِرني عَنِ السَّاعةِ ؟ قال : (( مَا المَسؤُولُ عَنْهَا بأعلَمَ مِنَ السَّائِل )) . قال : فأخبِرني عنْ أَمارَتِها ؟ قال : (( أنْ تَلِد الأمَةُ رَبَّتَها، وأنْ تَرى الحُفاة العُراة العَالةَ رعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلونَ في البُنيانِ )) . ثُمَّ انْطَلَقَ ، فلبثْتُ مَليّاً ، ثمَّ قال لي : (( يا عُمَرُ ، أتَدرِي مَنِ السَّائل ؟ )) قلتُ : الله ورسولُهُ أعلَمُ . قال : (( فإنَّهُ جِبريلُ أتاكُم يُعَلِّمُكُم دِينَكُم ))

Dari ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Ketika kami sedang berada di samping Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari, tiba-tiba muncullah pada kami orang yang pakaiannya sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak terlihat padanya bekas-bekas perjalanan, dan tidak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Orang tersebut duduk di dekat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, menyandarkan kedua lututnya ke lutut beliau, dan meletakkan kedua tangannya ke kedua paha beliau. Orang tersebut berkata : “Wahai Muhammad, terangkanlah Islam kepadaku”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Islam itu adalah hendaknya engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan berhaji ke Baitullah jika engkau mendapatkan jalan kepadanya”. Orang tersebut berkata : “Engkau benar”. Kami heran padanya; ia bertanya kepada kepada beliau, namun ia juga membenarkannya. Orang tersebut berkata lagi : “Terangkanlah iman kepadaku”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Hendaknya engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta beriman kepada takdir, baik dan buruknya”. Orang tersebut berkata : “Engkau benar. Kemudian terangkanlah ihsan kepadaku”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Hendaknya engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu”. Orang tersebut berkata : “Terangkan hari kiamat kepadaku”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Orang yang ditanya tidaklah lebih tahu dari yang bertanya”. Oang tersebut berkata : “Terangkan kepadaku tanda-tanda hari kiamat”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Seorang budak melahirkan tuannya; engkau melihat orang yang telanjang kaki, telanjang badan, faqir, dan penggembala kambing saling meninggikan bangunan”. Setelah itu orang tersebut pergi dn aku tetap berada di tempat lama sekali hingga akhirnya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku : “Wahai ‘Umar, tahukah engkau siapa orang yang bertanya tadi ?”. Aku berkata : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau bersabda : “Orang tadi adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama pada kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 8; Ahmad 8/27,51,52,53; Abu Dawud no. 4695; At-Tirmidzi no. 2610; An-Nasa’iy 8/97; Ibnu majah no. 63; Ibnu mandah dalam Al-Iman no. 1,14; Abu Ya’la no. 242; Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah 7/69-70; dan yang lainnya].

[16] Diriwayatkan oleh Ahmad 2/379, At-Tirmidziy (no. 2627), An-Nasa’iy 8/104-105, Ibnu Hibban (no. 180), dan Al-Haakim 1/10, dari beberapa jalan, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhariy 1/9 (no. 10), Muslim 1/48 (no. 41), Abu Dawud (no. 2481), dan Ibnu Hibbaan (no. 196) dari beberapa jalan, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radliyallaahu ‘anhuma, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Diriwayatkan juga oleh Ath-Thayaalisiy (no. 1777), Ahmad 3/372, Muslim 1/48 (no. 41), dan Ibnu Hibbaan (no. 197) dari beberapa jalan, dari Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

[17] Diriwayatkan oleh Ahmad 1/387 dan At-Tirmidziy no. (2458).

Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 34320), Abu Ya’laa (no. 5047), Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir (no. 10290), Al-Haakim 4/323, Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 4/209, serta Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iman (no. 7730 dan 10561). Sanad hadits ini adalah dla’if kerana ke-dla’if-an Ash-Shabbaah bin Muhammad. Al-‘Uqailiy menyebutkannya dalam Adl-Dlu’afaa’. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia meriwayatkan beberapa riwayat palsu dari perawi-perawi tsiqah”. Al-Mundziri berkata dalam At-Targhiib wat-Tarhiib 3/400 : “Ash-Shabbaah bin Muhammad dipermasalahkan kerana ia menganggap hadits tersebut dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, padahal para ulama berkata bahwa yang benar hadits tersebut adalah mauquf”.

[18] Perkataan ini diriwayatkan dari Ahmad bin Manii’, Ar-Rabii’ bin Khutsaim, dan Haatim Al-Asham. Lihat Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 11/485 dan Shifatush-Shafwah 3/68, 4/162.

[19] Diriwayatkan oleh Ahmad 1/210 serta Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir (no. 2886) dan Ash-Shaghiir 2/11. Kualitas hadits ini adalah hasan lighairihi.

[20] Dalam Makaarimul-Akhlaaq (no. 196) dengan sanad dla’if jiddan (sangat lemah). Dalam sanadnya terdapat As-Sirriy bin Ismaa’iil Al-Kuufiy, seorang yang matruk.

[21] Dalam Al-Ihsaan (no. 361) yang sanadnya sangat lemah (dla’iif jiddan), kerana adanya perawi yang bernama Ibraahiim bin Hisyaam, seorang yang matruk. Bahkan ia didustakan oleh Abu Haatim dan Abu Zur’ah.

[22] Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq 48/117.

[23] Diriwayatkan oleh Ahmad 5/231, At-Tirmidziy (no. 2616), An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa (no. 11394) dan At-Tafsiir (no. 414), Ibnu Majah (no. 3973), Ma’mar dalam Al-Jaami’ (no. 20303), ‘Abd bin Humaid (no. 112), Al-Marwaziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah (no. 196), Ath-Thabaraniy dalam Al-Kubraa 20/266, Al-Qadlaa’iy dalam Musnad Asy-Syihaab (no. 104), Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iman (no. 3350), dan Al-Baghawiy (no. 11); shahih.

[24] Al-Jaami’ Al-Kabiir (no. 2412).

[25] As-Sunan (no. 3974).

Diriwayatkan juga oleh ‘Abd bin Humaid (no. 1554), Al-Bukhariy dalam At-Taariikh Al-Kabiir 1/258-259, Abu Ya’la (no. 7132 & 7134), Ath-Thabaraniy dalam Al-Kubraa 23/484, Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah (no. 5), Al-Haakim 2/512-513, dan Al-Qadlaa’iy dalam Musnad Asy-Syihaab (no. 305). Sanad hadits ini adalah dla’iif kerana jahalah Ummu Shaalih.

[26] Al-Jaami’ Al-Kabiir (no. 2316).

Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abid-Dun-yaa dalam Ash-Shamt (no. 109), Abu Ya’la (no. 4017), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 5/55-56, Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iman (no. 10835-10836), dan Adz-Dzahabiy dalam Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 6/240 dari beberapa jalan, dari Al-A’masy, dari Anas bin Maalik, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. At-Tirmidzi berkata : “Ghariib”; iaitu : dla’iif. Hal itu dikeranakan adanya keterputusan (inqithaa’) dimana Al-A’masy tidak pernah mendengar dari Anas.

[27] Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 7/86 dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iman (no. 5010) dari beberapa jalan, dari Abu Hurairah secara marfu’. Namun sanadnya adalah dla’if, kerana ke-dla’if-an ‘Ishaam bin Thaliiq.

[28] Diriwayatkan oleh Ibnu Qaani’ dalam Mu’jamush-Shahaabah 1/350, dan sanadnya adalah dla’iif.

[29] Adl-Dlu’afaa’ Al-Kabiir 3/424.

Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 34659) dan Ibnul-Jauziy dalam Al-‘Ilal Al-Mutanaahiyyah 2/705 dari beberapa jalan, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sanad hadits ini adalah dla’iif, kerana ke-dla’if-an ‘Ishaam bin Thaliiq.

[30] Lihat : tafsir Ibni Katsiir 3/444, Syu’abul-Iman 4/230, dan At-Tamhiid 9/200.

[31] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 2/235 dan Ibnul-Jauziy dalam Shifatush-Shafwah 3/140.

[32] Nama aslinya adalah Najiih bin ‘Abdirrahman As-Sindiy, seorang yang dla’if.

[33] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 10/169.

[34] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 8/361.

[35] Shahih Muslim 1/81 (no. 129).

Diriwayatkan juga oleh Ahmad 2/317, Al-Bukhariy 1/17 (no. 42), Ibnu Hibbaan (no. 228), Ibnu Mandah dalam Al-Iman (no. 373), Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa 1/99, Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iman (no. 7046), dan Al-Baghawiy (no. 4148).

[36] Diriwayatkan oleh Sa’iid bin Manshuur (no. 636), Cet. Al-Humaid; Ath-Thabariy dalam Tafsir-nya (no. 7542) – dan dalam Cet. At-Turkiy 7/36; serta Ibnu Abi Haatim dalam Tafsir-nya 3/955 (no. 5338).

[37] Dalam Al-Mujtabaa 8/105-106. Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iman (no. 24) dengan sanad shahih. Diriwayatkan secara mu’allaq oleh Al-Bukahriy 1/71 (no. 41) dengan ringkas memakai shighah jazm.

[38] Shahih Al-Bukhari 9/17 (no. 6921) dan Shahih Muslim 1/77 (no. 120).

Diriwayatkan juga oleh Ma’mar dalam Jaami’-nya (no. 19686), Al-Humaidiy (no. 108), Ahmad 1/369 & 409 & 429 & 431 & 462, Ibnu Majah (no. 4242), Abu Ya’la (no. 5071 & 5113), Ibnu Hibbaan (no. 396), Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 7/125, serta Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 9/123 dan dalam Syu’abul-Iman (no. 23).

[39] Shahih Muslim 1/78 no. (121).

[40] Al-Musnad-nya 4/198, 204, 205.

Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhariy dalam At-Tariikh Al-Kabiir 2/299 (no. 2587) serta Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 9/123 dan dalam Dalaailn-Nubuwwah 4/343 & 346-348.

[41] Shahih Muslim 1/78-79 (no. 123).

Diriwayatkan juga oleh Ma’mar dalam Jaami’-nya (no. 19685), Al-Humaidiy (no. 554), Ahmad 3/402, Al-Bukhariy 2/141 (no. 1436) & 3/107 (no. 2220) & 3/193 (no. 2538) & 8/7 (no. 5992) dan dalam Al-Adabul-Mufrad (no. 70), Ibnu Abi ‘Aashim dalam Al-Aahaadu wal-Matsaaniy (no. 594), Ibnu Hibbaan (no. 329), Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir (no. 3084-3089), Al-Haakim 3/483-484, Al-Baihaqiy 9/123 & 10/316, dam Al-Baghawiy (no. 27).

[42] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim, sebagaimana dalam Tafsiir Ibni Katsiir (no. 1914) dan Al-Khathiib dalam Taariikh-nya 11/6 – dan cetakan Daarul-Gharb 12/251.

[43] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim sebagaimana dalam tafsiir Ibni Katsiir (no. 1366).

[44] Shahih Muslim 1/121 (no. 190).

Diriwayatkan pula oleh Wakii’ dalam Az-Zuhd (no. 367), Ahmad 5/157 & 170, At-Tirmidzi (no. 2596) dan dalam Asy-Syamaail (no. 229) dengan tahqiq Dr. Al-Fahl, Ibnu Hibbaan (no. 7375), Ibnu Mandah dalam Al-Iman (no. 847-849), Al-Baihaqiy 10/190, serta Al-Baghawiy (no. 4360).

[45] Al-Mustadrak 4/252.

[46] Sebagaimana dalam Tafsir Ibni Katsiir (no. 1366).

[47] Asy-Syaikh Al-Albaniy membawakannya dalam Silsilah Ash-Shahiihah (no. 2177).

[48] Lihat : Tafsir Al-Qurthubiy 13/78.

[49] Al-Kubraa (no. 7235).

Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam Al-Aahaadul-Matsaaniy (no. 2718), Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah (no. 3809), serta Al-Khathiib dalam Taarikh-nya 3/352 – dan Cet. Daarul-Gharb 4/559. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Mandah sebagaimana dalam Al-Ishaabah 2/152.

[50] Al-Kabiir (no. 6361) dan pada sanadnya terdapat Yasin bin Mu’adz Az-Zayyat. . Al-Haitsamiy berkata dalam Az-Zawaaid 1/31 : “Ia (Yasin) meriwayatkan hadits-hadits palsu”.

Dalam Al-Miizaan 4/358 disebutkan : Ibnu Ma’in berkata : “Ia (Yasin) tidak ada apa-apanya”. Al-Bukhariy berkata : “Haditsnya munkar”. An-Nasa’iy dan Ibnu Al-Junaid berkata : “Ia (Yasin) matruk”. Ibnu Hbban berkata : “Ia meriwayatkan hadits-hadits palsu”.

[51] Dalam Zawaaid-nya sebagaimana dalam Kasyful-Astaar (no. 3244).

[52] Lihat kitab Tasmiyyatun min Laqab Ath-Thawiil (no. 62-64) oleh Yahya bin ‘Abdillah Asy-Syahriy.

[53] Al-Haafidh Ibnu Hajar menukil hal tersebut dalam Al-Ishaabah 2/149 dari Al-Baghawiy tanpa mengomentarinya.

baca selengkapnya......

7 golongan yang akan mendapat lindungan arasyNya pada hari akhirat

Abu Hurairah ra telah meriwayatkan bahawa Rasulullah SAW telah bersabda:
” Terdapat 7 golongan yang akan mendapat lindungan arasyNya pada hari yang tiada lindungan melainkan lindungan daripadaNya. Pemimpin yand adil; pemuda yang masanya dihabiskan untuk beribadah kepada Allah SWT; seseorang yang hatinya terpaut pada masjid; 2 lelaki yang berkasih sayang dan bertemu dan berpisah kerana Allah SWT; lelaki yang digoda oleh perempuan cantik dan berpengaruh untuk melakukan maksiat tetapi dia menolak dengan mengatakan Aku Takutkan Allah; seseorang yang bersedekah dan menyembunyikannya sehinggakan tangan kanannya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kirinya; dan seseorang yang mengingati Allah ketika bersendirian sehinggakan mengalir air matanya kerana Allah SWT.” Riwayat Muslim

1. Pemimpin (imam) yang adil.

Setiap yang dipertanggungjawabkan akan dipersoalkan kembali kelak. Maka bergembiralah kepada mana-mana peminpin yang dapaat berlaku adil. Pemimpin di sini termasuklah seorang suami yang memimpin isteri dan anak-anak. Seorang isteri yang memimpin anak-anaknya dan sebagainya.

2. Pemuda yang membesar dalam ibadah kepada Allah.

Naungan Ilahi ini juga dijanjikan kepada lelaki dan perempuan yang sentiasa hidup dalam ibadah kepada Allah. Sentiasa menyedari bahawa Allah melihat segala perbuatannya. Di mana segalanya di bawah kawalan dan naungan Ilahi.

3. Lelaki yang hatinya sentiasa rindukan (teringat-ingatkan) rumah Allah.

Begitu jua bagi lelaki yang hatinya sentiasa rindukan rumah Allah. Tertunggu-tunggu setiap masa untuk beribadah di dalamnya. Baik untuk sembahyang wajib

lima waktu setiap hari dan untuk ibadah lain.

4. Dua orang lelaki yang cinta mencintai kerana Allah bertemu dan berpisah kerana ALLAH.

Dalam satu hadis Rasulullah bersabda: “Allah telah mengutuskan malaikat kepada seorang lelaki semasa dalam perjalanan untuk menziarahi saudaranya kerana Allah”. Lalu malaikat bertanya: “Nak kemana?” Dijawab: “Aku mahu menziarah saudara ku… … ..” Tanya malaikat lagi: Untuk apa?” lelaki itu menjawab: Tiada apa-apa tujuan.” Ditanya lagi: “Apa hubungan dengan kamu?” Lalu dijawab oleh lelaki itu:” Tiada apa-apa hubungan.” Ditanya lagi: ” Apa budinya kepada kamu?” Dijawab:”Tiada apa-apa pun.” Ditanya lagi:” Apa tujuannya?” Lelaki itu menjawab:
” Aku mencintainya kerana Allah.” Berkata malaikat: sesungguhnya Allah telah mengutusku kepada mu untuk memberitahu bahawa kerana kecintaanmu kepadanya maka ALLAH telah mengizinkan kamu memasuki syurgaNYA.” (Riwayat Muslim)

Perasaan sayang dan kasih terhadap orang lain bukan kerana ada tujuan lain. Bukan untuk memikat anak gadisnya atau hartanya, sebaliknya hanya mengharap keredhaan Ilahi. Hanya kerana Allah hubungan ini dieratkan.

5. Lelaki apabila mengingati ALLAH bersendirian menitis airmatanya.

Hadirnya perasaan takut kepada ALLAH walaupun bersendirian sehingga menitis airmatanya. Ianya bukan saja-saja tetapi hadir dari hati yang menginsafi kebesaran ALLAH.

6. Seorang lelaki yang dirangsang oleh seorang perempuan berdarjat lagi cantik untuk berzina, lalu ia berkata: “Tidak! Aku takutkan ALLAH” (inni akhofullah)

Sesiapa yang takut untuk berbuat kesalahan, takut kepada ALLAH dan azab api neraka akan sentiasa mendapat perlindungan dari-NYA.

7. Lelaki yang bersedekah dan tidak pula dimegah-megahkannya.

Pemberian yang mengharapkan balasan dari Ilahi tidak akan diperbesar-besarkan. sebaliknya akan dilakukan secara tersembunyi. Sehingga digambarkan seolah-olah tangan yang kiri tidak mengetahuinya apa yang disedekahkan oleh tangan kanan. Lupakan kebaikan dan pemberian kita, sebaliknya banyak mengingatkan kesilapan dan kesalah diri kita terhadap ALLAH dan orang lain.

Rebutlah peluang ini, jadilah orang yang beruntung di akhirat. Tiada yang mustahil untuk kita lakukan. Jadilah hambaNYa yang ikhlas dan redha atas segala yang berlaku. Semoga kita semua tergolong dalam golongan orang yang mendapat perlindunganNYA selalu.

baca selengkapnya......